Sweet Taste of Demise
8. The Persistence of Memory - Salvador Dali (1931)
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

EXT. CAFE AUGUR - ATAP — MALAM

Rasi bintang Corvus berpendar di langit.


TIRTA (O.C.)

Gimana? Udah ngasih tau?


NANTA dan TIRTA duduk berSebelahan di atas atap. Tirta menghisap vape dan meniupkannya jauh dari Nanta. Mata mereka terus menatap langit.


Nanta

(diam sesaat)

Belum.


TIRTA

(menghela nafas)

Kenapa Nan?


NANTA

Ga bisa Tir... Bikin semuanya lebih sulit.


Tirta menyesap vape dalam dan menghembuskannya.


TIRTA

Jadi mau gimana?


NANTA

Ya lanjut aja kayak biasa.


TIRTA

Nanti Veda gimana, Nan? Ga kepikiran?


NANTA

Kepikiran. Tapi makin dipikir makin ga ada jalar keluar lain.


Tirta diam, menggigit bibir, lanjut menatap rasi bintang Corvus.


TIRTA

Terus Nan?


NANTA

Ya itu. Kayak biasa. Lanjut ngurus cafe aja, nabung. Lanjut kuliah juga, mungkin masih banyak sisa waktunya.


Nanta tersenyum lemah melihat langit. Tirta melirik raut melankolis Nanta.

Tirta kembali melihat langit, bola matanya mulai berair. Ia menghisap vape dan menghembuskannya ke wajah sendiri, menutup apa yang tersirat di sana dengan asap tebal.

Mereka diam beberapa saat.


TIRTA

(menghela nafas)

Kalau gitu, Nan... Kita selalu punya solusi terakhir. Buat Veda nanti.


Nanta menoleh ke Tirta.


TIRTA

(menoleh ke Nanta)

Tapi kali ini lu ga bakalan suka.


Nanta menatap bingung. Tirta balas menatap seakaan tak percaya raut bingung Nanta. Raut Nanta berubah, mengerti maksud Tirta. Ia tersenyum.


NANTA

Ya lu kan tau gue gak mungkin lagi pacaran.


Tirta mengangkat bahu. Nanta melemparkan pukulan lemah penuh senyum. Tirta menangkap tangan Nanta.


TIRTA

Simpan tenaga lu, Nan.


Nanta menarik tangannya dan menghelas nafas.


TIRTA

Jadi?


NANTA

Jadiin.


Nanta mengeluarkan bungkus rokok kusut yang tak pernah berhasil ia buang dan mengeluarkan sebatang rokok.


TIRTA

Yakin?


NANTA

Iya Tir. Yang pasti-pasti aja. Ke depannya ga ada yang bisa prediksi.


Nanta menyelipkan rokok ke bibir, korek sudah siap dipantik. Tangan Tirta tiba-tiba mengambil rokok di bibir Nanta dan meremasnya habis. Sisa-sisa rokok di tangan ia lempar ke bawah. Tirta melihat Nanta dengan raut marah namun matanya terlihat sedih. Nanta hanya membalas dengan senyum syukur.

Rasi bintang Corvus berkelap-kelip di langit. Nanta dan Tirta berbaring ke belakang serentak, menggunakan kedua tangan sebagai bantal.


TIRTA (O.C.)

Veda masih ada gue yang jagain, Nan. Lu ga perlu cemas.


Terlihat wajah Nanta dari dekat, menatap rasi bintang lekat-lekat.


MATCH CUT TO:

INT. RUMAH SAKIT - RUANG TERAPI — PAGI

Dari atas terlihat NANTA sedang berbaring, memakai gaun pasien rumah sakit, melihat ke langit-langit, wajahnya tirus. Pinggang hingga kaki suster dan dokter terlihat lewat di sisi Nanta. Badan Nanta perlahan bergerak masuk ke dalam mesin terapi. Mata Nanta sayu, mengantuk, menahan sekuat tenaga agar tidak tidur. Lampu mesin hidup, suara mesin berdengung. Mata Nanta tertutup, ia tertidur.


CUT TO:


Dunia gelap, hanya terlihat Nanta yang berdiri di puncak tanjakan dan pembatas jalan. Ia melangkah dan jatuh. Punggung Nanta melayang menuju permukaan laut, air memecah terbang. Dari air yang kembali jatuh terbentuk wujud TIRTA, ia tengah bersandar menghembus asap vape yang kental, di sisi-sisi dahinya terdapat tanduk. Asap yang dihembus membentuk halo di atas kepala Tirta, lalu halo itu mulai menghisap bagai vacuum, awalnya hanya tanduk hilang terhisap, lalu Tirta ke dalamnya juga.

Halo meledak, suasana putih terang. Terlihat VEDA tersenyum ke Nanta. Air mata menetes pelan di wajah Veda, seketika wajah itu meleleh seperti tar. Suara gemuruh petir. Nanta sedang berada di dalam kubur, berusaha meraih jenazah yang sedang diturunkan, terlihat Veda menangis menutup muka di atas. Dari atas, terlihat Nanta di dalam liang lahat sedang menegok ke dua jenazah, tanah demi tanah mulai dilempar mengisi liang. Satu tumpuk. Dua tumpuk. Lima tumpuk.

Di sekitar area liang lahat, muncul sosok lain Nanta dan Tirta, berpakaian serba hitam mengendap-ngendap. Mereka menaiki sebuah pagar tembok tinggi, lalu melompat jauh setengah melayang melintasi liang lahat. Mereka terus melompat. Nanta. Tirta. Terus melompat. Berulang, pemandangan dan aksi yang sama, seperti dalam sebuah loop. Setiap Nanta dan Tirta melompat terdengar gemericik uang koin jatuh.

Nanta di liang lahat menoleh ke atas, dari sudut pandangnya segenggam tanah jatuh ke wajah, menutup penglihatan. Nanta menyapu tanah di wajahnya, ia tak lagi dalam lubang. Terlihat wajah ANITYA mendekat, matanya tertutup, mendekat perlahan hendak mencium. Nanta mengangkat tangannya hendak menyapu pipi Anitya. Wujud Anitya memudar menjadi asap saat tersentuh tangan Nanta. Asap itu memutar spiral, membentuk kabut putih di sekeliling Nanta.

Nanta terlihat cemas melihat cepat ke kiri dan ke kanan mencari jalan keluar. Sebuah tiupan angin kencang menyapu habis kabut. Nanta kembali di dalam kegelapan. Nanta melihat-lihat ke sekeliling, lalu berbalik badan.

Terlihat sebuah cermin. Di dalam cermin berdiri sebuah tengkorak, ia sedang merokok. Nanta mendekat. Dari belakang tengkorak itu perlahan muncul wujud Anitya, memeluknya dari belakang, tersenyum ke arah Nanta. Nanta merentangkan tangannya ke depan, mencoba meraih bayangan tengkorak di cermin. Ujung jari Nanta hampir menyentuh cermin, namun tiba-tiba dari belakang Nanta muncul Tirta, dengan tangannya yang bergelang kawat duri, sekuat tenaga memukul cermin.


SMASH CUT TO:


INT. RUMAH SAKIT - AREA TUNGGU — SIANG

NANTA tersentak bangun, ia sedang duduk di area tunggu rumah sakit. Ia melihat jam di seberangnya. Jam 12.12. Nanta kembali bersandar santai, tangan di sandaran kursi.

Beat Scepter Buchanan by Thee Michelle Gun Elephant starts playing.

Mata Nanta sayu, mengantuk, kelopak matanya membuka-menutup perlahan. Mata Nanta menutup, kepalanya miring ke satu sisi. Kepala itu diam tak lagi bergerak. Dada masih mengembang tenang, namun perlahan dadanya semakin tidak terlihat bergerak. Tangan kanannya jatuh dari sandaran kursi. Nanta tidak bergerak.

TIMELAPSE

Dari ujung ruangan terlihat Nanta tidak bergerak seperti orang tertidur. Dengan sangat perlahan pemandangan semakin mendekat ke Nanta.

Orang berlalu-lalang lewat di depan Nanta tidak terlalu memperhatikan. Seorang dokter, sepasang suami-istri, sekelompok keluarga, seorang nenek berjalan lambat dengan tongkat ke arah keluar, seseorang didorong keluar menggunakan kursi roda, beberapa suster terburu-buru mendorong korban kecelakaan di atas ranjang, seorang perempuan menangis saat berjalan keluar, beberapa orang berlalu-lalang.

Wujud Nanta sudah terlihat dari sangat dekat. Ia masih tidak terlihat bergerak. Hanya terlihat Nanta dari pundak ke atas, pucat dan tirus. Hening.

Sebuah tangan tiba-tiba menggoyang pundak Nanta.

Mata Nanta terbelalak membuka. Di depannya terlihat wajah TIRTA. Pandangan Nanta kabur. Ia tidak yakin dengan apa yang dia lihat. Tirta botak, hanya tersisa sedikit rambut di kepala, jenggotnya lebih rapi. Di belakang Tirta, jam dinding menunjukkan jam 5 lewat.


TIRTA

(senyum, menggesek-gesek kepala)

Cocok ga? Biar lu ga sendirian entar.


NANTA

(tersenyum lebar)

Tapi Tir, rambut gue ga bakal rontok. Kan terapinya cuma di dada.


TIRTA

(kaget)

Ha? serius lu?


NANTA

(tersenyum semakin lebar)

Asli.


TIRTA

AH fuck lah. Ya udah.


Tirta tertawa, Nanta masih tersenyum, sorot matanya yang memancar lelah agak berair.


TIRTA

Ayolah cabut, sorry gue lama tadi.


Nanta melayangkan tangan yang ditangkap Tirta dengan mantap. Suara tangan mereka mengenggam bergema di ruang tunggu.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar