EXT. PERTIGAAN JALAN DEKAT RUMAH GLADYS — SIANG
Mobil Kiki sampai di ujung jalan, di sebuah pertigaan, dan berhenti. Sudah terlihat rumah Gladys sekitar 50 meter dari situ, dengan cukup jelas.
INT. MOBIL KIKI — SIANG
Naya duduk di sisi Kiki yang memegang setir. Keduanya mengamati rumah Gladys. Naya kemudian mengecek HP-nya.
Naya menoleh ke sahabatnya.
Naya tersenyum singkat. Mereka kemudian melihat ke rumah Gladys, dan menunggu. Tak lama kemudian, terlihat seseorang bersepeda motor sampai dan berhenti di depan rumah Gladys.
Naya memicingkan matanya, melihat plat nomor dan sosok yang datang itu.
Terlihat Ary turun dari motornya, lalu mengambil tas berukuran kotak yang dia jepit di depan joknya. Ia mengetuk pagar rumah Gladys.
Gladys kemudian muncul dan membukakan pagar. Mereka mulai berbicara, tapi Naya dan Kiki jelas tidak bisa mendengarnya. Naya memotretnya beberapa kali.
Ary pun masuk bersama Gladys, ke area teras rumah. Saat itu pula terlihat seorang ibu-ibu keluar dari puntu dan menyambut Ary dengan sumringah. Ary menyalami wanita paruh baya itu dengan sopan dan berbicara dengan sopan pula.
Ary pun meletakkan tas berbentuk kotak itu di lantai depan pintu masuk, lalu meneruskan ngobrol dengan wanita itu. Mereka tampak akrab.
Naya memotret lagi, beberapa kali. Lalu ia meletakkan HP-nya di pangkuan, melanjutkan mengamati Ary dengan matanya.
Naya dan Kiki tidak bersuara. Naya sendiri tampak sedang memproses apa yang dilihat dan dirasakannya. Wajahnya menampakkan kehilangan, terisolasi, dan kekecewaan.
Beberapa saat kemudian, tampak Ary berpamitan. Ia kemudian naik ke motornya dan langsung melaju pergi deari rumah Gladys.
CUT TO
EXT. DEPAN KANTOR BAHASAKITA — SIANG
Mobil Kiki sampai dan berhenti di depan gedung kantor BahasaKita.
INT. MOBIL KIKI — SIANG
Kiki menarik handrem, lalu menoleh ke Naya.
Pandangan mata Naya tampak menerawang jauh ke depan, tidak fokus. Ia belum bersuara. Wajahnya agak pucat, dengan segala bentuk kesedihannya.
Hening selama beberapa detik. Kiki sabar menunggu, memahami apa yang dirasakan sahabatnya. Kemudian, Naya perlahan menoleh ke Kiki.
Kiki mengangguk-angguk.
Dengan cepat Naya menoleh lagi ke sahabatnya.
Naya mengangguk lemas. Ia menoleh, melihat Kiki mau memeluknya. Naya menyambutnya. Kiki mengelus punggung Naya dengan lembut. Kemudian, Naya turun dari mobil.
CUT TO
INT. COFFEE SHOP — 2 HARI KEMUDIAN, MALAM
Kita melihat sebuah coffee shop yang meski banyak pengunjung, suasana cukup tenang dan nyaman. Naya sudah duduk di salah satu mejanya. Kursi di depannya masih kosong.
CLOSE UP HP Naya yang ada di atas meja yang tiba-tiba memunculkan notifikasi chat baru.
Ary: Nay, lagi sibuk?? Dari kemarin kok gak ngabari
Di bawahnya, kita melihat notifikasi 3x missed call dari Ary juga.
Naya melihatnya, tapi tidak melakukan apa-apa. Ia malah mematikan layar HP-nya.
Tak lama kemudian, datanglah Reza. Di punggungnya ia menggendong tas perlengkapan kamera. Di selempangnya juga ada tas kecil berwarna hitam. Ia kemudian duduk di depan Naya.
Seorang Pelayan datang membawakan dua minuman: satu es teh, satu latte, dan meletakkannya di atas meja mereka. Naya menggumamkan “terima kasih” ke pelayan.
Naya hanya tersenyum, senyum hambar. Kemudian ia mengambil posisi pewe untuk mulai bercerita.
Reza menaikkan alisnya, walau tidak terlihat terlalu kaget.
Reza sedikit kaget, tapi langsung mengangguk.
Naya mengangguk. Menata hatinya sebelum melanjutkan.
FADE TO
INT. COFFEE SHOP — BEBERAPA SAAT KEMUDIAN
Es teh dan latte masing-masing kini tinggal sedikit. Naya manggut-manggut di hadapan Reza.
Reza tertawa kecil.
Keduanya tertawa kecut.
Reza membetulkan posisi duduknya.
Naya mengerutkan kening, manggut-manggut. Reza tampak ingin melanjutkan cerita soal Gladys, tapi mengurungkannya. Hening sejenak di antara mereka. Kemudian Reza meneruskan.
Reza meneyeruput kembali minumannya. Naya mengangguk-anggukkan kepalanya, walau masih tampak belum puas.
Reza mengangkat alisnya, tampak kaget.
Wajah Naya antara senang dan sedih. Senang karena ia mengetahui kebenarannya, tapi sedih karena sahabat Ary sendiri saja tidak tahu.
Reza masih mencerna informasi itu, tampak tidak percaya.
Reza geleng-geleng kepala, tampak heran dan tidak mengerti.
Naya mengangkat bahunya.
Suara Naya menjadi parau di kalimat terakhir. Nada suaranya bergetar, ia mulai tidak mampu menahan kesedihannya.
Naya bersandar di kursinya, melihat ke arah jendela kafe. Mencoba menenangkan diri. Reza kemudian menegakkan posisi duduknya.
Dengan posisi masih bersandar, Naya menggerakkan matanya ke Reza.
Naya memalingkan pandangannya, menatap ke jendela, masih tidak menerima pernyataan Reza.
Saat pandangan Naya kembali dari jendela, ia sudah meliat Reza menatapnya dengan konsisten, berusaha menyampaikan ini dengan sebaik yang dia bisa. Naya hanya memperhatikan Reza, menuangkan kata-katanya ke dalam pikirannya.
Reza memajukan tubuhnya, menatap Naya dengan keyakinan yang besar, sejujur yang ia bisa.
Naya belum merespon, masih memasukkan semua ke dalam pikiran dan hatinya. Masih berjuang meyakini kata-kata Reza.
FADE OUT
INT. KAFE BIRU — MINGGU SIANG
Kita melihat suasana Kafe yang masih agak sepi, dengan hanya dua meja terisi. Musik jazz kalem semi-upbeat mengalun dengan indah. Ary sedang berkutat di belakang counter. Ia sedang memasukkan data dari secarik kertas yang ada di tangan kirinya. Sementara itu, satu orang stafnya, ANDRI (25 tahun), sedang membersihkan counter dan mempersiapkan peralatan.
Kemudian, terdengar suara pintu dibuka. Kita melihat Naya masuk, dengan cukup tenang.
Ary segera mendongak ketika nama Naya disebutkan. Naya sendiri agak kaget dengan sambutan standar itu. Ia pun mengangguk singkat, tersenyum sopan. Ia kemudian melihat Ary yang sedang kaget melihat kedatangannya.
Ary langsung menghentikan input datanya dan berjalan keluar dari balik counter, mendekati Naya.
Ary yang tampak kaget belum bisa berkata apa-apa. Wajahnya yang mulai khawatir hanya bisa mempersilakan Naya duduk di salah satu meja kafe.
Naya dan Ary kemudian duduk berhadapan. Naya meletakkan tasnya, dan menoleh ke arah counter.
Naya sudah tak bisa tersipu lagi, mengingat ironisnya kalimat itu di telinganya.
Naya mengatur napasnya.
Ary mengangguk, menunggu Naya melanjutkan.
Pertanyaan ini sontak membuat Ary terdiam. Wajahnya berangsur menjadi tegang. Naya langsung membacanya, dan mengerti bahwa dugaannya benar. Pertanyaannya benar.
Ary memicingkan matanya, tampak bingung sekaligus takut.
Naya menaikkan alisnya.
Dari seberang meja, Ary berusaha memahami arah pembicaraan Naya, sebelum akhirnya menjawab.
Naya berusaha membaca wajah Ary, berusaha menebak makna di balik jawaban itu, yang lagi-lagi masih belum membuat Naya merasa puas, yang tersirat di wajahnya.
Ia sudah akan meledak dan melontarkan yang ada dalam kepalanya, tapi ia masih bisa menahannya. Ia kemudian manggut-manggut.
Naya merespon jawaban Ary dengan wajah datar, dan sedikit tatapan tidak percaya pada jawaban mengambang yang diberikan oleh Ary.
CUT TO