Polo Mata
6. Act 2 (Scene 32 - 34)

32. INT. RUMAH RAHMA – PAGI

 

KAMAR

 

Harun sedang mengenakan dasi di kamar ketika pintu rumah terketuk. Harun langsung buru-buru mengenakan dasinya, lalu bergegas keluar hendak membuka pintu.

 

RUANG TAMU

 

Harun tampak sedikit terkejut ketika pintu terbuka dan sudah ada Fatma yang berdiri di sana.

 

Sementara itu, sorot mata Fatma dingin.

 

FATMA

Asalamualaikum.

 

HARUN

Waalaikumsalam. Masuk, Ma.

 

Fatma berdeham kemudian masuk mengikuti Harun.

 

Di ruang tamu, Fatma tampak melihat-lihat ke seluruh ruangan itu, ruangan tamu dengan desain minimalis tapi terlihat modern, beberapa sofa yang cukup besar berwarna emas, sebuah guci dan palem bambu di sudut ruangan, sebuah bingkai yang menunjukkan foto Rahma dan Harun yang tersenyum bahagia di dinding, lalu bertanya.

 

FATMA

Mana Rahma?

 

HARUN

Berangkat lebih awal, Ma.

 

FATMA

Oh.

 

Fatma lalu duduk di sofa tamu, diikuti Harun.

 

Mereka terdiam cukup lama karena Harun tampak bingung harus memulai obrolan setelah situasi di antara mereka cukup canggung, sementara Fatma juga hanya terus melihat-lihat kondisi rumah.

 

Sampai akhirnya, Fatma angkat bicara.

 

FATMA

Harun.

 

HARUN

Iya, Ma?

 

FATMA

Sudah lama Mama tidak berkunjung ke sini. Dan Mama akui, kamu cukup berhasil menghidupi istrimu. Tapi...

 

Harun melebarkan kelopak matanya.

 

FATMA (cont’d)

Berumah tangga bukan cuma bisa kasih nafkah. Ada hal yang harus kamu lengkapi.

 

Harun menundukkan wajahnya. Mendengar dengan cukup waswas.

 

FATMA (cont’d)

Kamu paham itu, kan, Harun?

 

Harun mengangkat wajahnya perlahan. Dia jelas sekali merasa bersalah.

 

FATMA (cont’d)

Tujuh tahun lebih bukan waktu yang singkat. Apa kamu sadar kalau kamu sudah menyiksa istrimu selama itu?

(pause)

Pernah tidak kamu bertanya apa istrimu bahagia selama kalian nikah?

 

Harun bungkam. Pikirannya berkecamuk.

 

FATMA (cont’d)

Mama tidak akan lagi menuntut kalian pisah. Mama sudah tua. Kalian sudah dewasa. Kalian tentu tahu hal yang terbaik untuk kalian.

 

Harun sekali lagi diam saja.

 

FATMA (cont’d)

Mama cuma berharap, paling tidak biarkan istrimu tinggal sama Mama selama kondisinya sedang tidak baik, sampai kamu bisa membuktikan kalau kalian memang layak bersama.

 

Fatma berdiri. Harun diam di tempatnya.

 

FATMA (cont’d)

Mama cuma minta itu. Asalamualaikum.

 

HARUN

(dengan sangat pelan)

Waalaikumsalam

 

Fatma lalu pergi dan keluar.

 

Harun masih duduk di sofa tamu, tampak gelisah dan serba salah.

 

CUT TO

 

33. INT. KAFE – SIANG

 

Rahma dan Narti tampak duduk bersama di kafe. Sudah ada beberapa makanan dan minuman di meja mereka. Sambil menyantap makan siang, mereka mengobrol.

 

Rahma mengenakan pakaian dinas khaki, dan Narti mengenaikan kemeja putih dan rok hitam.

 

RAHMA

Ke rumah lagi ya nanti malam.

 

NARTI

Malam ini… kayaknya susah.

 

RAHMA

Kenapa? Tante sakit lagi?

 

NARTI

Adek ada kemah di sekolah. Sebenarnya sudah saya minta ndak usah ikut, tapi ngotot. Katanya sih wajib.

 

RAHMA

Terus, gimana dong sama saya?

 

NARTI

Kamu kan punya suami, Rahma.

 

RAHMA

Punya sih punya, tapi nggak tidur bersama. Gimana mau bareng kalau liat wajahnya saja nggak ada bedanya sama mimpi buruk?!

 

NARTI

Hahaha. Bisa aja.

 

RAHMA

Betulan tahu.

(pause)

Sudahlah, malam ini tidurku nggak akan nyenyak lagi.

 

NARTI

Jangan ngomong gitu kali!

 

Rahma mendesah kecewa.

 

NARTI (cont’d)

Lama tidur sendiri bakal bikin kamu biasa. Ingat! Bisa karena terbiasa.

 

RAHMA

Ngomong sih gampang.

 

NARTI

Yaelah, kalau dikasih tahu. Makan aja gih, makananmu masih banyak tuh. Jangan sampai mati kelaparan lagi.

 

RAHMA

Tega betul ya?! Oke. Kali ini, semua kamu yang bayar.

 

NARTI

Loh, kok gitu? Apa gunanya PNS kalau malah saya yang bayar?!

 

RAHMA

Biarin. Lagian kamu makannya juga yang paling banyak.

 

NARTI

Rahma, ayo, dong, dompetku lagi tipis nih.

 

RAHMA

Nggak mau tahu! Bentar. Saya pesan lagi. Mumpung ditraktir.

 

Rahma lalu mengangkat tangan kanannya, mencoba memanggil pelayan kafe.

 

NARTI

(kesal)

RAHMA! Ndak lucu.

 

Rahma terus menggoda Narti, lalu tertawa-tawa.

 

NARTI (cont’d)

Ya sudah, saya minta maaf.

 

RAHMA

Nggak ikhlas.

 

NARTI

Rahma yang paling cantik, saya minta maaf ya.

 

Rahma ketawa puas. Mereka kemudian menyantap makanan dengan lahap, lalu tiba-tiba Rahma kembali menyahut.

 

RAHMA

Nar.

 

NARTI

Iya?!

 

RAHMA

Mungkin nggak sih ada orang yang nggak suka hubungan saya dengan Harun?

 

NARTI

Maksudnya?

 

RAHMA

Yahh, dia ingin kami pisah, terus ngirim guna-guna biar saya takut lihat mukanya Harun.

 

NARTI

Dari mana sih tiba-tiba kepikiran begitu?

 

RAHMA

Soalnya ada rekan kantorku yang sepupunya punya masalah yang sama. Dan penyebabnya, yah gitu, diguna-guna. Makanya, itu yang bikin saya ingin ke dukun.

 

NARTI

Gimana dengan suamimu? Masih ndak mau?

 

RAHMA

Begitulah. Dia itu kalau sudah bilang iya, iya, nggak, nggak.

 

NARTI

Ya sudah. Ikuti aja apa yang suamimu bilang. Dia kan kepala rumah tangga.

 

RAHMA

Iya sih, tapi...

 

NARTI

Rahma, kamu harus percaya sama suamimu. Dia juga pasti lagi usaha biar kamu bisa lihat dia lagi. Jangan sampai malah ini yang bikin kalian pisah, terlalu banyak berdebat. Dan barangkali, hubungan kalian lagi diuji sama Tuhan.

 

RAHMA

Apa Tuhan nggak capek ngasih kami ujian?

 

Narti mendengus sambil menggeleng-geleng.

 

NARTI

Eh, bentar, makanan ini kamu yang bayar, kan?

 

RAHMA

Iyaaa.

 

Rahma menarik napas berat, kemudian lanjut menyantap makanannya.

 

CUT TO

 

34. INT. RUMAH RAHMA – MALAM

 

DAPUR

 

Rahma menatap dua piring makanan di atas meja dapur yang baru saja dihidangkannya. Dia menatapnya dengan tatapan yang masygul. Lantas, dia berbalik dan memunggung, lalu berteriak.

 

RAHMA

Sayang, makanannya sudah jadi.

 

Sesaat kemudian, kita lihat Harun muncul. Dia meraih sepiring makanan itu, lalu diam sebentar. Dia menatap punggung Rahma dengan gelisah, menarik-buang napas berkali-kali, kemudian berbalik dan pergi.

 

RUANG TENGAH

 

Harun berjalan menuju ruang tengah sambil membawa piring makanan itu. Dia lalu duduk di sofa dengan duduk menghadap ke kiri.

 

Sesaat kemudian, Rahma muncul sambil membawa piring makanannya juga. Kemudian, dia duduk dekat Harun di sofa dengan duduk menghadap ke kanan.

 

Kita lihat mereka menyantap makanan masing-masing, pelan, sunyi.

 

Harun lalu mengambil napas dalam sebelum kemudian berkata liris.

 

HARUN

Sayang…

 

RAHMA

Iya?!

 

HARUN

Kamu bahagia tidak sih selama kita nikah?

 

RAHMA

Kenapa tiba-tiba nanya gitu?

 

HARUN

Cuma mau tahu.

 

Rahma menarik napas kuat-kuat. Matanya sedikit berkaca.

 

RAHMA

Saya nggak mungkin masih sama kamu kalau saya nggak bahagia. Tujuh tahun loh, lebih bahkan. Ngapain saya buang-buang waktu buat hidup sama orang yang nggak bikin saya bahagia?!

 

Kita lihat kembali mereka menyantap makanan mereka dengan cukup pelan sebelum Harun kembali berucap.

 

HARUN

Tadi Mama ke rumah.

 

RAHMA

Tadi pagi?

 

HARUN

Iya. Pas kamu sudah berangkat.

 

RAHMA

Mama bilang apa?

 

HARUN

Mama mau kamu pulang ke rumahnya.

 

Rahma yang sementara mengunyah makanannya tiba-tiba diam. Dia cukup terkejut dan bingung.

 

HARUN (cont’d)

Gimana, Sayang? Kamu mau?

 

RAHMA

Kamu gimana? Mau kalau saya pergi?

 

HARUN

Kalau itu bikin kamu tenang, yah… silakan.

 

Rahma menarik napas panjang, tanpa sadar air matanya mulai menetes.

 

RAHMA

Sayang, kalau saya ke sana, Mama pasti bakal terus-terusan nyuruh saya pisah sama kamu. Memangnya kamu mau kita pisah?

 

Harun diam. Dia bingung.

 

RAHMA (cont’d)

Pikirin lagi rencana kita ke dukun, Sayang. Apa salahnya mencoba? Kita pastiin apa sih yang terjadi sama kita daripada kita diam terus kayak gini.

 

Harun masih diam. Dia benar-benar bingung.

 

Rahma lalu berdiri sambil mengangkat piringnya. Masih banyak sisa makanan di piring itu. Dia tidak kuasa menahan emosinya.

 

RAHMA (cont’d)

Ya sudah, kalau memang mau pisah, saya akan pulang.

 

Rahma tersedu-sedu.

 

Akhirnya, Harun bersuara setelah lama berpikir sehingga Rahma yang hendak melanjutkan langkahnya lalu berhenti.

 

HARUN

Oke, Sayang, kita ke dukun.

 

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar