SYZYGY
9. SYZYGY #9

32. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — SIANG

Kita melihat dari sudut pandang Luna. Awalnya semuanya gelap, lalu perlahan kelopak mata Luna membuka. Terlihat cahaya putih lampu yang tergantung di langit-langit serta wajah Widya yang tengah membungkuk. Wajah Widya terlihat samar-samar.

 

WIDYA
Luna? Nak?

 

Luna mengerjap lambat. Tampak Luna terbaring di atas ranjang rumah sakit, Widya berdiri di sisi ranjang. Luna mengenakan gaun pasien, tangan kirinya diinfus.

 

WIDYA (cont’d)
Luna? Luna, kamu bisa dengar Tante, Nak? 
LUNA
(dengan suara pelan) Tante...

 

Widya tersenyum lega, lalu buru-buru memencet bel panggilan untuk perawat. Widya juga berlari ke pintu kamar dan membukanya semetara Luna masih tampak linglung, mengantuk di atas ranjang.

 

WIDYA
(berteriak ke luar kamar) Sus! Suster, anak saya sudah sadar, Sus!



33. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — SIANG

Luna duduk di atas ranjang rumah sakit. Enggar dan Widya berdiri di sisi ranjang. Enggar masih mengenakan kemeja kerja. Luna membuka mulutnya sementara DOKTER sedang memeriksanya. Dokter itu lalu memberi isyarat pemeriksaannya sudah selesai dan Luna menutup mulutnya kembali.

 

DOKTER
Semuanya normal. Apa masih merasa pusing? Mual? 
LUNA
(menggeleng) Cuma capek aja... 
DOKTER
(mengangguk) Mungkin karena kamu nggak sadar selama tiga hari, ya, jadi masih tersisa sedikit efeknya. 
ENGGAR
Tapi anak saya nggak apa-apa, kan, Dok? 
DOKTER
Kalau dari hasil pemeriksaan fisiknya normal semua, Pak. Tapi kita observasi dulu sampai besok pagi, ya. Kalau semuanya stabil, baik, anaknya boleh pulang. 
ENGGAR & WIDYA
Terima kasih, Dok.

 

Dokter meninggalkan ruangan. Luna menatap Enggar dan Widya dengan ekspresi bingung bercampur takut.

 

LUNA
Tiga hari?
 
WIDYA
(mengangguk) Kamu pingsan setelah pengumumannya Komite Pemuda Peduli, Lun. Di toiletnya museum. Pak Baskara yang bawa kamu ke sini, sama Venna. Kamu nggak ingat?

 

Luna tampak berusaha mengingat-ingat.

 

LUNA
Toilet... Ah, Abigail... 
ENGGAR
Anak itu udah diskors, Lun. Pihak sekolah sempat berusaha nutupin saat Om minta mereka usut, katanya cuma cekcok biasa antar murid. Untungnya Pak Baskara bantu ngomong juga, jadi pada akhirnya anak itu dan beberapa temannya ngaku kalau memang sering bully kamu.

 

Enggar maju mendekat ke sisi ranjang, menatap Luna dengan wajah sedih.

 

ENGGAR (cont’d)
Kenapa kamu nggak pernah cerita, Luna?

 

Luna terdiam, merasa bersalah.

 

WIDYA
(mengusap lengan Enggar) Udah, Mas, Luna baru bangun jangan dimarahin. (menoleh pada Luna) Tapi saya juga ngerti perasaan Mas Enggar, Lun. Kami mungkin bukan orang tua kandung kamu, tapi tolong jangan jadiin itu tembok di antara kita. Kami sayang sama kamu, Luna, banget.

 

Kedua mata Luna mulai basah, tapi Luna berusaha tidak menitikkan air mata.

 

LUNA
(menunduk) Maafin Luna, Om, Tante... 
ENGGAR
(menggeleng, menepuk kepala Luna) Maafin kita juga, Luna, kalau selama ini belum bisa jadi orang tua yang baik buat kamu.

 

Luna menggeleng.

 

WIDYA
Yang penting mulai sekarang, kalau ada apa-apa, Luna harus cerita, ya? Kita ini... 
LUNA
Keluarga. (tersenyum, menatap Enggar dan Widya bergantian) Ya, kan?

 

Enggar dan Widya saling bertatapan, lalu keduanya tertawa. Enggar mengacak rambut Luna, Luna ikut tertawa juga. Di tengah tawa ketiganya, ponsel Enggar bergetar di dalam saku. Enggar mengeceknya, lalu menatap Luna.

 

ENGGAR
Om kayaknya harus balik kantor sekarang. Kamu nggak apa-apa, kan, Om tinggal dulu?

 

Luna mengangguk, Enggar membelai kepalanya sekali lagi. Enggar lalu berpamitan juga pada Widya, tapi sebelum beranjak, dia teringat sesuatu.

 

ENGGAR (cont’d)
(menoleh pada Luna) Oh ya, mungkin kamu bisa kasih tahu Eden juga kalau kamu udah baikan, Lun.
LUNA
(mengerjap) Eden? 
WIDYA
Iya, Lun. Anak itu sempat ke rumah waktu kamu pingsan waktu itu, dan selama tiga hari ini dia selalu ke sini tiap hari, nengokin kamu. Kalau tahu kamu udah sadar, dia pasti lega banget.

 

Enggar lalu berpamitan sekali lagi dan keluar dari ruangan. Widya menyerahkan ponsel Luna yang tadinya diletakkan di atas meja di sisi ranjang pada Luna, lalu membereskan barang lain di atas meja. Luna memandangi ponselnya dengan canggung, lalu membuka riwayat percakapan dengan Eden.

 

INSERT: Layar ponsel Luna menunjukkan pesan Eden tiga hari yang lalu, “Luna kamu di mana? Udah pulang?”.

 

Luna menatapnya dalam diam selama beberapa saat, lalu berniat mengetik balasannya. Namun sebelum Luna sempat mengetik, pintu kamar terbuka. Luna mendongak, melihat Venna masuk bersama Eden. Keduanya tampak sedang mengobrol sebelum menoleh ke arah Luna.

 

VENNA
Luna! Kamu udah sadar!

 

Venna berlari dan memeluk Luna. Luna dengan canggung membalas pelukan Venna, tapi tatapannya tertuju pada Eden yang berdiri agak jauh dari ranjang. Eden menyapa Widya dengan anggukan sopan, lalu tersenyum saat balas menatap Luna.

 

VENNA (cont'd)
(mengurai pelukannya) Aku takut banget, tahu, waktu kamu tiba-tiba pingsan hari itu! Tapi sekarang udah nggak apa-apa, kan, Lun? Nggak ada yang sakit? 
LUNA
Ng-nggak, kok, tapi... (menatap Eden) 
VENNA
Oh, tadi aku ketemu Kak Eden di bawah, jadi naiknya bareng.
LUNA
(mengerjap) Kalian... kenal?
VENNA
(mengangguk) Kak Eden tuh satu SMA sama aku. Kita dulu lumayan sering ngobrol soalnya ruang ekskul kita sebelahan, tapi lost contact sejak Kak Eden lulus tahun lalu. Makanya aku seneng banget waktu ketemu Kak Eden lagi pas Kak Eden nengokin kamu ke sini. (menoleh pada Eden) Oh ya, besok pulang sekolah, aku boleh mampir ke shelter lagi, kan?

 

Luna tampak terkejut mendengar Venna menyebut soal “Satu Atap”, lalu melirik Eden. Eden tampaknya menyadarinya, tapi dia hanya tersenyum pada Venna dan mengangguk.

 

VENNA (cont’d)
Yay! Makasih, Kak!

 

Venna menyenggolkan bahunya pada bahu Eden dengan akrab saat mengatakannya. Luna merasa sedikit terganggu melihatnya, tapi berusaha tidak menunjukkannya.

 

WIDYA
Ya udah, silakan ngobrol. Tante tinggal dulu beli makan ke bawah, ya. Luna mau nitip sesuatu, Nak?

 

Luna menggeleng. Widya lalu menatap Venna.

 

WIDYA (cont’d)
Ikut Mama turun, yuk. 
VENNA
Eh? Tapi... 
WIDYA
Biar enak milihnya. Kamu kan cerewet kalau makan. Yuk.

 

Venna tampaknya ingin protes, tapi Widya lebih dulu menggandengnya. Widya tersenyum sekali lagi pada Eden dan Luna, lalu keluar ruangan bersama Venna. Suasana terasa sedikit canggung.

 

EDEN
Ah, ini dari Bu Ratri (menyodorkan tas kertas di tangannya pada Luna). Beliau sebenernya kepingin nengokin kamu langsung, tapi lagi sibuk banget di shelter.

 

Luna menerima tas kertas dari Eden dan mengintip isinya. Dua toples kue kering buatan Ratri. Luna berterima kasih, lalu meletakkan tas kertas itu di atas nakas.

 

EDEN (cont’d)
Oh ya, selamat, ya. 
LUNA
(menatap Eden) Ha? 
EDEN
Katanya Venna kamu kepilih ikut komite... pemuda? Aku nggak ngerti gitu-gitu, sih, tapi kayaknya keren, deh. 
LUNA
Oh... Aku juga nggak tahu gimana bisa lolos, sih, tapi... makasih. 
EDEN
Ya kalau lolos berarti kamu kompeten, Luna. Oh ya, (mengeluarkan ponsel dari saku) aku tuh sebenernya kepingin ngajak Tabo juga ke sini, tapi kan nggak mungkin. Jadi gini aja, ya.

 

Eden membuka sebuah video pada ponselnya lalu menyerahkan ponselnya pada Luna.

 

INSERT: Video kucing-kucing di yayasan. Sesekali suara Eden terdengar di latar, mengajak bicara para kucing.

 

EDEN (cont’d)
Pada kangen sama kamu semua tuh.

 

Luna tertawa kecil, tampak terhibur. Cukup lama Eden hanya diam memperhatikan wajah Luna selagi Luna menonton video di ponselnya.

 

EDEN (cont’d)
Luna. 
LUNA
(masih menonton video) Hmm? 
EDEN
Kamu beneran nggak apa-apa?

 

Luna mendongak dari ponsel di tangannya dan menatap Eden. Senyumnya memudar, wajahnya bertanya-tanya, sementara Eden balas menatapnya dengan raut wajah serius.

 

EDEN (cont’d)
Sebenernya... tiga hari lalu tuh, nggak tahu kenapa, perasaanku nggak enak banget dari pagi. Makanya aku sempat chat tanya kamu di mana, tapi kamu nggak bales-bales. Jadi pulang kuliah, aku langsung ke rumah kamu dan ternyata beneran kamu kenapa-napa.

 

Luna tertegun. Eden masih menatapnya intens, membuat Luna diam-diam merasa sedikit gugup.

 

EDEN (cont’d)
Aku...

 

Pintu kamar terbuka dan Venna masuk, sendirian saja.

 

VENNA
Ah, sori. Dompet mama tuh, ketinggalan.

 

Venna berlari kecil menghampiri meja di sisi ranjang, lalu mengambil dompet Widya dari dalam tas Widya yang diletakkan di sana. Luna dan Eden sama-sama diam memperhatikan Venna, hingga ponsel Eden tiba-tiba bergetar di tangan Luna. 

 

INSERT: Pada bagian atas layar ponsel Eden, terlihat panggilan masuk dari kontak yang diberi nama “Mama”.

       

Luna mengembalikan ponsel Eden. Eden tampak kaget sewaktu melihat layar ponselnya, lalu berjalan menjauh dari ranjang untuk menerima panggilan telepon. Eden berbincang sejenak di telepon, lalu menutupnya dan kembali menghampiri ranjang Luna.

 

EDEN
Sori, kayaknya aku mesti balik, nih. Nanti videonya aku kirim aja, ya.

 

Luna tampak kecewa, tapi berusaha tidak menunjukkannya. Dia hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa.

 

EDEN (cont’d)
Kalau butuh apa-apa, chat aja. Telepon juga boleh. Oke?

 

Luna mengangguk lagi. Eden lalu berpamitan pada Venna.

 

VENNA
Ah, aku juga mau turun, Kak. Bareng aja, yuk? Dah, Luna!

 

Venna melambai pada Luna, lalu dengan ceria membarengi Eden keluar. Keduanya mengobrol sementara Luna hanya diam memandangi mereka hingga pintu kamar rawatnya ditutup dari luar.



34. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — MALAM

Lampu kamar sudah diredupkan. Luna berbaring miring di atas ranjang, menonton video yang dikirimkan Eden di ponselnya sambil menggunakan earphone. Sesekali Luna tersenyum tipis saat mendengar suara Eden dari video, hingga terdengar suara Venna mengajak bicara Eden. Senyum Luna memudar.

 

VENNA (o.s.)
Ngapain, Kak? Bikin video? 
EDEN (o.s.)
(tertawa kecil) Iya. 
VENNA (o.s.)
Eh, lucu banget! Buat apa? Di-story
EDEN (o.s.)
Nggak. (jeda sejenak) Buat Luna.

 

Selama sesaat, hanya terdengar suara Tabo dan kawan-kawan mengeong.

 

VENNA (o.s.)
(pelan) Kak, boleh nanya sesuatu nggak? 
EDEN (o.s.)
Apa? 
VENNA (o.s.)
(jeda sejenak) Kak Eden sama Luna tuh... pacaran?

 

Eden tidak langsung menjawab. Luna tampak tegang, lalu mengeraskan volume ponselnya sedikit.

 

EDEN (o.s.)
Nggak, sih. Temen aja.

 

Terdengar suara Venna menyahut, tapi Luna lebih dulu mencabut earphone dari telinganya. Luna lalu mematikan layar ponselnya begitu saja. Dia terdiam sejenak, lalu meletakkan ponselnya di atas meja di sisi ranjang dengan agak kasar dan berbalik memunggunginya, bergelung di dalam selimut.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar