Meow Kamu Kok Gentayangan
11. PART 11

PART 11:

EXT.: Depan pagar-halaman depan rumah Agung, pagi hari.

Zea dan Tajir berdiri di depan rumah tingkat. Pagarnya cukup tinggi. Halaman depannya berupa taman yang indah. Di pojok terdapat ruangan satpam. Terlihat satpam bermain-main dengan seekor kucing maine-coon betina.

Zea dan Tajir: Permisi.

Satpam datang.

Zea : Pak, apa benar ini rumah alm. Agung?

Satpam: Iya, benar. Ada apa ya?

Zea : Apa benar alm. Agung yang mobil jenazahnya menabrak kucing?

Satpam: Oh, waktu itu memang menabrak kucing. Kalian?

Zea : Saya yang punya kucing. Apa kami bisa bertemu dengan orang tua Agung?

Satpam: Tapi Tuan dan Nyonya sedang tidak bisa diganggu.

Tajir: Kucingnya meninggal gara-gara mobil jenazah itu. Bapak, maksud saya majikan bapak harus tanggungjawab.

Satpam: Oh, baik, kalau begitu tolong tunggu sebentar.

Satpam menelpon seseorang. Sopir datang.

    Sopir: Ada apa ini?

Zea : Saya ingat, bapak sopir pick-up yang membawa jenazah itu kan?

    Sopir: Ya? (bingung)

Zea : Yang menabrak kucing saya.

Sopir: Maafkan saya mbak. Saya tidak sengaja. Waktu itu saya disuruh tuan untuk bergegas, makanya saya ngebut. Saya sebetulnya juga ragu, tapi saya takut sama majikan saya. Saya takut dipecat. Nyari kerja sekarang susah mbak.

Tajir: Nggak ada alasan pak. Bapak harus bertanggungjawab atas kesalahan bapak.

Satpam: Mas, kami mohon untuk bisa memaklumi. Waktu itu suasana kami sedang kalut. Anak majikan saya baru meninggal. Beliau, den Agung, orangnya baik. Kami ingin mengantar kepergiannya dengan benar. Tapi ada berita dari penjaga makam kalau langit di TPU sudah mendung. Kami takut kalau lubang makamnya kehujanan. Kami harus bergegas agar dapat memakamkannya dengan layak.

Tajir: Bagaimana kalau manusia yang jadi korbannya? Apa bapak masih bisa beralasan begitu?

Satpam: Kami mohon maaf mas. Kami sadar kami bersalah. Kami benar-benar menyesal. Kami tidak akan mengulanginya lagi.

Satpam mendorong sopir.

    Sopir: I...Iya mas, mbak. Saya minta maaf. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi.

Zea : Begini saja pak. Kan majikan bapak yang memberi perintah untuk ngebut, jadi sekarang biar kami berbicara dengan majikan bapak.

Satpam: Sebenarnya Tuan tidak seperti itu. Beliau orang yang juga sangat baik, bukan pemarah. kamu itu (sopir) salah, malah njelek-njelekin Tuan. Saya yakin Tuan tidak akan memecatmu.

Tajir: Berarti majikan bapak bersedia berbicara dengan kami kan?

Satpam: Oh ya, mungkin bisa.

Satpam menyikut sopir.

Sopir: Apa?

Satpam: Kamu yang manggil Tuan. Aku satpam, harus jaga.

Sopir: Oh ya. Tunggu sebentar.

Kucing maine-coon mendekati Tajir.

    Satpam: Eh, Dida. Sini!

Kucing maine-coon mendengus-dengus Tajir.

    Satpam: Ah, Jangan Dida! Maaf (Tajir).

    Tajir: Ah, nggak pa-pa pak. Saya suka kucing kok pak.

Tajir mengelus kucing.

Close up: Kalung kucing tertulis “LADHIDHAH”

    Tajir: Namanya Ladhidhah ya pak? Bahasa Arab ya?

    Satpam: Katanya artinya lezat.Karena betina dipanggil Dhidhah, tapi karena susahakhirnya dipanggil Dida.

    Zea :Ini kucing bapak?

Zea mengelus Dida.

    Satpam: Bukan, ini kucing almarhum den Agung. Ini kucing mahal mbak. Masa’ saya punya kucing sebagus ini?

    Zea : Tapi kok kandangnya di ruang satpam?

    Satpam: Disuruh Tuan. Beberapa hari ini, sejak den Agung meninggal, Nyonya nggak bisa lepas dari Dida. Dida kan kesayangan den Agung. Jadi Nyonya terus menerus menggendongnya. Terus Tuan kasihan melihat Nyonya. Jadi Dida disuruh taruh di luar, biar nggak ketemu Nyonya.

    Zea : Masalahnya apa? Itu normal. Kalau sayang kepada almarhum, kita tentu menjaga apa yang disayang almarhum semasa hidup.

    Satpam: Tapi kalau kelewatan ya bagaimana ya?

    Tajir: Maksud bapak?

    Satpam: Begini. Nyonya siang malam tidak bisa lepas dari Dida dan parahnya lagi nyonya mengira Dida itu den Agung yang masih bayi. Nyonya mengira masih berusia dua puluhan. Kalau Dida tetap di dalam, kondisi Nyonya bisa semakin parah.

    Zea dan Tajir: Oh, begitu.

    Satpam: Tuan juga sebenarnya sayang sama Dida. Tapi terpaksa, sampai nyonya berhasil menerima kepergian den Agung.

Zea : Maaf pak. Tadi saya kira majikan bapak marah sama Dida.

Satpam: Majikan saya bukan pemarah. Apalagi sama kucing. Kalau Tuan memang marah kan Dida langsung dijual. Tapi Dida ditaruh di sini dulu. Nanti kalau Nyonya sudah sembuh, Dida masuk lagi ke dalam.

Sopir dan Tuan datang.

    Tuan : Saya ingat anda. Anda perempuan yang kucingnya kami tabrak. Saya sungguh-sungguh meminta maaf atas kejadian itu.

    Zea : Em, begini pak. Saya juga sebenarnya sudah memaafkan bapak. Tapi karena beberapa kejadian saya berpikir harus menemui bapak.

    Tuan : Kejadian apa ya?

    Zea : Begini pak, kami bertemu dengan hantu.

    Tuan : Maksud anda, hantu kucing anda? Ingin balas dendam?

    Zea : Hantunya manusia. Sepertinya dia adalah putra bapak.

    Tuan : Anda yakin itu anak saya?

Zea diam saja. Tidak yakin.

    Tajir: Pacar saya dihantui sejak saat itu.

    Sopir: Tapi kalau memang anak saya, mengapa malah menghantui kalian?

    Tajir: Ya kami tidak tahu. Makanya kami kemari. Kami berharap bapak bisa, em, mungkin menemui hantu itu dan memintanya untuk pergi.

    Tuan : Maaf, tapi ini terlalu tidak masuk akal. Hantu itu tidak nyata, hanya ilusi yang dibuat manusia.

    Nyonya: Pa?

Nyonya datang.

    Nyonya: Mama denger, mbak ini ketemu Agung?

    Tuan : Itu tidak benar ma, mereka berbohong. Agung sudah meninggal. Yang mereka temui pasti bukan Agung. Ah, bukan. Mereka hanya mengada-ada. Hantu itu tidak ada.

    Nyonya: Nggak pa. Mereka pasti bener. Agung bilang apa sama kalian?

    Tuan : Ma, kalaupun Agung jadi hantu, agung pasti menemui kita.

    Nyonya: Agung pasti marah sama kita. Tidak, agung membenci kita. Ya, pasti itu.

    Tuan : Hubungan kita sama agung baik-baik saja ma.

    Nyonya: Pasti ada sesuatu. Agung menyembunyikan sesuatu. Apa agung cerita sama mbak?

    Tuan: Sudah ma. Maaf, saya harap kalian (Zea dan Tajir) bisa segera pergi.

Tuan hendak membawa Nyonya ke dalam. Satpam dan sopir meminta Zea dan Tajir untuk pulang.

Pluk. Dompet Tajir jatuh. Dida menggigitnya.

    Nyonya: Itu dompet Agung.

Satpam merebut dompet dari Dida. Ia melihat isi di dalamnya. Terkejut. Lalu memberikan dompet pada tuan.

    Tuan : Ini dompet Agung. Bagaimana kalian bisa mendapatkannya?

    Tajir: Itu dompet saya pak.

    Tuan : Lihat!

Tuan membalikkan dompet. Zea dan Tajir melihat foto Tiva dan Agung.

Zea dan Agung terkejut dan saling berpandangan.

    Zea : Jir, tadi dompetmu jatuh di rumah Tiva.

    Nyonya: Kalian kenal Tiva?

    Zea : Apa Tiva pacarnya agung?

Cut:

INT.: Ruang tamu, malam hari.

Agung kesana kemari mencari sesuatu.

Agung: Ma, lihat dompet Agung nggak?

Nyonya: Mama nggak lihat. Mungkin papa lihat?

Tuan : Papa juga nggak. Tanya bibi (pembantu) aja.

Pembantu: Maaf den, saya juga tidak tahu. Saya bersih-bersih juga tidak lihat. Di cucian juga tidak ada. Kalau lihat dompet saya pasti sudah beritahu den Agung.

Agung: Oh ya bi, mungkin ketinggalan di rumah sakit.

Agung masuk ke kamar. Lalu keluar membawa ransel dengan terburu-buru.

Tuan : Sudah mau berangkat?

Agung: Iya pa.

Nyonya: Ini masih malam nak. Kenapa tidak tunggu besok pagi saja?

Agung: Justru Agung khawatir kalau Tiva malam-malam di rumah sakit. Ma, Tiva kan calon menantu mama, masa’ mama nggak khawatir?

Nyonya: Kan ada ibu Tiva yang jagain. Juga, memangnya mama sudah merestui hubungan kamu dengannya? Calon menantu, huh.

Agung: Mama nggak suka sama Tiva?

Nyonya: Bukan begitu. Kamu lho baru kuliah. Perjalananmu masih panjang. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kalian bisa saja putus.

Agung: Agung sudah yakin dengan Tiva. Apapun rintangannnya Agung dan Tiva tidak akan putus sampai maut memisahkan.

Tuan : Gung, jangan cuma mikirin pacar. Kamu juga harus mikir kuliahmu.

Agung: Oh, pasti pa. Udah ya, Agung pamit.

Tuan : Hati-hati, salam buat Tiva, semoga cepat sembuh.

    Agung: Amiin.

Nyonya: Salam juga buat ibu dan adiknya. Kalau jalan pelan-pelan saja, jangan ngebut.

    Agung: Oke ma, siap laksanakan.

Agung mengendarai motor.

End flashback.

Cut:

INT.: ruang tamu rumah agung, pagi hari.

Nyonya menangis.

    Tuan : Itu terakhir kalinya saya berbicara dengan Agung. Setelah itu saya mendapat telepon kalau Agung kecelakaan.

    nyonya: Polisi tidak menemukan dompet Agung. Kami mengira dompetnya dicuri.

    Zea : Kalau dompetnya hilang bagaimana polisi dapat menghubungi bapak?

    Tuan : Oh, dari STNK. STNK-nya Agung gandeng dengan kunci.

    Tajir: Bapak dan ibu tidak pernah menanyakannya kepada ibu Tiva?

    Nyonya: Tiva, anak itu! Agung meninggal karena dia. Bagaimana mungkin dia tidak datang melayat.

    Tuan : Kami memang tidak pernah menghubungi Tiva. Tapi bukankah seharusnya dia bertanya mengapa Agung tidak datang. Kalau dia tahu Agung sudah meninggal dia seharusnya melayat.

    Zea : Maaf bu, tapi Tiva sudah meninggal.

Tajir: Kami baru saja melayat.

Cut:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar