Misi Kafe Biru
5. Kebohongan

EXT. PERTIGAAN JALAN DEKAT RUMAH GLADYS — SIANG

Mobil Kiki sampai di ujung jalan, di sebuah pertigaan, dan berhenti. Sudah terlihat rumah Gladys sekitar 50 meter dari situ, dengan cukup jelas.

INT. MOBIL KIKI — SIANG

Naya duduk di sisi Kiki yang memegang setir. Keduanya mengamati rumah Gladys. Naya kemudian mengecek HP-nya.

NAYA
Kata Dito anak kafe Biru, Ary udah berangkat dari kafe 15 menitan lalu.   
KIKI   
Semoga bukan ke sini.  

Naya menoleh ke sahabatnya.

KIKI (CONT’D)      
Aku lebih rela pengintaian kita ini nggak ada hasilnya.

Naya tersenyum singkat. Mereka kemudian melihat ke rumah Gladys, dan menunggu. Tak lama kemudian, terlihat seseorang bersepeda motor sampai dan berhenti di depan rumah Gladys.

Naya memicingkan matanya, melihat plat nomor dan sosok yang datang itu.

NAYA
Ki, itu Ary!
KIKI
Yaampun, dia beneran ke sini lagi.

Terlihat Ary turun dari motornya, lalu mengambil tas berukuran kotak yang dia jepit di depan joknya. Ia mengetuk pagar rumah Gladys.

Gladys kemudian muncul dan membukakan pagar. Mereka mulai berbicara, tapi Naya dan Kiki jelas tidak bisa mendengarnya. Naya memotretnya beberapa kali.

Ary pun masuk bersama Gladys, ke area teras rumah. Saat itu pula terlihat seorang ibu-ibu keluar dari puntu dan menyambut Ary dengan sumringah. Ary menyalami wanita paruh baya itu dengan sopan dan berbicara dengan sopan pula.

KIKI (O.S.) (CONT’D)
Itu mungkin ibunya Gladys ya? 

Ary pun meletakkan tas berbentuk kotak itu di lantai depan pintu masuk, lalu meneruskan ngobrol dengan wanita itu. Mereka tampak akrab.

Naya memotret lagi, beberapa kali. Lalu ia meletakkan HP-nya di pangkuan, melanjutkan mengamati Ary dengan matanya.

Naya dan Kiki tidak bersuara. Naya sendiri tampak sedang memproses apa yang dilihat dan dirasakannya. Wajahnya menampakkan kehilangan, terisolasi, dan kekecewaan.

Beberapa saat kemudian, tampak Ary berpamitan. Ia kemudian naik ke motornya dan langsung melaju pergi deari rumah Gladys.

CUT TO

EXT. DEPAN KANTOR BAHASAKITA — SIANG

Mobil Kiki sampai dan berhenti di depan gedung kantor BahasaKita.

INT. MOBIL KIKI — SIANG

Kiki menarik handrem, lalu menoleh ke Naya.

Pandangan mata Naya tampak menerawang jauh ke depan, tidak fokus. Ia belum bersuara. Wajahnya agak pucat, dengan segala bentuk kesedihannya.

KIKI   
Nay... Terus kamu mau apa soal ini? 

Hening selama beberapa detik. Kiki sabar menunggu, memahami apa yang dirasakan sahabatnya. Kemudian, Naya perlahan menoleh ke Kiki.

NAYA
Aku mau tanya ke Mas Reza.

Kiki mengangguk-angguk.

KIKI
Kamu gak mau konfirm langsung ke Ary dulu, mungkin?

Dengan cepat Naya menoleh lagi ke sahabatnya.

NAYA
(nada suara hambar)
Dia udah bohong sama aku, Ki.  
KIKI
(mengangguk)
Masuk akal. Kalau bisa bohong sekali, dia bisa bohong terus.

Naya mengangguk lemas. Ia menoleh, melihat Kiki mau memeluknya. Naya menyambutnya. Kiki mengelus punggung Naya dengan lembut. Kemudian, Naya turun dari mobil.

CUT TO

INT. COFFEE SHOP — 2 HARI KEMUDIAN, MALAM

Kita melihat sebuah coffee shop yang meski banyak pengunjung, suasana cukup tenang dan nyaman. Naya sudah duduk di salah satu mejanya. Kursi di depannya masih kosong.

CLOSE UP HP Naya yang ada di atas meja yang tiba-tiba memunculkan notifikasi chat baru.

Ary: Nay, lagi sibuk?? Dari kemarin kok gak ngabari

Di bawahnya, kita melihat notifikasi 3x missed call dari Ary juga.

Naya melihatnya, tapi tidak melakukan apa-apa. Ia malah mematikan layar HP-nya. 

Tak lama kemudian, datanglah Reza. Di punggungnya ia menggendong tas perlengkapan kamera. Di selempangnya juga ada tas kecil berwarna hitam. Ia kemudian duduk di depan Naya.

REZA
Hei, Nay. Gak nunggu lama, kan? Macet banget tadi dari tempat motret.
NAYA
(mengangguk sopan) 
Mas Reza. Enggak kok.

Seorang Pelayan datang membawakan dua minuman: satu es teh, satu latte, dan meletakkannya di atas meja mereka. Naya menggumamkan “terima kasih” ke pelayan. 

NAYA (CONT’D)
Sebelumnya makasih udah nyempetin ketemuan ya, mas.                
REZA
(melambaikan tangannya)
Heleh. Santai. Kamu uda aku anggep plus one-nya Ary. Jadi, mau nanya apa Nay?

Naya hanya tersenyum, senyum hambar. Kemudian ia mengambil posisi pewe untuk mulai bercerita.

NAYA
Sebenernya aku mau bahas Ary, mas.

Reza menaikkan alisnya, walau tidak terlihat terlalu kaget.

REZA
Oke.
NAYA
Tapi sebelumnya boleh minta tolong nggak, mas? Aku butuh informasi yang akurat. Dan obrolan kita ini antara kita aja, ya.

Reza sedikit kaget, tapi langsung mengangguk.

REZA
Siap. (membuat tanda oke dengan jarinya)   

Naya mengangguk. Menata hatinya sebelum melanjutkan.

FADE TO

INT. COFFEE SHOP — BEBERAPA SAAT KEMUDIAN

Es teh dan latte masing-masing kini tinggal sedikit. Naya manggut-manggut di hadapan Reza.    

REZA (CONT’D)
Jadi sebetulnya nggak ada yang bertentangan kan sama yang udah diceritakan Ary?  
NAYA 
Iya. Diandra, cuma cinta monyet jaman SMA. Yang Rani, aku baru tau kalo dia... apa ya... se-clingy itu.      

Reza tertawa kecil.   

REZA 
Iya. Kayak bergantung banget. Aku sebenernyagak terlalu suka sama Rani ini. Menurutku dia kurang dewasa. Putusnya baru beberapa bulan lalu. Itu karena orang tuanya Rani gak suka setuju.        
NAYA
Berarti bener ya. Perkaranya orang tua. Dan Rani ini kayaknya masih clingy aja gitu, mas... Nelpoon terus. Kesel. 
REZA
Iya. Aku juga sering ditinggal Ary gara-gara dia ditelepon Rani.  
NAYA
Senasib kita, Mas.  

Keduanya tertawa kecut.  

NAYA (CONT’D)  
Oh! Tapi, yang Gladys itu dia nggak pernah cerita sama sekali.

Reza membetulkan posisi duduknya.    

REZA   
Putus sama Gladys agak lebih besar efeknya buat Ary. Sempet down dia.

Naya mengerutkan kening, manggut-manggut. Reza tampak ingin melanjutkan cerita soal Gladys, tapi mengurungkannya. Hening sejenak di antara mereka. Kemudian Reza meneruskan.  

REZA (CONT’D)
Sepengetahuanku, Gladys di Medan. Diandra udah lama gak ada kabarnya. Udah, itu aja yang aku tau.  

Reza meneyeruput kembali minumannya. Naya mengangguk-anggukkan kepalanya, walau masih tampak belum puas.                                       

NAYA
Mas Reza nggak tahu berarti ya kalo Ary ketemu Gladys baru-baru ini?

Reza mengangkat alisnya, tampak kaget.

REZA
Lho. Kapan?

Wajah Naya antara senang dan sedih. Senang karena ia mengetahui kebenarannya, tapi sedih karena sahabat Ary sendiri saja tidak tahu.

Reza masih mencerna informasi itu, tampak tidak percaya.

REZA (CONT’D)
Gladys lagi main ke Surabaya ta?
NAYA
Kayaknya sih pindahan. Soalnya ada truk bawa perabotan.

Reza geleng-geleng kepala, tampak heran dan tidak mengerti.

REZA
Terus dia ke sana ngapain? 

Naya mengangkat bahunya.

NAYA
Yang aku sesalkan, mas, dia itu ketauan bohong. Dia bilang dia nggak dikontak lagi sama Gladys.
(memukul meja, kesal)
Buktinya? Dua kali (dengan jarinya). Itu pun yang aku tau.

Suara Naya menjadi parau di kalimat terakhir. Nada suaranya bergetar, ia mulai tidak mampu menahan kesedihannya.

NAYA (CONT’D)
Bahkan kamu aja gatau.

Naya bersandar di kursinya, melihat ke arah jendela kafe. Mencoba menenangkan diri. Reza kemudian menegakkan posisi duduknya.

REZA
Nay.

Dengan posisi masih bersandar, Naya menggerakkan matanya ke Reza.

REZA (CONT’D)
Gini.
(menyusun kata-kata)
Sebagai orang yang kenal Ary sejak lama, menurutku itu belum tentu seperti yang kamu pikirin.

Naya memalingkan pandangannya, menatap ke jendela, masih tidak menerima pernyataan Reza.

REZA (CONT’D)
Aku paham. Kamu melihat sesuatu yang... berkebalikan dari harapanmu. Dan kamu kecewa. Tapi senggaknya kamu konfirmasi dulu lah ke Ary. Jangan buru-buru ambil kesimpulan.

Saat pandangan Naya kembali dari jendela, ia sudah meliat Reza menatapnya dengan konsisten, berusaha menyampaikan ini dengan sebaik yang dia bisa. Naya hanya memperhatikan Reza, menuangkan kata-katanya ke dalam pikirannya.

REZA (CONT’D)
Aku gak bisa bantuin lebih dari ini, sori banget. Karena aku sendiri gak tau apa-apa.

Reza memajukan tubuhnya, menatap Naya dengan keyakinan yang besar, sejujur yang ia bisa.

REZA (CONT’D)
Tapi yang aku tau Nay, Ary itu orang baik. Aku yakin, dia worth it.

Naya belum merespon, masih memasukkan semua ke dalam pikiran dan hatinya. Masih berjuang meyakini kata-kata Reza.

FADE OUT

INT. KAFE BIRU — MINGGU SIANG

Kita melihat suasana Kafe yang masih agak sepi, dengan hanya dua meja terisi. Musik jazz kalem semi-upbeat mengalun dengan indah. Ary sedang berkutat di belakang counter. Ia sedang memasukkan data dari secarik kertas yang ada di tangan kirinya. Sementara itu, satu orang stafnya, ANDRI (25 tahun), sedang membersihkan counter dan mempersiapkan peralatan.

Kemudian, terdengar suara pintu dibuka. Kita melihat Naya masuk, dengan cukup tenang.

ANDRI
Selamat siang. Silakan. (mendongak) Eh, Mbak Naya toh.

Ary segera mendongak ketika nama Naya disebutkan. Naya sendiri agak kaget dengan sambutan standar itu. Ia pun mengangguk singkat, tersenyum sopan. Ia kemudian melihat Ary yang sedang kaget melihat kedatangannya.

ARY
Nay??

Ary langsung menghentikan input datanya dan berjalan keluar dari balik counter, mendekati Naya.

NAYA
Hei. Ry. Sori... dari kemarin nggak ngabari apa-apa.
ARY
(khawatir)
Nay, kamu nggak apa-apa 'kan? Kamu lagi ada masalah?
NAYA
Ehmm... Iya sih, sebenernya. Makanya ini aku mau omongin.

Ary yang tampak kaget belum bisa berkata apa-apa. Wajahnya yang mulai khawatir hanya bisa mempersilakan Naya duduk di salah satu meja kafe.

Naya dan Ary kemudian duduk berhadapan. Naya meletakkan tasnya, dan menoleh ke arah counter.

NAYA (CONT’D)
Kamu gak lagi sibuk kan? 
ARY
Nggak. Aku selalu punya waktu buat kamu.

Naya sudah tak bisa tersipu lagi, mengingat ironisnya kalimat itu di telinganya.

ARY (CONT’D)
Coba kamu cerita, Nay. Dari kemarin aku khawatir.

Naya mengatur napasnya.

NAYA
Ehm. Jadi. Aku langsung aja ya. 

Ary mengangguk, menunggu Naya melanjutkan.

NAYA (CONT’D)
(menatap mata Ary)
Kamu... beneran nggak kontak lagi sama mantanmu selain Rani?

Pertanyaan ini sontak membuat Ary terdiam. Wajahnya berangsur menjadi tegang. Naya langsung membacanya, dan mengerti bahwa dugaannya benar. Pertanyaannya benar.

NAYA (CONT’D)
Sama Gladys, misalnya...? 
ARY
Gladys...?
NAYA
(mengangguk tegas)
Iya, Gladys. Katanya sih dia baru balik pindah lagi ke Surabaya.

Ary memicingkan matanya, tampak bingung sekaligus takut.

ARY
Trus maksudmu? Kamu tau-- Terus kenapa emang kalo dia balik ke Surabaya? 

Naya menaikkan alisnya.

NAYA
I don't know... Mungkin kamu dikontak lagi sama dia? Atau apa kek...

Dari seberang meja, Ary berusaha memahami arah pembicaraan Naya, sebelum akhirnya menjawab.

ARY
Emm, dia cuma nyapa aja, dan nanyain beberapa hal. Gitu aja. (mengangkat bahunya)

Naya berusaha membaca wajah Ary, berusaha menebak makna di balik jawaban itu, yang lagi-lagi masih belum membuat Naya merasa puas, yang tersirat di wajahnya.

Ia sudah akan meledak dan melontarkan yang ada dalam kepalanya, tapi ia masih bisa menahannya. Ia kemudian manggut-manggut.

NAYA
Ooouu. Gitu aja?
ARY
Yaaa... nanya kabar, basa basi, nanyain kerjaan, nanyain barang buat ngisi rumah... gitu aja.

Naya merespon jawaban Ary dengan wajah datar, dan sedikit tatapan tidak percaya pada jawaban mengambang yang diberikan oleh Ary.

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar