Polo Mata
9. Act 2 (Scene 51 - 58)

51. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM

 

Fadli kembali meruqyah Rahma. Dia melantunkan lagi ayat-ayat pilihan sehingga Rahma meronta-ronta dan menjerit-jerit, dan Harun terpaksa harus memegangnya kuat-kuat.

 

Kali itu, mata Rahma melotot, bahkan memerah. Dia pun melotot tajam ke arah Fadli dan berkata dengan suara yang berat dan dalam seolah-olah bukan dia yang berucap. Harun masih berusaha menahannya.

 

RAHMA

Kurang ajar! Apa kau tak punya urusan lain, hah?

 

FADLI

Bertobatlah! Asyhadu alla ilaaha illallah..

 

RAHMA

(mengejang)

Tobat bukan urusanmu. Itu urusan saya.

 

FADLI

Laa Ilaaha Illallah…

 

Fadli mengangkat tangannya ke arah Rahma, tapi tak menyentuhnya.

 

FADLI

Innalillah… innalillah.. Allahu akbar!

 

Rahma akhirnya pingsan. Dia jatuh di pelukan Harun.

 

CUT TO

 

52. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM (LATER)

 

Harun yang sedang memangku kepala Rahma terus berusaha menyadarkannya.

 

HARUN

Sayang! Bangun, Sayang!

 

Mata Rahma lalu terbuka pelan-pelan hingga Rahma akhirnya terbangun dengan kesadaran yang belum stabil. Dan…

 

Rahma kembali melihat sosok buruk rupa. Sontak, dia mengalihkan pandangannya sambil menjerit.

 

HARUN

Sayang?

 

RAHMA

Ini nggak ada gunanya.

 

Rahma segera menghindar dari sisi Harun. Dia kemudian bangkit, lalu lari masuk ke kamarnya sambil menangis tersedu-sedu.

 

Harun hendak mengejarnya, tapi dia sadar kalau masih ada Fadli di sana. Akhirnya, dia hanya bisa berteriak.

 

HARUN

Sayang?!

 

Harun pun menatap Fadli dengan perasaan bersalah.

 

HARUN (cont’d)

Fadli, saya minta maaf ya!

 

FADLI

Tidak apa-apa, Pak.

 

Harun lalu merogoh sesuatu dalam saku belakang celananya. Dia mengeluarkan amplop berisi uang, lalu menyerahkannya pada Fadli.

 

HARUN

Oh iya, Fadli, ini sedikit ucapan terima kasih.

 

Fadli menampik.

 

FADLI

Tidak usah, Pak, saya ikhlas.

 

HARUN

Tidak apa-apa ambil saja. Saya juga ikhlas. Lagian saya tidak enak sudah berkali-kali minta kamu datang tapi belum kasih apa-apa.

 

FADLI

Serius, Pak, tidak usah. Saya juga senang bisa bantu Bapak.

(pause)

Oh iya, Pak, saya pulang dulu. Semoga Ibu cepat sembuh. Kalau butuh bantuan, hubungi saja, Pak. Insya Allah, saya siap.

 

HARUN

Terima kasih nah Fadli. Kamu hati-hati.

 

FADLI

Terima kasih juga, Pak.

 

CUT TO

 

53. INT. RUMAH RAHMA – DEPAN KAMAR – MALAM (LATER)

 

Harun mengetuk-ketuk pintu karena Rahma enggan berhenti menangis di dalam kamar.

 

HARUN

Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?

 

INTERCUT WITH

 

54. INT. RUMAH RAHMA – KAMAR – MALAM

 

Rahma menangis tersedu-sedu sambil bersandar pada pintu kamar.

 

RAHMA

Sampai kapan kita begini, Sayang? Sampai kapan saya harus diruqyah sedangkan hasilnya sama sekali nggak ada? Sampai kapan?!

 

HARUN

Yang sabar, Sayang.

 

RAHMA

Kamu punya kata lain selain sabar, nggak? Saya sudah berkali-kali sabar, Sayang, tapi kita masih seperti ini.

 

HARUN

Saya minta maaf, Sayang, tapi kita memang tidak punya hal lain selain sabar. Kita sudah ikhtiar, serahin semua sama Tuhan, tapi kalau memang masih seperti ini, berarti Tuhan masih meminta kita untuk sabar.

 

RAHMA

Tapi saya sudah capek, Sayang. Saya sudah nggak tahan lagi dengan kondisi begini.

 

Tangis Rahma kian keras.

 

Harun bingung dan bertambah khawatir.

 

HARUN

Sekali lagi, saya minta maaf, Sayang. Sekarang saya tidak bisa berbuat banyak buat kamu. Saya tidak bisa hapus air matamu. Saya tidak bisa memelukmu agar kamu tenang. Saya benar-benar kalah.

 

Tangis Harun ikut pecah.

 

HARUN (cont’d)

Atau… mamamu mungkin benar.

(pause)

Kalau kita memang tidak berjodoh.

 

Harun menarik napas dalam-dalam, air matanya masih berlinang, dan…

 

HARUN (cont’)

Kalau bersamaku membuatmu menderita, mungkin berpisah lebih baik.

 

Rahma sangat terkejut dengan ucapan Harun.

 

CUT TO FLASHBACK

 

55. INT. RUMAH FATMA – FLASHBACK – SIANG

 

Siska (28 tahun), adiknya Rahma baru saja melahirkan. Saat itu, Siska sedang duduk di tempat tidur sambil menggendong bayinya. Ada Asti (39 tahun), istriya Darma (40 tahun), kakak tertua Rahma, dan Fatma yang bersamanya.

 

ASTI

Urus cuti hamil dan melahirkan kemarin, gimana, Dek, tidak ribet, kan?

 

SISKA

Alhamdulillah, Kak, untung suamiku cepat tanggap.

 

FATMA

Itu enaknya kalau sama-sama PNS, baru sekantor.

 

Saat itulah, kita lihat Rahma dan Harun masuk ke dalam kamar itu.

 

SISKA

(pada bayinya)

Nak, lihat siapa yang datang? Itu Tante Rahma sama Om Harun. Masuk sini, Tante, Om!

 

Rahma langsung duduk di sebelah Siska, sementara Harun mengambil tempat di sisi yang lain.

 

RAHMA

Masya Allah, cantiknya keponakan Tante.

(pada Harun)

Sayang, coba lihat pipinya, tembem kayak fotomu waktu kecil.

 

ASTI

(pada Rahma)

Widih, masih pakai sayang-sayangan.

 

RAHMA

Harus itu, Kak, biar masih kayak pacaran.

 

ASTI

Iya juga, ya. Hmhm, kalau kakakmu Darma, aduh, boro-boro manggil sayang, kadang malah manggil langsung nama.

 

RAHMA

(tertawa)

Kak Darma memang begitu, Kak, yang sabar ya..

 

SISKA

(pada Rahma)

Terus kapan giliran Kak Rahma ngasih kita ponakan?

 

FATMA

Iya, Rahma. Siska saja yang baru nikah setahun lebih sudah punya bayi yang lucu. Masa yang sudah lima tahun belum.

 

Rahma langsung menatap Harun dengan perasaan bersalah. Dia pun mengalihkan pembicaraan dengan lanjut bermain-main dengan bayinya Siska.

 

CUT TO FLASHBACK

 

56. INT. RUMAH FATMA – MALAM

 

Malam itu Rahma, Harun, Fatma, Asti, Darma, Putri (6 tahun), anak bungsunya Darma berkumpul di ruang keluarga. Mereka mengobrol ringan sambil makan kacang dan minum teh.

 

Karena Arka (19 tahun) dan Rehan (14 tahun), anak sulungnya Darma belum pulang, Fatma segera menelepon Arka.

 

FATMA

Arka, masih bareng Rehan?

(pause)

Jangan kemaleman!

(pause)

Ya sudah, jagain Rehan baik-baik!

(pause)

Asalamualaikum!

 

DARMA

Nggak apa-apa, Ma. Namanya juga anak laki. Percayain saja sama omnya.

 

FATMA

Semenjak bapakmu meninggal, Arka itu sering keluar malam, terus pulangnya bisa sampai tengah malam atau malah tidak pulang-pulang. Katanya sih nginap di rumah temannya.

 

DARMA

Masa puber, Ma, memang begitu, yang penting Mama harus bisa ngontrol ke manapun dia pergi. Jangan sampai dia hamilin anaknya orang.

 

Asti langsung mencubit pinggang Darma hingga membuat Darma cengar-cengir.

 

ASTI

(pada Darma)

Hush, kamu ini.

 

FATMA

Terus, kapan pindah tugas ke sini, Darma, Asti? Mana Siska sebentar lagi juga bakal pindah ke rumah barunya. Mama jadi kesepian di sini.

 

DARMA

Kami juga lagi usaha, Ma, cari channel. Toh sehebat-hebatnya tempat tugas, lebih hebat lagi kalau mengabdi di kampung halaman.

(pada Putri yang sedang dipangkunya)

Oh iya, Nak, kamu suka di sini, kan?

 

PUTRI

Putri suka banget di sini, Pa. Pa, Putri mau lihat dedek bayi lagi. Boleh, kan?

 

DARMA

Iya, boleh. Tapi jangan cubitin ya!

 

Putri mengangguk, lalu bangkit, kemudian mencoba lari, tapi tiba-tiba kesandung kursi dan hampir terjatuh.

 

Asti kontan berteriak cemas!

 

ASTI

Awas, Nak!

 

Putri hanya berbalik ke Asti sambil tersenyum malu-malu, tapi kemudian kembali lari ke kamar Siska.

 

ASTI (cont’d)

Aduh, Nak, makanya hati-hati.

 

Rahma gemas.

 

RAHMA

Lucu banget sih keponakan tante.

 

DARMA

Lucu, kan, anak Kakak? Nah, kapan kamu ngasih keponakan juga, Rahma? Sudah lama banget loh! Masa keduluan sama Siska.

 

Rahma diam. Dia lanjut menatap Harun dengan bingung.

 

Fatma berdeham.

 

FATMA

Sudahlah, Darma, Mama saja capek nanya begituan.

 

DARMA

(pada Rahma dan Harun)

Kalian sudah program, kan?

 

FATMA

Sudah kadaluarsa mungkin.

 

Rahma yang mulai panas akhirnya angkat bicara.

 

RAHMA

Kami sudah berusaha kok.

 

DARMA

Yah.. kalau memang ada masalah kesuburan, lebih baik cerita, nggak usah disembunyikan.

 

ASTI

Hmhm, di Balikpapan ada pengobatan semacam kesuburan begitu. Kalau mau, kamu bisa ikut sama kami nanti.

 

FATMA

Iya, Rahma, Harun, lebih baik berobat kalau memang ada masalah daripada nikah tapi tidak menghasilkan generasi.

 

DARMA

(pada Fatma)

Ma…

 

Rahma dan Harun akhirnya hanya bisa menunduk pasrah.

 

CUT TO FLASHBACK

 

57. INT. RUMAH RAHMA – KAMAR – FLASHBACK – MALAM

 

Rahma sudah membaringkan badannya di tempat tidur, tapi Harun masih saja duduk memangku bantal. Dia seperti memikirkan sesuatu.

 

RAHMA

Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?

 

Harun menoleh pada Rahma, lalu menyentuh tangannya lembut.

 

HARUN

Tidak apa-apa, Sayang. Kalau mau tidur, tidur saja duluan.

 

RAHMA

Masih kepikiran soal yang di rumah mama tadi?

 

Harun menggeleng pelan.

 

Rahma kemudian bangkit, lalu ikut duduk bareng Harun.

 

RAHMA (cont’d)

Saya tahu, Sayang, kamu pasti agak terluka soal ucapan mereka tadi, kan?! Maafin Mama sama yang lain ya, Sayang. Mereka tahunya cuma bisa ngomong, nggak lihat sejauh mana kita sudah berusaha.

 

HARUN

Atau mungkin mereka benar, Sayang, kalau usaha kita masih kurang.

 

RAHMA

Sayang, kita sudah program. Kita juga sudah cek ke dokter kalau nggak ada masalah sama kita.

 

HARUN

Tapi, Sayang… kalau memang tidak ada masalah terus kenapa kita belum punya anak?

 

Mereka diam cukup lama, tenggelam dalam perenungan masing-masing, sampai kemudian Rahma kembali bersuara.

 

RAHMA

Sayang?!

 

HARUN

Hmhm.

 

RAHMA

Saya sadar kalau ini kesalahan saya. Awal-awal kita nikah, saya sering sakit, akhirnya kita mesti nunda-nunda promil, bahkan setahun lebih.

 

Harun menoleh pada Rahma. Tatapannya masygul. Tapi, dia tak menanggapi, jadi Rahma melanjutkan.

 

RAHMA (cont’d)

Saya sudah pikirin ini cukup lama, Sayang. Saya juga nggak bisa egois.

(menarik napas)

Kalau memang yang kamu inginkan seorang anak… saya nggak masalah kalau kamu beristri lagi.

 

Harun terkejut mendengar ucapan Rahma.

 

HARUN

Sayang?! Kenapa bilang begitu? Saya memang menginginkan seorang anak, tapi bukan berarti saya akan menikah lagi.

 

Harun mendesah berat, matanya berkaca, lalu menatap mata Rahma dengan tatapan yang cukup dalam.

 

HARUN (cont’d)

Kamu masih ingat kan, Sayang, kalimat yang saya ucapkan pas kita jadian?

(pause)

Kamu tak perlu sempurna untuk bisa menyempurnakan saya, karena semua hal yang saya inginkan sudah ada dalam dirimu. Kamu mungkin bukan yang pertama yang saya cinta yang saya simpan dalam hati saya, tapi percayalah, yakinlah, kamu akan menjadi perempuan terakhir yang saya ingin hidup bersama.

 

Harun langsung meraih tangan Rahma, menggenggamnya cukup erat.

 

HARUN (cont’d)

Apapun masalah kita, saya masih mau menjalani sisa hidup saya sama kamu.

 

BACK TO PRESENT

 

58. INT. RUMAH RAHMA – KAMAR – MALAM

 

Rahma berusaha mereda tangisnya.

 

RAHMA

Saya minta maaf, Sayang. Pikiranku cuma lagi nggak stabil. Dan apapun yang terjadi, saya masih mau menjalani sisa hidup saya sama kamu.

 

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar