Polo Mata
8. Act 2 (Scene 42 - 50)

42. INT. KANTOR RAHMA – PAGI

 

Hari itu hari Jumat, seperti biasa, Rahma mengenakan pakaian training olahraga.

 

Rahma sedang mengetik di komputernya ketika HPnya berbunyi. Sebuah pesan WA masuk.

 

Tanpa gairah, Rahma membuka pesan itu.

 

POP UP Layar Pesan WA RAHMA

 

/MY NARTI

P

 

/RAHMA

Y

 

Rahma hendak meletakkan kembali HPnya, tapi HP itu kembali berbunyi.

 

POP UP Layar Pesan WA RAHMA

 

/MY NARTI

Baik-baik saja, kan?

 

/RAHMA

Iya, kenapa?

 

Rahma meletakkan HPnya. Dia tampak murung. Tiba-tiba, HPnya kembali berbunyi. Rahma dengan lesu mengambil HPnya lagi, lalu membuka pesan WA itu.

 

POP UP Layar Pesan WA RAHMA

 

/MY NARTI

Hampir seminggu WA-mu ndak aktif. Saya khawatir tau. Saya mau ke rumah, tapi adekku masih kemah, ndak enak mama ditinggal sendiri.

 

/RAHMA

Sorry, Nar, kerjaan kantor lagi menumpuk.

 

/MY NARTI

Makan siang nanti, bisa ya? Kangen nih.

 

/RAHMA

Kayaknya nggak dulu, Nar.

 

/MY NARTI

Masih sibuk?

 

/RAHMA

J

 

Rahma meletakkan HPnya ke meja. Dia mengatur napasnya. Kemudian, dia menangkupkan wajahnya dengan kedua tangan.

 

CUT TO

 

43. INT. KANTOR HARUN – PAGI

 

Harun sedang memeriksa berkas laporan penjualan produk bersama rekan kantornya, Burhan (30 tahun). Dia mengambil satu lampiran kemudian diserahkan sama Burhan.

 

HARUN

Pak Bur, minta tolong, fotokopi yang ini, ya!

 

BURHAN

Berapa rangkap, Pak?

 

HARUN

Satu… ehhh, kasih genap saja dua.

 

Burhan mengangguk. Dia lalu memfotokopi lampiran itu pada mesin fotokopi yang berada di ruangan tersebut.

 

Sementara itu, Harun kembali memeriksa lampiran lainnya. Dan tiba-tiba berseru.

 

HARUN (cont’d)

Pak Bur!

 

Sambil memfotokopi, Burhan menoleh.

 

BURHAN

Iye, Pak.

 

HARUN (cont’d)

Ayu masih sakit?

 

BURHAN

 Kayaknya sih, Pak.

 

HARUN

Sakit apa memang? Sudah dua hari, kan?

 

BURHAN

Kurang tahu juga, Pak, katanya sih sering kesurupan.

 

HARUN

Kesurupan?

 

BURHAN

Iye, Pak, orang-orang bilangnya begitu.

 

HARUN

Jadi, gimana kondisinya? Dirawat di rumah sakit?

 

BURHAN

Tidak, Pak, cuma dirawat di rumah.

 

Burhan selesai memfotokopi, lalu menyerahkannya kembali pada Harun.

 

BURHAN (cont’d)

Oh iya, Pak, saya baru tahu kalau Fadli ternyata pintar ruqyah. Pas Ayu kesurupan kemarin, ada yang bilang, Fadli yang ruqyah.

 

HARUN

Beneran?

 

BURHAN

Yang kudengar sih begitu, Pak. Tapi kalau dilihat dari gayanya, kemungkinan memang bisa.

 

HARUN

Fadli sudah datang?

 

BURHAN

Belum kayaknya, Pak

 

HARUN

Ya sudah, nanti kalau datang, suruh langsung ke saya ya.

 

BURHAN

Siap, Pak.

 

CUT TO

 

44. INT. RUMAH RAHMA – DEPAN KAMAR - MALAM

 

Harun mengetuk pintu kamar.

 

HARUN

Sayang, keluar sebentar!

 

RAHMA (O.S)

Kenapa, Sayang?

 

HARUN

Sebentar saja. Ada yang mau ketemu.

 

RAHMA (O.S)

Siapa? Narti? Suruh saja masuk!

 

HARUN

Bukan, Sayang. Tapi… pasang kerudungnya ya, soalnya yang mau ketemu laki-laki.

 

Pintu akhirnya berayun terbuka. Harun buru-buru menghindar agar Rahma tidak langsung melihat wajahnya.

 

Rahma lalu keluar dari kamar dengan mengenakan piyama beserta kerudung warna krem yang dipasang secara sembarangan.

 

Tampaklah kemudian Fadli yang berdiri sambil tersenyum. Dia mengenakan jaket hitam dengan res terbuka sehingga kaos abu-abu polosnya terlihat, dan celana jin yang tidak cukup ketat.

 

Harun yang berdiri di belakang Rahma bersuara.

 

HARUN

Dia Fadli, Sayang. Teman kantor.

 

FADLI

Asalamualaikum!

 

RAHMA

Waalaikumsalam. Hmhm, kenapa ya?

 

HARUN

Fadli itu pintar ruqyah, Sayang.

 

RAHMA

Maksudnya, saya mau diruqyah?

 

HARUN

Iya, Sayang. Bagaimana?

 

RAHMA

Tapi, Sayang…

 

HARUN

Sayang, daripada dukun, ini lebih baik.

 

Rahma tampak bimbang.

 

CUT TO

 

45. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM (LATER)

 

Fadli meruqyah Rahma di lantai ruang tengah. Harun memperhatikan sambil duduk di belakang Rahma.

 

FADLI

Atur napas, ya, Bu.

 

Rahma mengangguk.

 

Fadli kemudian melantunkan beberapa ayat pilihan dalam alquran. Alfatihah. Yasin 5 ayat. Ayat kursi. Tanpa menyentuh Rahma sedikit pun.

 

Saat itulah, Rahma merasa perasaannya tidak enak. Dia mulai menggeliat.

 

Ketika Fadli mulai melantunkan tahlil dan tahmid berulang-ulang, Rahma menjerit dan meronta-ronta. Harun langsung memegangnya kuat-kuat.

 

CUT TO

 

46. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TAMU – MALAM (LATER)

 

Rahma dan Fadli sudah duduk di ruang tamu. Harun tampak berdiri di belakang sofa yang diduduki Rahma.

 

RAHMA

Saya kira langsung bisa sembuh.

 

FADLI

Semua butuh proses, Bu, yang penting rutin. Dan satu lagi, Ibu banyakin dzikir. Banyak ingat Allah. Allah yang menguji dengan masalah, Allah juga yang ngasih petunjuknya.

 

HARUN

Jadi, kapan ke sini lagi?

 

FADLI

Mungkin lusa malam, Pak, soalnya kalau besok, saya ada pengajian.

 

HARUN

Oh oke. Tidak apa-apa. Makasih nah Fadli.

 

FADLI

Iye, Pak, sama-sama.

 

HARUN

Makan dulu kuenya. Itu buatan istri saya loh.

 

FADLI

Iye, Pak.

 

Fadli mengambil sepotong kue dalam toples, lalu mencicipinya.

 

RAHMA

Bilang aja kalau nggak enak ya!

 

FADLI

Alhamdulillah. Enak, kok, Bu.

 

CUT TO

 

47. EXT. RUMAH RAHMA – TERAS – PAGI

 

Harun yang hendak keluar terkejut ketika membuka pintu, Fatma sudah berdiri di luar.

 

HARUN

Mama?

 

Harun segera menyalami Fatma.

 

HARUN (cont’d)

Mau ketemu Rahma, Ma?

 

Fatma hanya mengangguk.

 

HARUN (cont’d)

Rahma ada di kamarnya. Langsung masuk saja, Ma.

 

Fatma kembali mengangguk. Dia baru saja ingin melangkah masuk, tapi Harun kembali bersuara.

 

HARUN (cont’d)

Oh iya, Ma, Harun pergi dulu soalnya ada kegiatan di luar sama teman kantor.

 

Fatma sekali lagi cuma mengangguk, kini sambil tersenyum yang sangat tipis, terkesan dipaksakan.

 

CUT TO

 

48. INT. RUMAH RAHMA – DEPAN KAMAR – PAGI (LATER)

 

Fatma mengetuk pintu kamar.

 

Dari dalam kamar, Rahma berteriak.

 

RAHMA (O.S)

Kenapa, Sayang?

 

FATMA

Ini Mama.

 

CUT TO

 

49. INT. RUMAH RAHMA – KAMAR – PAGI (LATER)

 

Rahma dan Fatma sudah duduk di atas tempat tidur.

 

FATMA

Kalian masih tidur bersama?

 

Rahma menggeleng.

 

FATMA

Terus kenapa belum mau pulang ke rumah Mama?

 

RAHMA

Rahma sudah bilang sama Mama kalau Rahma masih istrinya Harun.

 

FATMA

Terus, kenapa tidak pisah?

 

RAHMA

Ma?!

 

FATMA

Mama paham kalau kamu masih cinta sama suamimu. Tapi cinta tidak bisa dipaksa lagi saat kalian sudah tidak hidup damai. Mama tanya, apa hidup kalian damai?

 

RAHMA

(menunduk)

Ma, kami sudah berusaha agar hidup normal kembali. Seharusnya Mama doain kami, bukannya nuntut kami terus untuk pisah.

 

FATMA

Mama bukan nuntut, Rahma, tapi realistis.

(mendesah)

Coba pikir! Kalian sudah nikah tujuh tahun, bahkan lebih, kalian belum punya anak, sekarang kamu tidak berani lihat suamimu. Apa kamu pernah mikir kalian sebenarnya tidak berjodoh?

 

RAHMA

Ma, kami lebih tahu apa yang sedang kami jalani. Selama tujuh tahun lebih, kami bahkan lebih sadar kalau Tuhan memang menakdirkan kami untuk berjodoh.

(pause)

Kalau Mama ke sini hanya untuk menuntut Rahma pisah dengan Harun, Mama pikirkan kembali niat Mama.

 

CUT TO

 

50. INT. KAFE – SIANG

 

Rahma tampak murung.

 

Narti yang duduk di hadapannya akhirnya berucap.

 

NARTI

Coba kamu ndak iyain ajakan saya tadi, sudah saya samperin ke rumahmu.

 

Rahma tersenyum kecut.

 

NARTI (cont’d)

Eh, gimana? Masih belum bisa lihat suamimu?

 

RAHMA

(dingin)

Begitulah.

 

NARTI

Ayo dong, semangat! Oke, saya paham. Kamu pasti stres mikirin ini semua, kan, Rahma?! Tapi, bersikap seperti ini tak akan mengubah apapun, justru akan membuat masalahmu kian berat. Harusnya kamu tetap semangat dan percaya bahwa kamu pasti akan melihat suamimu lagi.

 

Rahma mendesah berat.

 

RAHMA

Nar.

 

NARTI

Ya?!

 

RAHMA

Kami habis ke dukun.

 

Mendengar itu, Narti lumayan kaget.

 

NARTI

Kalian habis ke dukun? Memangnya suamimu sudah setuju?

 

RAHMA

Iya.

 

NARTI

Gimana hasilnya?

 

RAHMA

Kata dukunnya, guna-guna.

 

NARTI

Ooo, terus? Dia kasih tahu siapa yang kirim guna-guna?

 

RAHMA

(menggeleng)

Nggak, Nar, dia nggak bilang orangnya siapa.

 

NARTI

Jadi, sudah berobat sama dukunnya?

 

Rahma hanya menggeleng.

 

NARTI (cont’d)

Kenapa?

 

RAHMA

Harun kembali nggak mau.

 

NARTI

Ooo, yang sabar ya, Rahma! Suamimu pasti tahu yang terbaik buat kalian.

 

Saat itu, pelayan kafe datang membawa makanan dan minuman.

 

NARTI (cont’d)

Akhirnya. Eh, Rahma, ini nih yang saya kangenin, kangen ditraktir sama PNS. Thanks ya!

 

Rahma hanya tersenyum sangat tipis.

 

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar