Meow Kamu Kok Gentayangan
5. PART 5

PART 5:

EXT.: Pagi hari, halaman rumah, tumpukan jagung menggunung.

Zea meratakan tumpukan jagung dengan garu sawah. Salah satu kakinya terperosok masuk ke dalam jagung. Zea hampir jatuh. Tajir menangkapnya. Zea dan Tajir berpandangan.

Tajir: Zea, hati-hati.(tersipu).

Zea : Makasih Jir.(tersipu).

Tajir membawa Zea keluar tumpukan jagung.

Jagung telah diratakan. Zea dan Tajir duduk di teras. Tajir mengambil bungkusan plastik dari kantong celananya.

Tajir: Nih, aku bawain. Aku pesennya pas aku denger kabar Yummy meninggal. Tadi pagi baru nyampe’. Termasuk cepet sih pengirimannya.

Zea : Apa ini?

Zea membuka bungkusan. Ternyata berisi biji rumput.

Tajir: Itu biji catgrass, rumput kesukaan kucing. Aku pikir, mungkin Yummy akan senang kalau kamu tanam di kuburannya.

Zea : Terima kasih Jir. (tersenyum).

Zea (cont.): Ah, mungkin aku harus meletakkan benda kesayangan Yummy juga di kuburan.

Tajir: Tapi kan benda itu bisa rusak. Apa kamu mau bukti keberadaannya rusak?

Zea : Kamu benar. Mending benda itu aku simpen. Benda itu menyimpan kenanganku dengan Yummy. Aku harus menjaganya.

Kawanan ayam datang memakan jagung. Zea menggertak mereka. Kawanan ayam lari.

Tajir: Mengenai hantu itu, aku pikir kita harus mencari siapa jenazah itu.

Zea : Kamu benar. Tapi, masalahnya kita cari dimana?

Tajir: Tetangga mungkin. Kamu cerita waktu itu banyak orang yang melihat.

Zea : Tapi mereka belum tentu tahu siapa jenazahnya.

Zea dan Tajir berpikir. Lalu mereka mendapat ide. Mereka berkata bersamaan.

Zea : Perangkat desa.

Tajir: Penjaga makam.

Zea : Penjaga makam?

Tajir: Ya, mereka pasti tahu.

Zea : Belum tentu. Kita nggak tahu berapa banyak orang yang meninggal setiap harinya, setiap bulannya, dan nama mereka pasti beda-beda. Menurutmu penjaga makam bakalan hafal?

Tajir: Em.. nggak ya? Lah kamu, perangkat desa?

Zea : Kalau ada warga yang meninggal kan mesti didata. Yang mendata siapa? Ya, aku nggak tahu pasti siapa, mungkin perangkat desa, Dinas Pencatatan Sipil atau apalah. Ya, kita cari tahu dulu.

Tajir: Lebih masuk akal sih.

Cut:

INT.: Kantor balai desa, pagi hari.

Zea : Pak Turah? Oh, saya lupa bapak kerja di sini.

Pak Turah: Zea dan Tajir kan? Wajar kalau lupa, kalian kan jarang ke sini. Kalau tidak ada kepentingan buat apa kemari.

Tajir: Heh heh, iya pak.

Pak Turah: Ini kalian mau ngurus apa?

Zea : Mau tanya pak tentang orang yang meninggal di desa.

Pak Turah: Kalau orang meninggal ya banyak, tiap bulan ada yang meninggal. Kalian carinya siapa? Bukan kenalan kalian?

Tajir: Bukan pak. Kami juga tidak kenal dengan cewek ini. Tetapi kami..(kebingungan).

Zea : Kami ada urusan sama dia. Sebelum meninggal kami pernah ketemu. Tapi tahu-tahu pas mau ketemu lagi, dia sudah meninggal.

Pak Turah: Kalau begitu kalian mau menemui keluarganya?

Zea : Iya pak.

Pak Turah: Kapan meninggalnya?

    Zea : Tiga hari yang lalu.

Pak turah: Wah, kalau begitu belum diinput. Saya cari catatan saya dulu.

Pak Turah membuka laci. Lalu mengambil buku dan membukanya.

Pak Turah: Perempuan kan ya?

Zea : Iya.

Pak Turah: Maksud kalian empat hari yang lalu?

Zea (berkata dalam hati): Sehari sebelum tanggal kematian Yummy.

Zea : Bukan pak. Tiga hari yang lalu.

Pak Turah: Kalau tiga hari yang lalu tidak ada perempuan yang meninggal. Tapi kalau empat hari yang lalu ada dua.

Tajir: Mungkin itu pak. Bisa beri tahu nama sama alamatnya?

Cut:

EXT.: Desa, siang hari

Narasi (off-screen):

“kalau yang ini saya tahu. Namanya Nyai Aisyah, Orang di desa sering memanggilnya mbah Nyai. Beliau orang yang sangat dihormati.” Pak Turah.

“Mbah Nyai yang punya pondok pesantren itu pak?”, Zea.

“Iya.”, Pak Turah.

Zea dan Tajir bersepeda satu-satu di jalan desa. Di sampingnya berhektar-hektar sawah. Di belakang sawah terdapat gunung.

Beberapa buruh tani perempuan bersepeda dari arah berlawanan. zea menyapa mereka sambil terus bersepeda.

Cut:

EXT.: Depan pagar pondok pesantren, pagi hari.

Zea dan Tajir sampai di depan pondok pesantren. Zea berbincang kepada satpam ponpes (tetapi tidak ditunjukkan apa yang mereka bicarakan). Satpam masuk.

Zea menunggu bersama Tajir. seorang perempuan 40 tahunan keluar.

Tajir: Apa dia perempuan yang bersama jenazah?

Zea : Bukan.

Perempuan itu datang.

Putri Mbah Nyai: Saya dengar, anda mencari saya. Saya putri Mbah Nyai. Ada yang bisa saya bantu?

    Zea : Begini, kami mencari jenazah yang ketika diantarkan ke kuburan, mobilnya menabrak kucing. Apa jenazah itu jenazah Mbah Nyai?

    Putri Mbah Nyai: Pasti bukan ibu saya. Ibu saya diantar dengan jalan kaki.

Zea dan Tajir berpikir.

    Putri Mbah Nyai: Hanya itu?

    Tajir: Mengenai Mbah Nyai, saya ingin bertanya, apakah beliau pernah bercerita mengenai seseorang bernama Zea dan Tajir?

    Putri Mbah Nyai: Nama kalian? Tidak pernah.

Zea melihat Tajir. Zea bingung.

    Zea: Maaf sebentar.

Zea membawa Tajir menyingkir.

    Zea : Kita sudah nggak ada urusan apa-apa lagi.

    Tajir: Tapi masa’ cuma nanya urusan kucing. Malu-maluin.

    Zea : Kenapa mesti malu? jangan malu bertanya, walaupun hal aneh atau menurutmu sepele sekalipun. Selama itu tidak mengganggu orang lain nggak masalah. Daripada kita terus-menerus terbebani oleh rasa penasaran.

    Tajir: Berarti kita tanya-tanya mengenai Mbah Nyai juga nggak masalah kan?

    Zea : Ya, nggak pa-pa, tapi buang-buang waktu.

    Tajir: Gini, aku barusan inget kalo jalan depan rumah, tempat Yummy meninggal. Jalan itu awalnya kan rusak, terus diperbaiki. Nah, donaturnya Mbah Nyai.

    Zea : Bukannya itu tanggung jawab pemerintah ya?

    Tajir: Dulu udah pernah diperbaiki pemerintah, tapi rusak lagi. Jalan itu kan memang langganan rusak. Dana pemerintah terbatas. Juga, yang rusak nggak cuma jalan itu saja.

    Zea : Terus Mbah Nyai donasi.

    Tajir: Iya. Ah, kita kembali dulu. Kasihan dia nungguin.

Zea dan Tajir kembali ke Putri Mbah Nyai.

    Tajir: Bu, mungkin Mbah Nyai memiliki suatu keinginan yang belum tersampaikan.

Putri Mbah Nyai: Oh, ya ada. Tunggu sebentar.

Putri Mbah Nyai masuk ke dalam.

Zea : Jir, seorang donatur jalan, orang baik begitu masa’ iya jadi hantu?

    Tajir: Zea, kita harus bisa memprediksi banyak kemungkinan. Terus menurutmu mengapa ibu itu masuk.

Putri Mbah Nyai datang membawa satu kantong kresek. Di dalamnya berisi dua bungkus makanan.

Putri Mbah Nyai: Ini.

Putri Mbah Nyai memberikan makanan kepada Tajir.

Tajir dan Zea: Maksudnya?

Putri Mbah Nyai: Ada pandemi, jadi acara selametan kematiannya ditiadakan tetapi diganti dengan sedekah 1000 bungkus makanan selama satu bulan.

Zea dan Tajir saling berpandangan.

Putri Mbah Nyai: Di situ sudah ada pengumumannya.

Putri Mbah Nyai menunjuk ke sebuah pintu. Zea dan Tajir melihat ke arah yang dituju.

Di sebelah pondok pesantren terdapat sebuah bangunan yang saat ini pintunya tertutup. pintunya seperti pintu toko yang dapat dilipat. Jumlahnya ada dua. Yang satu bisa dilipat ke kiri, satunya ke kanan. Gentengnya tinggi.

Close Up: Di pintu tertempel kertas bertuliskan “Bagi-bagi 1000 bungkus makanan setiap hari, sampai tanggal 30 (1 bulan)”.

Zea : Kalau dendam? Mungkin Mbah Nyai punya dendam?

Putri Mbah Nyai: Ah, ibu juga pernah berpesan dulu kalau ada yang masih punya hutang ke ibu, ibu saya sudah menganggapnya lunas. Kalian punya hutang sama ibu saya? Sudah lunas. Nggak pa pa, anggap saja sedekah.

Zea dan Tajir salah tingkah. Putri Mbah Nyai murung. Zea dan Tajir bingung.

Tajir: Kami minta maaf.

Putri Mbah Nyai: Saya hanya teringat pesan ibu saya. Ibu saya mengatakan itu sudah lama sekali, sebelum terkena stroke. Tiga tahun yang lalu mungkin. Lalu tiba-tiba ibu pingsan. Ketika bangun, ibu kesulitan menggerakkan tangan.

Putri Mbah Nyai mengusap air matanya yang berlinang. Zea dan Tajir bersimpati.

Putri Mbah Nyai: Sebenarnya beberapa bulan ini kondisi ibu sudah membaik. Ibu sudah bisa mengangkat telapak tangan walaupun lambat. Tapi kemarin hiks tiba-tiba hiks...

Putri Mbah Nyai mengusap air mata di pipinya.

    Zea : Saya dengar Mbah Nyai pernah memberikan sumbangan untuk perbaikan jalan. Orang baik seperti beliau pasti disayang Tuhan.

    Putri Mbah Nyai: Terima kasih.

    Tajir: Kalau begitu kami pamit. Semoga ibu dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan juga semoga pondok pesantrennya makin maju.

Putri Mbah Nyai: Amiin, terima kasih.

Zea : Terima kasih juga em, makanannya.

Zea dan Tajir menuju sepeda. Putri Mbah Nyai masuk. Zea memandangi kertas lagi.

Close up: kertas di pintu. Lalu di bawahnya (diluar kertas). Terdapat tulisan di pintu kanan “PENG” dan dibawahnya “HASIL”.

Zea : Aku tarik kata-kataku Jir. Jangan bertanya yang tidak perlu. Serius, malu-maluin.

Tajir: Untung kita nggak cerita kalau dihantuin.

Zea dan Tajir tertawa.

    Tajir: Jadi nggak mungkin ya Mbah Nyai hantunya.

    Zea : Jelas nggak mungkin.

    Tajir: Jadi sekarang kita ke orang kedua? Em, Oriza sativa. Padi.

    Zea : Udah sore, aku harus nutup jagung. Besok aja ya?

    Tajir: Oke.

Cut:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar