Sweet Taste of Demise
10. Self-Potrait with Death Playing The Fiddle - Arnold Bocklin (1872)
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

EXT. JALANAN — MALAM

Terdengar suara gemericik kunci, disambung suara gerimis mulai turun.

Perempuan Kaya berbalik badan, dari sudut pandangnya terlihat Perempuan Anitya berlari-lari kecil sambil menggoyangkan kunci. Wajah mereka berdua kembali seperti semula, tidak menyerupai Kaya atau Anitya.

Perempuan Kaya terlihat kaget. Mereka berdua terlihat tertawa dan bersenda gurau sesaat. Perempuan Anitya memberikan kunci ke Perempuan Kaya.

Gerimis mulai turun, Perempuan Kaya mengambil payung dari atas, mereka berdua kemudian berlari-lari kecil ke arah yang sama di bawah satu payung.

Sloth by Monkey to Millionaire started playing.

Terlihat Duga, berjarak, terselubung di bawah lindungan bayang melihat pemandangan tadi. Tangan bercincinnya mengepal kuat, kukunya menembus kulit, merembeskan darah. Wajahnya sendu, matanya berair, sosoknya rapuh.

Tetes-tetes hujan menggempur permukaan kubangan. Duga terus melangkah, tidak peduli, rautnya setengah kosong penuh pikiran. Ia basah kuyup.

Sebuah kubangan besar menghampar luas di depan Duga. Ia berhenti, memandang dirinya di permukaan air yang terus beriak. Ia terlihat menyedihkan.

Bayangan di air berubah. Terlihat sosok Duga dan Kaya di dalam bioskop, sedang menunjuk dan menertawakan apa yang ada di layar. Duga merasa sedang ditunjuk.

Bayangan di kubangan kembali berubah. Terlihat Kaya sedang memakan es krim, lalu menawarkan es krim yang sama ke Duga. Senyum Kaya sangat memikat.

Sebuah motor bergerak pelan melewati kubangan, gelombang kecil menghapus bayangan yang ada. Kali ini terlihat bayangan Kaya sedang menoleh perlahan menghadap Duga. Sebuah bayang tangan melayang mendekati wajah Kaya, jari-jari itu sedikit lagi menyentuh pipi.

Duga menginjak kubangan.


J CUT TO:

INT. AREA DAPUR KOSAN DUGA — MALAM

Air mulai menggelembung mendidih. Sebungkus mie instan dimasukkan ke dalam panci.

Duga duduk di sebuah meja makan, tangannya memegang smartphone, terlihat nama Anitya di tampilan kontak.

Duga memencet tombol menelfon dan langsung mematikannya kembali, namun jempolnya kembali melayang di atas tombol menelfon.

INT. RUANG KELAS — SIANG

Duga duduk sendiri di antara hamparan kursi kosong di kelas. Ia sedang menggulir riwayat chat dengan Anitya. Jari Duga tak bisa lagi menggulir lebih jauh ke bawah. Percakapan mereka berdua berhenti 5 hari yang lalu. Pesan terakhir dari Duga belum di baca.

INT. KAMAR DUGA — MALAM

Duga sedang makan sepiring kudapan sederhana di kamar. Jarinya terus me-refresh laman riwayat chat dengan Anitya sambil menyuap diri sendiri. Pesan ucapan ulang tahun dari Duga belum di baca Anitya.

EXT. JALANAN - MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

Duga berdiri di seberang mansion Anitya. Terdengar sayup-sayup meriah acara ulang tahun Anitya. Duga hanya berdiri melihat dari kejauhan, terhalang tembok tinggi.

EXT. SEBUAH TAMAN — MALAM

Duga berbaring melihat bintang di atas bangku taman. Langit cerah, bintang berkelap-kelip.

Wajah Duga sendu menatap langit. Ia melamun, banyak pikiran. Taman sangat sepi. Hanya ada Duga dan seseorang di bangku lain jauh dari Duga, memegang kertas origami kusut, merokok. Duga dan laki-laki itu sama-sama memancar sepi.

Angin malam meniup, daun-daun bergoyang. Duga menggosok-gosok badannya yang menggigil, masih berbaring di bangku.

INT. MOBIL — MALAM

Sebuah persimpangan. Lampu masih merah. Anitya bersandar di dashboard mobil, kedua tangan menjadi bantalan, menatap dalam ke mata Duga. Duga tidak bisa mengalihkan pandangan. Ia terhisap ke dalamnya.

INT. TOKO BUKU — SIANG

Duga sedang berjalan di sepanjang rak, melihat sekilas judul-judul buku yang dipajang, Anitya mengekor tepat di belakang Duga. Tangan Anitya memegang ujung jaket Duga selama mereka berjalan. Senyum Duga mengembang melihat tangan Anitya di sana.

EXT. FAKULTAS P - PARKIRAN — MALAM

Terlihat Anitya menggunakan baju panitia berbincang dengan Duga. Anitya lalu memeluk Duga sejenak dan melambai, berpisah, beranjak pulang. Duga menatap Anitya pergi menjauh.

EXT. SEBUAH TAMAN — MALAM

Duga masih berbaring menatap langit, tangannya memeluk badan sekarang.

Langit malam tidak lagi cerah, bintang mulai tertutup awan. Tetes-tetes hujan jatuh ke wajah Duga. Duga tidak bergeming, masih melamun penuh pikiran.

Hujan dengan cepat menjadi deras. Duga tersadarkan. Ia beranjak bangun dan berlari dari hujan.

INT. KAMAR DUGA — MALAM

Suara hujan. Rambut Duga agak basah, ada handuk di lehernya. Duga membuka lemari pakaian, terlihat sebuah pullover hoodie biru gelap tergantung rapi di dalam lemari.

INT. ICE SKATING PARK — SIANG

Duga dan Anitya mengarung pelan di atas hamparan es, berpelukan, berdansa dengan irama di dalam kepala. Duga menyandarkan kepalanya di atas pundak Anitya.

INT. KAMAR DUGA — MALAM

Suara hujan semakin deras. Duga mengambil pullover hoodie dan memeluknya. Ia menarik nafas dalam mencium aroma yang tersisa.

EXT. ALUN-ALUN KOTA — MALAM

Duga duduk di dalam mobil memandang sesuatu agak jauh di sampingnya. Terlihat Anitya dengan rambut masih sepenuhnya hitam bersama Nanta di trotoar seberang jalan sedang duduk santai di sebuah angkringan, mengobrol santai, jari Nanta mengepit rokok.

EXT. JALANAN - DEPAN CAFE AUGUR — SORE

Dari sudut pandang Duga terlihat Anitya berambut ombre merah muda dan Nanta sedang berdiri di depan Cafe Augur, merokok dan mengobrol. Mereka berdua terlihat intim.

Di dekat mereka berdua juga terlihat Tirta dan Mbak Sunflower sedang bersendau gurau berdua. Mbak sunflower sedang menggunakan masker sunflower hasil lukisannya di dagu.

EXT. SEBUAH BUKIT — MALAM

Dari sudut pandang Duga terlihat Anitya tersenyum menghalang bibir Duga mendekat. Duga berkedip, raut wajah Anitya berubah, senyum itu terlihat mengejek sekarang.

INT. KAMAR DUGA — MALAM

Suara gemuruh terdengar. Tangan Duga memeluk lebih kuat, kuku-kuku jarinya mencengkeram pullover hoodie lebih dalam. Duga lalu menarik pullover hoodie kuat. Pakaian itu tidak bergeming, Duga menarik lebih kuat. Pullover hoodie mulai terlihat melar, Duga menarik semakin kuat, mukanya memerah, urat-urat wajahnya membengkak. Sebuah sobekan muncul, menjalar, dan pakaian itu pun tercabik menjadi dua.

EXT. TANAH KOSONG — MALAM

Mata Duga memantulkan api yang menjilat-jilat liar. Duga terlihat duduk di dekat pullover hoodie biru gelap miliknya yang sedang dikerubungi api unggun kecil.

Jari-jari Duga membalikkan halaman-halaman terakhir sebuah buku. Buku ditutup, covernya menunjukkan judul, Temple of the Golden Pavilion.

Duga kembali memerhatikan api unggun yang masih menjilat-jilat liar, tidak lagi terlihat sebuah pakaian, hanya sisa abunya. Duga terlihat larut dalam pikirannya saat menatap api.

EXT. JALANAN - MANSION KELUARGA KARIM — PAGI

Duga berdiri di seberang mansion Anitya, memerhatikan tembok-tembok dan gerbang yang melingkari area mansion.

EXT. JALANAN - MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

Hari yang berbeda. Dari jauh, Duga terlihat sedang berjalan di sepanjang area luar mansion, melihat-lihat. Rautnya terlihat fokus.

Di seberang jalan salah satu sisi area rumah, Duga berjalan melewati Tirta yang sedang bersandar santai di motor, menghisap vape, juga sedang memerhatikan mansion Anitya.

EXT. JALANAN - MANSION KELUARGA KARIM — SIANG

Hari yang berbeda. Duga berdiri agak jauh, memperhatikan pintu gerbang mansion Anitya. Terlihat sebuah mobil berhenti, dan Anitya turun dari mobil. Anitya melambai ke mobil yang beranjak pergi, lalu berjalan melewati gerbang.

Duga mulai melangkah.

EXT. MANSION KELUARGA KARIM — SIANG

Promotion Man by Merzbow starts playing.

Kaki duga mendarat di tanah, mengendap-ngendap bersembunyi di balik semak-semak bunga mawar. Terlihat Anitya berjalan tidak jauh dari tempat Duga berada, bergerak ke arah rumah. Duga mulai mengikuti Anitya di belakang, menjaga jarak.

INT. MANSION KELUARGA KARIM — SIANG

Promotion Man by Merzbow still playing.

Terlihat kaki Anitya melangkah. Kaki Duga ikut melangkah, mengendap-ngendap ikut melangkah.

Kaki Anitya melangkah cepat naik tangga, Duga menapakkan kakinya perlahan di anak tangga.

Kaki Anitya santai berbelok, langkah Duga berhenti di ujung tembok.

Di pertigaan lorong, Duga mengintip Anitya masuk ke sebuah ruangan, melewati pintu putih berhias bunga dan duri mawar. Duga menoleh ke area sekitarnya dan perlahan masuk ke ruangan terdekat. Ruangan itu berupa studio musik yang cukup luas, banyak gitar berjejer menempel di dinding, sebuah set-up recording dengan PC dan satu set sofa beserta meja kaca terhias tumpukan majalah musik.

Duga celingak-celinguk mencari tempat bersembunyi di dalam ruangan. Terdengar suara pintu tiba-tiba terbuka. Duga berbalik badan dan memegang sesuatu di area perutnya. Pintu tidak terbuka. Ada suara langkah kaki yang semakin samar. Duga membuka pintu perlahan, mengintip. Terlihat punggung Anitya bergerak menjauh.

INT. MANSION KELUARGA KARIM — SIANG

Duga menutup pintu kamar Anitya dari dalam, ia menginspeksi kamar Anitya, melihat-lihat apa saja yang ada di kamar. Ia beranjak melihat kamar mandi.

Duga membaringkan diri di atas kasur Anitya sesaat. Ia lalu merapikan kembali kasur itu sebelum akhirnya menyelip masuk ke bawah ranjang. Duga mengeluarkan pisau dari balik jaket dan menaruh benda itu di sampingnya. Duga menarik nafas dalam dan mulai memejam. Ia tidak bergerak, yang terlihat hanya dadanya yang kembang-kempis perlahan. Duga tertidur.

INT. MANSION KELUARGA KARIM - KAMAR ANITYA — MALAM

Suara kenop pintu. Mata Duga terbelalak, suasana serba gelap.

Lampu kamar dihidupkan oleh Anitya. Anitya beranjak ke pintu teras, mengunci, dan menutup tirai.

Di bawah ranjang Duga dapat mendengar pintu kamar mandi membuka dan langsung ditutup. Suara shower yang teredam mulai mengisi sunyi. Duga mengatur nafasnya.

Pintu kamar mandi kembali membuka dan menutup. Uap panas ada yang menyelinap masuk ke bawah ranjang. Anitya membuka lemari, Duga dapat mendengar gerak Anitya yang sedang mengganti baju.

Duga melihat tapak kaki Anitya bergerak menuju pintu, dan lampu kamar pun dimatikan, suasana kembali gelap. Anitya beranjak ke kasur. Dari bawah Duga dapat sedikit gelembung tempat Anitya berbaring. Duga menarik nafas dalam.


CUT TO:


Duga berdiri di samping kasur, melihat sosok Anitya berbaring menyamping dengan rambut putihnya di balik selimut yang nyaman. Duga menatap lekat-lekat. Tangannya menggenggam pisau.

Anitya merubah posisi tidur, ia berbaring di atas punggung sekarang. Duga beranjak naik ke kasur, berdiri di atas Anitya. Alis Anitya menyimpul, matanya masih tertutup. Tangan Duga mencengkeram leher Anitya dengan cepat, mata Anitya membelalak terbuka. Ia melihat penuh bingung ke Duga di atasnya. Duga mendekatkan pisau ke bibirnya sendiri, masih mencekik Anitya.


DUGA

(dingin)

Diam.


ANITYA

(lirih)

Mau a-


Tangan Duga berpindah dari leher, menutup mulut Anitya.


DUGA

(melotot)

Diam.


Anitya mengangguk kecil. Duga menarik nafas dalam. Diam selama beberapa saat.


DUGA

Kenapa Tya?


Alis Anitya menyimpul, bingung.


DUGA

Can't you just love me? Why must it be someone else. Am I not good enough... Why I am not enough? Will I ever be adequate for someone? You? For anyone, please?!


Duga menarik nafas penuh getar. Ia mengatur nafas, mencoba menahan emosi, menahan tangis.

DUGA

I know a man, who spends his time alone. Sad... Lonely. Until he sees a temple, a beautiful temple, an object of untainted beauty. Divine. Calming... But when it's within his grasp, he realized he could never have it. It was never his. And what he does? He burned it, and die smothered by its loving ashes. And I agree.

Raut Anitya berubah, tidak berekspresi hanya mendengarkan. Duga terus berbicara namun tidak berani menatap Anitya.

Angel Baby (Post-Chorus Loop only) by Troye Sivan (Slowed + Distorted)

DUGA

I am surrounded by people, yet I feel isolated. I can't be by myself, I can't handle being alone. And life is no better. One of these days, I find someone, and I am no longer alone. What I feel inside is changing. And that is the issue. Feeling changes, people changes, and I am left behind.


Duga mencengkeram pisau lebih kuat.


DUGA

Not anymore. Never again. From today. No more love, no more feelings, no more anything. I am no more. Today is the day of retribution, today is the day I-


Tangan Anitya tiba-tiba memukul keras wajah Duga. Duga terjerembab, pisaunya terlempar dari pegangan, bengong. Anitya beranjak dari tempat tidur, wajahnya tertutup kegelapan. Duga dengan cepat mencari-cari pisau. Pisau jatuh dekat tempat tidur. Duga sigap melontar badannya ke sana. Anitya lebih sigap. Tangannya cepat mengambil buku hardcover dari rak, East of Eden, dan mengayunkannya kuat. Spine buku menabrak keras rahang Duga, kembali membuatnya terjerembab.

Anitya mengambil pisau. Duga langsung berdiri. Ia memasang kuda-kuda, bersiap-siap menerjang. Area wajah Anitya masih tertutup gelap.

Kaki kanan Anitya melangkah, Duga menarik nafas. 

Kaki kiri melangkah, Duga menelan ludah. Kaki kanan melangkah, Duga menatap penuh amarah malu, wajah Anitya masih tertutup gelap.

Kaki kiri melangkah.

Duga loncat menerjang. Adrenaline terpompa, dunia lamban. Dari sangat dekat terlihat tangan kiri Duga melayang mendekat, ke arah leher. Kedua tangan Anitya rileks di samping badannya.

Tangan Duga semakin dekat, Anitya berdiri rileks tidak bergerak. Jari-jari Duga hampir menyentuh kulit leher,wajah Anitya masih tertutup gelap.

Tiba-tiba, tangan kanan Anitya dengan cepat melibas. Menggores dalam telapak Duga, dan sedikit tulang belikatnya. Tetes darah melayang,trayeksi tangan Duga bergeser, badan Anitya tidak bergerak. Duga menubruk jatuh menimpa Anitya.

Mereka terbaring diam beberapa detik. Anitya telentang di bawah, Duga terbaring di atas Anitya, kepala Duga tersandar di area bahu kiri Anitya, wajah Anitya masih terselubung gelap.

Suara rintihan terdengar dari mulut Duga. Duga menarik nafas, aroma memasuki rongga hidungnya, matanya tertutup menghirup harum Anitya. Ia terbelalak, teringat akan situasinya. Duga berdiri. Anitya masih terbaring dalam posisi yang sama, wajahnya masih tidak terlihat. Kepala Anitya menoleh, lalu ia membangunkan badan setengah duduk. Duga masih memperhatikan.

Anitya memegang pundak kiri dengan tangan kanan. Mata Duga melebar melihat pisau di tangan Anitya. Ia menoleh cepat ke belakang ke arah pintu, lalu memutar badannya, lari dengan cepat.


INT. MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

Duga berbelok keluar kamar ke kanan, menyusuri lorong yang panjang, kakinya sangat cekatan. Di pertigaan lorong ia berbelok kiri, berlari, dan berbelok kanan. Jalan buntu.

Duga berbalik. Lari melewati jalurnya tadi. Di pertigaan Duga memilih lurus, ia menoleh sesaat ke kanan. Terlihat siluet Anitya tidak jauh darinya juga berlari-lari kecil ke arahnya. Tepat setelah Duga melewati pertigaan sebuah lampu meja terbang menabrak dinding. Duga jatuh, terkejut. Ia langsung bangun dan berlanjut, tidak menengok ke belakang.

Duga lari dan terus berlari, berbelok ke mana pun instingnya membawa pertama kali setiap bertemu simpang. Yang Duga tidak tahu, ia sebenarnya hanya berputar-putat, tidak selalu mengambil jalur yang benar. Tiap Duga berbelok, terlihat kaki telanjang Anitya melangkah santai, terhias tato Kaya.

Duga akhirnya sampai dekat salah satu tangga. Ia berdiri sejenak melihat ke bawah, mencari-cari jalur keluarnya. Duga hendak melangkah turun. Tiba-tiba sebuah foto berframe kayu terbang menubruk pelipisnya. Foto keluarga Anitya. Kaca di foto membentuk retakan yang berpusat di sekitar wajah Deka.

Duga terguling jatuh.

Duga mendarat dengan punggungnya, merintih, salah satu kakinya terpelintir ke arah yang tak seharusnya. Anitya melangkah turun. Duga terlalu fokus ke rasa sakit, ia baru menyadari Anitya saat bayang tubuh manusia jatuh ke atasnya. Duga sontak menengadah, menatap. Matanya penuh rasa takut, terkejut. Anitya balas menatap, wajahnya tak berekspresi, namun matanya penuh kecewa. Anitya berbicara, suaranya tidak terdengar.

Mata Duga terfiksasi ke gerak bibir Anitya, hanya bibir itu yang terlihat, sangat dekat, sangat lamban di pikirannya.

ANITYA

(mata kecewa)

ke...ce...pe..tan...


Mata Duga dari sangat dekat terlihat nanar.


TIRTA (O.C.)

Lah.


Anitya dengan cepat menoleh ke arah suara. Rahang Anitya keras, matanya melotot dingin.

Dari sudut pandang Anitya terlihat seseorang dengan helm full face berdiri di atas. Visornya terangkat. Dari dekat mata Tirta memancarkan keterkejutan bercampur gembira. Ia menyeringai di balik helmnya. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar