Polo Mata
7. Act 2 (Scene 35 - 41)

35. INT. RUMAH DUKUN SANRO BACO – MALAM

 

Rahma dan Harun menemui Sanro Baco (60 tahun).

 

Sanro Baco ialah dukun tua yang senang memakai sarung dan kemeja putih yang agak kebesaran. Tubuhnya kurus dan memiliki janggut yang panjang melintir. Tidak tahu Bahasa Indonesia, dan hanya berbicara dengan Bahasa Bugis.

 

Saat itu, kita sudah lihat Rahma dan Harun duduk lesehan berhadapan dengan Sanro Baco di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas dan bernuansa gelap. Di ruangan itu kita bisa lihat beragam benda kuno dan mistis.

 

Harun yang memang orang Bugis bicara dengan Sanro Baco, sementara Rahma yang tidak terlalu paham diam saja sambil menghalangi pandangannya dari Harun dengan sebelah tangannya.

 

HARUN

Tabe, Puang, engka minasaku, meloka mello tulung, aye kasina bineku malasa makelellaingta uwita.

(Maaf, Pak, saya mau minta tolong. Istriku sepertinya lagi sakit yang agak aneh.)

 

SANRO BACO

Malasa maga memang’I bineta?

(Memangnya sakit apa istrimu?)

 

HARUN

Anu, Puang, maja paneddingnata mitaka, pappada mita setang. Aro kasina tuli naballianga pakkita.

(Begini, Pak, perasaannya tidak pernah nyaman setiap lihat saya. Dia seperti melihat hantu. Lihat saja! Dia terus-terusan buang muka pada saya.)

 

SANRO BACO

Adekke-dekkeki siga uwitai!

(Coba mendekat biar kulihat!)

 

HARUN

(pada Rahma)

Sayang, dia menyuruhmu mendekat.

 

Rahma lalu mendekatkan tubuhnya ke Sanro Baco, tangannya masih digunakan untuk menghalangi pandangannya pada Harun.

 

SANRO BACO

Matammu.

(Matamu)

 

Sanro Baco mencontohkan mata yang terbuka lebar, dan Rahma mengikuti. Kemudian, Sanro Baco menelisik ke arah mata Rahma beberapa menit, lalu mengangguk-angguk.

 

HARUN

Magai bineku, Puang?

(Kenapa dengan istriku, Pak?)

 

SANRO BACO

Polo Mata iyee.

(Ini Polo mata)

 

HARUN

Polo mata, Puang?

 

SANRO BACO

Yah. Engka makkunrai malasa ati ri’ bineta. Makunrai sipoji-pojita riolo. Nakiringan’I baca-baca polo mata bare’ maja’ pakkitanna ri’idi.

(Iya. Ada perempuan sakit hati yang mengguna-guna istrimu. Perempuan masa lalumu. Dia mengirimkan jampi-jampi polo mata sehingga penglihatannya tidak nyaman sama kamu.)

 

HARUN

Mappakogani pale, Puang?

(Terus, bagaimana, Pak?)

 

SANRO BACO

Sitongenna, maladdeni, tapi weddingma upadecengi, tapi taissengituh… de’ namagampang iye nasaba engkato sedding lellaing uwita.

(Sebenarnya, sudah keras, tapi saya masih bisa sembuhkan. Namun, kamu tahu sajalah… ini tidak mudah, apalagi sepertinya ada hal lain lagi yang kulihat.)

 

Sanro Baco tersenyum menggoda sebagai israyat dana yang besar.

 

CUT TO

 

36. INT. MOBIL – MENYETIR - MALAM

 

Rahma dan Harun sudah duduk di dalam mobil. Harun duduk di depan menyopiri, sedangkan Rahma duduk di belakang. Sebuah kain sengaja dipasang di antara jok depan dan belakang sehingga mereka tidak saling memandang.

 

RAHMA

Sayang, tadi dia bilang apa?

 

Harun diam. Dia bingung.

 

RAHMA (cont’d)

Sayang, jawab!

 

HARUN

Guna-guna.

 

RAHMA

Tuh, kan.

(menahan emosi)

Terus, siapa yang lakuin?

 

Harun kembali diam.

 

RAHMA

Sayang, kenapa sih?! Tinggal jawab saja! Siapa orang yang nggak suka sama hubungan kita?

 

HARUN

Perempuan. Masa lalu.

 

RAHMA

Mantan?

 

HARUN

Hmhm

 

RAHMA

Sayang, kamu selalu bilang kalau kamu cuma punya satu mantan, tapi kamu nggak pernah bilang siapa perempuan itu. Sekarang, jawab! Siapa perempuan itu?

 

Harun tampak gelisah. Dia bingung sekali bagaimana menjawab pertanyaan Rahma itu.

 

CUT TO FLASHBACK

 

37. EXT. SEKOLAH – AREA LAPANGAN – FLASHBACK – PAGI

 

Rahma dan Narti yang mengenakan seragam SMP karena masih siswa baru sedang mencabuti rumput di pinggir lapangan bersama siswa baru lainnya. Senior mereka yang sudah berseragam SMA tampak memperhatikan.

 

Saat itu, sambil mencabuti rumput, Rahma terus memandangi Harun yang sedang duduk sendirian di tembok depan kelasnya.

 

Narti menegur.

 

NARTI

Lihat apaan sih? Serius betul.

 

RAHMA

(menunjuk ke Harun)

Coba lihat kakak itu!

 

NARTI

Kak Harun?

 

RAHMA

Iya. Dia keren banget sih. Ditambah lagi dua kancing atasnya kebuka, seksi banget, berasa pengen bersandar di dadanya tau.

 

NARTI

Ihh, dasar! Pikiran kotor!

 

RAHMA

(tertawa)

Tahu, nggak?

 

NARTI

Apa?

 

RAHMA

Dia loh yang nolongin saya pas kekunci di gudang kemarin. Sudah cakep, baik banget lagi. Tapi…

 

NARTI

Tapi, kenapa?

 

RAHMA

Pas kemarin pintunya sudah kebuka, saya langsung lari soalnya malu pas lihat mukanya. Ahhh, jadi lupa dah terima kasih.

 

NARTI

Aduh, Rahma, Rahma. Terus sekarang gimana? Baru mau bilang terima kasih?

 

RAHMA

Hmhm, entahlah. Masih malu. Cuma bisa berani mandang dia dari jauh.

 

Rahma senyam-senyum.

 

RAHMA (cont’d)

Nar, tahu lagi, nggak, ternyata dia yatim piatu dan cuma tinggal sama omnya loh. Terus, sepulang sekolah, dia suka ikut sama omnya jualan di pasar gitu.

 

NARTI

Kamu mata-matain dia?

 

RAHMA

Sedikit doang, kok. Kebetulan nemu dia di pasar kemarin, terus pas dia pergi, saya samperin omnya sambil pura-pura beli kemudian nanya-nanya tentang dia. Saya bilang aja kalau saya temannya.

 

NARTI

Ada-ada aja deh, Rahma.

 

RAHMA

Nggak tahu deh, Nar, pokoknya dia perfect banget. Cakep, baik, mandiri, nggak gengsian, pasti juga pintar. Coba saya pacarnya, pasti saya beruntung sekali.

 

NARTI

Dia sudah punya pacar.

 

RAHMA

Tahu dari mana?

 

NARTI

Kak Harun itu seniorku waktu SMP.

 

RAHMA

Beneran?

 

NARTI

Iya. Saya juga ndak tahu siapa pacarnya. Orang-orang saja yang bilang kalau dia sudah punya pacar, dan dia itu tipe orang yang setia.

 

RAHMA

Hmhm, betuntung banget sih perempuan itu. Tapi nggak apa-apa deh. Kan baru pacar. Nanti, saya yang jadi istrinya.

 

NARTI

Mimpi! Kalau mimpi, jangan ketinggian, nanti jatuh, sakit loh!

 

RAHMA

Biarin! Selama masih gratis, apa salahnya mimpi?! Iya, kan?

 

NARTI

Terserah deh.

 

Salah seorang senior perempuan kemudian mendekat, lalu meneriaki mereka.

 

SENIOR PEREMPUAN

WOI! Kalian! Cerita terus. Buruan cabutin rumputnya.

 

Rahma dan Narti mengangguk, lalu melanjutkan mencabut rumput.

 

CUT TO FLASHBACK

 

38. INT. SEKOLAH – PERPUSTAKAAN – FLASHBACK – PAGI

 

Kita lihat Harun sedang duduk sambil membaca di perpustakaan.

 

Kemudian, kita lihat tangan seorang perempuan yang menyentuh pundak Harun sebelah kiri.

 

Harun lalu menengok ke arah perempuan itu.

 

HARUN

Sayang?

 

Saat itulah kita bisa lihat perempuan yang kemudian duduk di sebelah kiri Harun. Dia adalah Narti.

 

NARTI

Betul-betul capek nih, Sayang. Kakak-kakak senior pada kejam.

 

HARUN

Sabar, Sayang.

(memijat tangan Narti)

Nih, saya pijat biar capeknya hilang.

 

Narti tersenyum lebar ketika dipijat harun.

 

NARTI

Makasih ya, Sayang.

 

Harun tersenyum sambil masih memijat tangan Narti.

 

NARTI (cont’d)

Sayang?

 

HARUN

Iya?

 

NARTI

Apa kita kasih tahu teman-teman saja kali ya soal hubungan kita?!

 

HARUN

Untuk apa? Sayang, hubungan itu tidak akan spesial lagi kalau orang-orang sudah tahu. Ditambah lagi, pasti ada saja yang bakal tidak suka sama hubungan kita. Kecuali, kalau saya sudah nikahin kamu.

 

NARTI

Sayang, saya baru kelas 1 loh.

 

HARUN

Lahh, kan bukan sekarang juga, Sayang. Nanti kalau kita sudah pada lulus, sudah kerja, baru dah kita nikah.

 

Narti mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kemudian, dia teringat sesuatu.

 

NARTI

Bentar, sayang!

 

Narti kemudian merogoh sesuatu dalam saku bajunya. Dia pun mengeluarkan dua karcis film horor.

 

Harun terkejut.

 

HARUN

Habis pesan?

 

NARTI

Iye, Sayang. Nanti sore kita nonton ya.

 

Harun tampak ragu.

 

NARTI (cont’d)

Mau jualan ya?

 

HARUN

Bukan. Kalau itu bisa diatur.

 

NARTI

Jangan bilang kamu masih takut nonton film horor, Sayang?! Tenang! Saya akan pastiin kamu ndak akan takut lagi, bahkan kamu jadi penggemar film horor, Sayang. Bagaimana? Mau ya?!

 

HARUN

Hmhm

 

NARTI

Ayolah… saya sudah capek-capek loh beli tiket ini.

 

Setelah berpikir, Harun akhirnya mengangguk. Narti senang sekali.

 

CUT TO FLASHBACK

 

39. INT. SEKOLAH – AULA – FLASHBACK – PAGI

 

Kita lihat sebuah spanduk besar di atas panggung yang bertuliskan, WISUDA DAN PELEPASAN SISWA KELAS XII SMAN 1 BONE, TAHUN PELAJARAN 2003/2004

 

(no dialog)

Saat itu kita lihat siswa kelas XII yang dinyatakan lulus saling memberi selamat dan bersalaman dengan bahagia setelah prosesi kelulusan selesai.

 

Tampak Harun disalami beberapa siswa lainnya sambil membawa tabung piagam.

 

Saat itu, Harun dan siswa kelas XII lainnya mengenakan kemeja putih, dasi hitam, dan celana kain hitam, serta sepatu pantofel.

 

Kemudian, terlihat Rahma dan Narti sedang berdiri di bagian belakang bersama siswa lainnya. Mereka saat itu sudah mengenakan seragam SMA.

 

RAHMA

Tuh, kan, Nar, Kak Harun itu pasti pintar. Yah, meskipun nggak dapat peringkat terbaik, tapi lolos beasiswa di Jojga. Keren banget tau!

 

Narti diam saja. Matanya fokus memandangi Harun yang terus disalami siswa-siswa lainnya. Rahma akhirnya menegur.

 

RAHMA (cont’d)

Nar, kenapa sih? Hmm, kamu suka juga ya sama Kak Harun?

 

NARTI

Ndaklah. Dia kan sudah punya pacar.

 

RAHMA

Lah, kenapa? Memangnya kalau dia sudah punya pacar, kita sudah nggak bisa kagum gitu? Kan, nggak. Lagian pacaran itu belum sah tau, masih bisa ditikung, hahaha.

 

NARTI

Tega ya?! Coba di posisi pacarnya, terus ada orang lain yang rebut orang yang kamu sayang, apa kamu ndak sakit hati?

 

RAHMA

Hmhm, kamu kok jadi serius gini sih? Saya kan cuma bercanda.

(pause)

Sudah ah, ayo ke kantin! Laper nih.

 

Rahma pergi duluan. Sementara itu, kita liahat wajah Narti yang tersenyum sambil memandangi Harun.

 

CUT TO FLASHBACK

 

40. INT. KAFE – FLASHBACK - MALAM

 

Harun sangat gelisah. Dia mengatur napas sebelum akhirnya bersuara liris.

 

HARUN

Sayang, sepertinya hubungan kita harus berakhir sampai sini.

 

Narti yang hendak meminum minumannya terpaksa urung, dan langsung menatap Harun dengan muka tak percaya.

 

NARTI

Kok tiba-tiba begini? Saya punya salah?

 

Harun menggeleng.

 

NARTI (cont’)

Jadi?

 

HARUN

Saya harus ke Jogja.

 

NARTI

Terus, kenapa? Memangnya kalau ke Jogja, kita sudah ndak bisa berhubungan?

 

HARUN

Bukan begitu, tapi saya mau fokus belajar. Kamu harus ngerti itu, Sayang. Beasiswa ini sudah mati-matian saya dapatkan, dan saya tidak mau ini semua sia-sia.

 

Narti kian tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia pun berusaha menahan tangisnya.

 

NARTI

Omong kosong. Bilang saja kalau kamu ndak sayang saya lagi, atau jangan-jangan kamu sudah punya cewek lain ya?! Jujur!

 

Harun diam.

 

NARTI (cont’d)

Kamu suka sama Rahma?

 

HARUN

SAYANG!

 

Narti tidak kuasa menahan tangisnya. Dia pun langsung berdiri sambil mengambil tasnya.

 

NARTI

Ndak usah panggil ‘sayang’ kalau sayangmu itu cuma omong kosong. Kalau kamu maunya begitu, terserah, semoga jadi orang sukses di Jogja.

 

Narti langsung lari meninggalkan Harun sambil menangis tersedu-sedu.

 

Harun diam di tempatnya dengan muka yang gelisah.

 

BACK TO PRESENT

 

41. INT. MOBIL – MENYETIR - MALAM

 

Rahma sangat terkejut.

 

RAHMA

Narti? Narti, sahabat saya, mantanmu?

 

HARUN

Terus sekarang gimana? Kamu percaya, Sayang, kalau Narti yang lakuin ini?

 

Rahma diam. Dia masih syok.

 

HARUN (cont’d)

Sudah saya bilang, Sayang, dukun itu sesat. Sekarang, lihat! Dia malah mengadu domba kita.

(pause)

Oke. Narti memang mantanku. Tapi hubungan kita semua baik-baik saja. Bahkan sebelum kita nikah sampai kita sudah nikah, Narti selalu bareng kita. Kamu juga tahu, kan, Sayang, kalau Narti selalu ada buat kamu. Apa mungkin dia melakukan ini?

 

RAHMA

Saya nggak tahu, Sayang, saya bingung.

 

HARUN

Sayang, kamu ingat-ingat. Saat kamu sakit, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa, siapa yang datang? Narti. Sahabat kamu.

(pause)

Ayo, Sayang, kamu tidak perlu percaya sama dukun itu. Dia cuma mengada-ada.

 

 RAHMA

Ya sudah, sekarang gimana? Kalau memang bukan Narti, terus siapa, Sayang? Siapa orang sakit hati yang membuat kita seperti ini?

 

Harum bungkam. Dia juga bingung.

 

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar