Sweet Taste of Demise
7. Keterbatasan - Lucia Hartini (1984)
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

EXT. JALANAN - MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

Nude by Radiohead starts playing.

ANITYA melambai ke DUGA, ia masuk melewati gerbang rumah. Gerbang itu otomatis menutup, Anitya tidak menunggu gerbang tertutup sepenuhnya sebelum lanjut berjalan.

Duga berdiri di depan mobil tepat di tengah. Tangannya membeku dalam pose melambai. Ekspresinya masih terkejut, pandangannya setengah kosong.


EXT. JALANAN — MALAM

Nude by Radiohead still playing.

Dari depan terlihat DUGA menyetir di belakang kaca mobil, ia berposisi agak ke kiri. Ekspresinya masih kosong seperti sebelumnya. Cahaya-cahaya mobil dan lampu jalanan lewat silih berganti di permukaan kaca mobil.


INT. KAMAR DUGA - KAMAR MANDI — MALAM

Nude by Radiohead still playing.

Dari depan terlihat DUGA berdiri menatap kosong ke tembok, rambutnya basah di tengah siraman air shower yang masih hidup. Posisinya semakin ke kiri.


INT. KAMAR DUGA — MALAM

Nude by Radiohead continues playing.

TIMELAPSE

DUGA duduk memeluk kaki di sudut kiri tempat tidur. Ia membenamkan muka ke lutut. Lampu kamar tidak hidup sama sekali. Ada buku tergeletak di lantai, covernya ditelan gelap. Cahaya bulan menembus kaca jendela dan bayangannya jatuh di dekat Duga.

Cahaya bulan bergeser menjauh dari Duga. Duga masih memeluk lutut tidak bergeming.

Cahaya bulan semakin menjauh, bayangnya semakin kelam. Duga masih dalam posisi yang sama.

Cahaya bulan hilang. Semua kelam, Duga masih berada di tempat yang sama.

Cahaya bulan yang menembus kamar digantikan cahaya matahari. Cover buku akhirnya terlihat, A Tale of Two Cities. Duga masih membatu.


J CUT TO:


EXT. AREA KOSAN DUGA — PAGI

Suara pintu mobil ditutup keras. DUGA duduk di kursi supir, wajahnya lemas, kantung matanya dalam, rambutnya agak basah. Ia memasukkan kunci mobil. Duga melirik ke setir, menyadari sesuatu. Jarum indikator bensin sudah hampir menyentuh E.

Duga mengambil dompet. Di dalam dompet terdapat beberapa lembar uang dengan total jumlah hampir 70 ribu. Ia menggaruk-garuk kepala dan menghela nafas penuh stress. Duga membuka pintu, beranjak keluar.


EXT. HALTE BUS — PAGI

Kress. Sebuah gorengan tempe digigit renyah oleh DUGA. Ia sedang menunggu bis. Setiap ada perempuan yang lewat ke halte, ia melirik tajam, masih sambil mengunyah gorengan. Setiap ada yang balas melirik, Duga mengalihkan pandangan.


INT. RUANG KELAS — SIANG

DUGA menumpu dagu di tangan. Matanya menatap ke arah layar proyektor berisi materi kuliah. Tangannya yang bebas bergerak di atas buku catatan. Terlihat di buku catatan hanya keluar coretan-coretan tidak jelas dari ujung pulpen yang terus bergerak.


INT. FAKULTAS P - KANTIN — SORE

Suara perut lapar. Terlihat DUGA mendekatkan smartphone ke telinganya, menelpon. Ia duduk sendiri, tidak memesan makan, meja itu terasa sangat lebar.

Duga menurunkan tangan, layar menunjukkan telepon tidak diangkat. Terpampang nama Mida. Duga telah menelpon 10 kali. Duga menekan-nekan layar. Terlihat tampilan messaging app.


"Lu ngampus ga?" 08.27

"Mid" 11.17

"Lu di mana?" 15.14

"Lagi di apart ga lu?" 16.00

"Gue ke sana ya" 16.09

"Mida?" 16.10


Centang satu. Pesan-pesan Duga tidak dibaca oleh Mida.


EXT. HALTE BUS — MALAM

DUGA berdiri di tengah bus yang bergoyang, hendak turun di halte selanjutnya, beberapa orang juga terlihat berdiri. Duga memegang perut, ia menelan ludah, mengernyit menahan lapar.

Bus berhenti, dua perempuan yang berdiri di depan Duga beranjak turun duluan. Duga berjalan lemah. Saat hendak melangkah turun, perutnya bersuara keras. Duga kehilangan tenaga, kakinya menapak tidak kuat. Ia jatuh terjerembab di trotoar. Salah satu tangan mendarat di kubangan kecil, melontarkan cairan-cairan kotor ke rambut dan wajahnya.

Terdengar suara nafas tertarik juga suara tertawa kecil yang teredam. Duga cepat-cepat bangun, menahan malu. Ia melihat ke bus, sopir bus cuma menggeleng-geleng kepala kasihan. Orang-orang yang duduk di samping jendela mengalihkan pandangan saat Duga menoleh ke sana.

Laki-laki yang turun setelah Duga tidak memiliki reaksi apa-apa, hanya turun dan lanjut berjalan. Bus beranjak pergi, melewati dua perempuan yang turun sebelum Duga.

Duga menyapu tangan dan rambutnya yang kotor. Dua perempuan tadi berjalan sambil melirik ke belakangan melihat Duga. Mereka tersenyum dan menaruh tangan di depan mulut menahan tawa. Muka Duga memerah, malu. Ia tahu ia sedang dibicarakan. Duga malu-malu melirik ke arah dua perempuan, masih sambil memebersihkan diri.

Ekspresi Duga mendadak berganti, matanya setengah tak percaya. Wajah dua orang itu berubah, perempuan di sisi kiri menjadi KAYA dan di kanan menjadi ANITYA, masih sesekali melirik ke belakang, tertawa kecil.

Duga mengepalkan tangan kotornya ke samping badan. Tatapan Duga menjadi dingin dan tajam, rona merah di wajahnya memaknai emosi yang berbeda dari sebelumnya.


EXT. JALANAN — MALAM

Langit malam mendung, tidak terlihat bintang sama sekali.

Perempuan KAYA dan Perempuan ANITYA berjalan santai sambil berbincang-bincang, tidak memperhatikan sekitar. Jauh di belakang mereka, sepasang mata keluar dari bayang, menatap tajam. Mata DUGA.

Duga mengikuti dua perempuan itu, selalu berjalan di area yang temaram, dan menghindari siraman cahaya lampu jalan. Selama menguntit ia terus menggemeretakkan jari bercincin dengan ibu jarinya.

Mereka ke kiri, Duga ke kiri. Mereka membeli jajanan, Duga membeli jajanan di gerobak lain. Mereka duduk beristirahat di taman, Duga menunggu mereka dalam gelap. Mereka tertawa, Duga meringis.

Di sebuah perempatan kedua orang itu berpisah jalan. Perempuan Kaya ke kiri dan Perempuan Anitya ke kanan. Duga berdiri di perempatan, ragu.

Duga menoleh ke kanan. Arah area pertokoan, lebih ramai, terlihat banyak cahaya. Duga menoleh ke kiri. Arah perumahan dan area kos, tenang bercampur sepi, jarang yang berlalu-lalang, banyak gang. Duga menoleh lagi ke kanan, lalu ke kiri, kembali ke kanan. Ia berpikir, mengigit bibir. Jarinya memainkan cincin.

Duga berbelok ke kiri. Ia menoleh ke belakang sesaat, lalu kembali menghadap ke depan, berjalan cepat. Duga tidak perlu lagi bersembunyi dari terang, karena cahaya jalan jauh lebih temaram. Wajahnya sedikit cemas, takut kehilangan. Tak lama sosok Perempuan Kaya kembali terlihat.

Duga perlahan mulai mengecilkan jarak di antara mereka berdua.

Kanan. Kanan.

Kiri. Kiri.

Langkah mereka sekarang sama.

Jarak di antara mereka tinggal 50 meter.

40...

25...

10...

5...

Perempuan Kaya sudah sepenjangkauan tangan Duga. Duga menahan nafas, tangannya mulai ia rentangkan. Dekat.

Sorot matanya tidak terlihat terhalang bayang. Pelan.

Jari-jarinya agak bergetar saat mendekat. Hampir.

Tangan Duga sudah berada tepat di belakang leher Perempuan Kaya. Jarinya mulai merenggang menangkap.

Terdengar langit menggeramkan gemuruh.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar