Jendela Bidik
2. 'Bucket List'
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

INT. KAMAR TIDUR ERIN - PAGI

Kita melihat kamar kecil Erin yang lantainya sudah hampir tidak terlihat karena lautan barang-barang yang bertumpuk. Di salah satu sudut kamar, rak besarnya terlihat kosong, berbeda dengan sudut-sudut lain yang masih penuh tumpukan barang. Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela, membuat debu-debu yang berterbangan maupun yang melekat di barang terlihat jelas. 

Di tengah ruangan kita melihat Erin duduk di lantai, sedang membongkar dan memeriksa barang-barangnya. Wajah dan gerakannya tampak malas tapi terpaksa, ditemani oleh suara dari video youtube yang ia putar di HP.

NARATOR DI YOUTUBE (OFF SCREEN)
Kalo lo bingung sama makna hidup ini, bingung juga sama passion lo, ini sebenernya wajar banget dan umum dialami banyak orang, terutama kalo lo ada di rentang umur 15-30 tahun, karena emang ini adalah ... 

(volume down)

IBU ERIN
Riin, ini kardus-kardus buat pilahnya. Nanti yang Buang sama Donasi taruh depan ya.

Ibunya masuk ke kamar Erin dan meletakkan 3 kardus kosong yang ditulisi "SIMPAN", "BUANG", dan "DONASI" dengan spidol. Erin menoleh dan melihat ketiga kardus itu. Lalu menoleh ke ibunya, menyodorkan wajah muram. 

ERIN
Buuuk, ini harus banget ya kita bersih-bersih sampe gini? 
IBU ERIN
Yaa kan sekalian, Riiin. Kan kita lagi siap-siap untuk reuni keluarga besar. Kan enak tho, akhirnya reuninya di rumah kita. Sebelumnya kan nggak pernah.
ERIN
Iya sih, tapi ya... 
(heran)
Ibu juga tumben, piring-piring bagus gak pernah dipake sekarang mau dipake. Terus tiba-tiba mau nyuci karpet. Aneh banget, biasanya kalo ada acara nggak gini juga...? 
IBU ERIN
Erin Shanericca... jadi tuan rumah ya harus ngasih yang terbaik buat tamunya. Apalagi ini kan keluarga sendiri. 

Ekspresi wajah Erin berubah dari heran ke agak sewot.

ERIN
Kayak mereka ngasih yang terbaik buat kita aja.

Erin sengaja agak membanting barangnya saat memasukkannya ke kardus pilah. Wajah ibunya paham maksud anaknya, tapi tangannya langsung menegurnya.

IBU ERIN
Sssh, apa sih. Udah. 

Erin mengamati reaksi ibunya. Ia ingin mengeluh, tapi menahannya; antara tidak ada energi dan tidak tega. Akhirnya ia hanya bisa menghela napas panjang.

IBU ERIN
(nada suara berubah jadi tajam)
Lagian ya, Rin. Kamarmu bentar lagi udah jadi gudang kalo gak diberesin. Ckckck.

Ibunya mengamati kamar itu sejenak, lalu berdiri dan melenggang pergi tanpa menunggu respon Erin. Erin hanya bisa mengernyitkan dahi, sewot lagi untuk alasan yang berbeda. 

NARATOR DI YOUTUBE (OFF SCREEN)
(volume up)
... Menurut Plato, passion itu sebenernya bisa membuat hidup lo lebih utuh.

Kita melihat Erin mengeluarkan berbagai macam barang dari kardusnya. Beberapa mug kecil, buku-buku, flyer, pigura kosong. Kipas angin portabel bekas, anti nyamuk elektronik, lup, minyak angin botol, beberapa casing HP. Dari kardus lain, ia mengeluarkan pita-pita yang pudar, setumpuk DVD dalam kotaknya, DVD tanpa kotak, sarung tangan, lap yang sudah sangat berdebu. Erin melihat dan memegang barang-barang ini dengan cukup enggan karena debunya, juga heran kenapa dia bisa menyimpan semua barang ini.

NARATOR DI YOUTUBE (OFF SCREEN)
Karena passion itu adalah suatu emosi, dorongan untuk melakukan suatu hal yang memenuhi tujuan hidup kita, sekaligus membawa kebahagiaan buat kita. 

Barang demi barang terus dilemparkan Erin ke kardus pilah. Dari ketiga kardus, kita melihat "BUANG" telah terisi dengan cepat, sedangkan "DONASI" masih terisi beberapa barang dan "SIMPAN" masih kosong.

NARATOR DI YOUTUBE (OFF SCREEN)
Tanpa passion, banyak orang yang pada akhirnya nyerah, kecewa, dan terus terjebak di kondisi yang melelahkan. Semua terasa hambar.

Kembali ke Erin, yang kini mengambil barang-barang yang sepertinya dari zaman SMA: poster konser, dasi abu-abu berlogo sekolah, beberapa buku tulis, gulungan karton, dan bekas scrap booking bekas tempelan dinding, penuh dengan foto, notes, hiasan, dll yang saling menumpuk. Erin melihatnya dan wajahnya langsung nostalgis. Diperhatikannya detail-detail yang masih cukup utuh.

Tak lama, Erin meletakkann scrap book itu dan mengambil sebuah binder. Saat mengambilnya, selembar kertas jatuh ke lantai. Erin memungut dan membacanya.

NARATOR DI YOUTUBE (OFF SCREEN)
Jadi, kalo lo bisa menemukan passion, lo akan ngerasa lebih punya kontrol sama hidup lo. Lo juga--

Erin tiba-tiba meraih HP dan mematikan youtube-nya. Wajahnya memperhatikan kertas itu seperti sedang menemukan harta karun. 

CLOSE UP kertas yang digenggam Erin. Di atas kertas kuning berhias glitter dan stiker-stiker kecil itu, tertulis sebuah daftar. 

<3<3 BUCKET LIST ERIN <3<3

1. Pelukis

2. Interpreter

3. Sutradara film ^.^

4. Guru Bhs Inggris!!

5. Desainer Grafis 

6. CEO/Bos perusahaan startup

7. Badut Dufan

.....

.....

Bucket List itu memenuhi satu sisi kertas. Wajah Erin menunjukkan kalau dia lupa pernah membuat daftar ini, dan cukup heran dengan apa yang pernah ditulisnya. 

Ia menerawang, berpikir sejenak. Setelah puas melihat dan mencerna, perlahan ia berdiri dari lautan kardus dan barang. Erin pun tersenyum, kemudian mengambil hapenya, memotret bucket listnya, dan mulai mengirim chat ke Idan.

BUBBLE CHAT IN

Erin: (mengirim foto) Dan, aku nemuin banyak opsi untuk foto-foto lomba. Ternyata pas SMA dulu aku pernah bikin semacam Bucket List!!! (emot excited) (emot ketawa)

Erin: Ya, sebenernya sih ini lebih ke cita-cita atau profesi keren yang pengen aku coba. Wkwkkwkwk.

Idan: Wow. Ide baguss (emot melotot kaget)

Erin: Kita coba nyari ide dari situ aja, ya

BUBBLE CHAT OUT

Erin membawa kertas bucket list itu ke wall grid di depan meja belajarnya. Ia membersihkan debu yang masih tersisa, lalu menjepitnya di wall grid. 

Ia memandangi bucket list ala ala yang ditulis dengan tinta glitter itu, tersenyum penuh harapan dan sedikit kelegaan.

FADE TO:

EXT. DEPAN RUMAH PAK GALIH - SIANG

Sepeda motor yang disetir Idan dengan Erin di boncengan baru saja sampai di depan sebuah rumah. Rumah itu tidak kecil, tidak juga besar, bergaya jawa lama dengan cat putih klasik dan pagar putih yang sudah terlihat karat di sana sini. Pepohonan yang cukup rimbun meneduhkan rumah ini dari terik matahari yang menyengat. 

Saat mereka berdua sudah turun, Idan memencet bel di bagian dalam pagar. Terdengar bunyi TING TONG lembut.

ERIN (VOICE OVER)
Ini rumahnya Pak Galih si pelukis itu, Dan?

Tak lama kemudian, terlihat pagar dibuka oleh PAK GALIH (pelukis, usia 40an). Kita melihat gerakan Idan yang langsung membungkuk sedikit, menyapa dengan sopan, disusul Erin (INAUDIBLE), dan Pak Galih langsung menyuruh mereka masuk (INAUDIBLE). 

IDAN (VOICE OVER)
Iya. Dia kenalannya Papa, beliau ini sering jadi kontributor untuk galeri pemerintah kota.

CUT TO:

INT. LORONG RUMAH PAK GALIH - SIANG

Di ujung koridor, kita melihat Erin bersalaman, mengenalkan diri pada Pak Galih (INAUDIBLE). Kemudian Erin dan Idan langsung berjalan di samping Pak Galih, menyusuri LORONG tidak terlalu lebar yang dipenuhi deretan lukisan-lukisan yang objeknya berkisar di bunga, burung, dan makanan yang dilukis dengan gaya modern ala ilustrasi digital.

Beberapa digantung, beberapa ditaruh di lantai. Kita melihat Erin dan Idan memperhatikan beberapa lukisan. 

ERIN (VOICE OVER)
Pak Galih, terima kasih saya dan Idan sudah boleh datang. Jadi, saya akan ambil beberapa foto untuk... referensi untuk lomba foto.
PAK GALIH (VOICE OVER)
(lembut dan bersahaja)
Sama-sama, Mbak. Boleh boleh mawon. Monggo.

Dipimpin Pak Galih, mereka bertiga berjalan hingga berbelok ke sebuah ruangan di ujung lorong.

INT. WORKSHOP PAK GALIH - SIANG

Mereka memasuki WORKSHOP Pak Galih, dan langsung disambut dengan easel, cat, kuas, dan kanvas berbagai bentuk yang sebagian besar tertata rapi. Suasana ruangan ini, meski dicat dengan warna abu-abu pucat, tetap terasa hangat dan menyenangkan, homey, dan membuat kepala kita memunculkan banyak ide. 

Hanya satu sudut yang terlihat cukup berantakan, yaitu tempat yang langsung ditunjuk oleh Pak Galih.

PAK GALIH
Nah, ini workshop saya. Saya kalo melukis duduk di sini...

Kita melihat kanvas portrait ukuran medium yang sedang duduk di easel, masih berupa sketsa dengan warna biru muda pucat sudah disapukan sebagai dasar. Belum terlihat bentuk/objeknya apa. 

Di belakang kanvas itu, terlihat beberapa lukisan yang sudah jadi: dua kanvas kecil lukisan burung yang terlihat menyambung, satu lukisan Indomi goreng dengan lauk lengkap yang terlihat fresh dan menggiurkan, serta satu lukisan bunga alamanda. Erin mengamati lukisan bunga kuning cerah itu lebih dekat.

ERIN
(berdecak kagum)
Wah, bunga alamanda ini, saya kayak liat alamanda ibu saya di teras rumah.
PAK GALIH 
(tersenyum lebar)
Hehe.. Terima kasih, Mbak Erin.
(beat)
Oh ya, sebentar, saya ke belakang buatkan minum dulu. Doyan teh, kan, ya? Kalian liat-liat aja monggo, kalo mau duduk bisa di bangku itu.

Ia menunjuk bangku kecil yang muat dua orang, sementara Erin dan Idan berterima kasih.

IDAN
Walah sampe repot-repot. Makasih Pak...

Pak Galih pun berjalan keluar dari workshop dan masuk ke dalam rumahnya. 

Idan dan Erin kemudian lanjut melihat-lihat hasil karya Pak Galih. Lukisannya banyak memakai warna cerah dan pucat. Goresan warnanya terlihat rapi, rata, ujung2nya pun tegas, shade tidak terlalu dalam. Memberi kesan kombinasi antara klasik yang smudgy dan modern yang solid tegas. Finishing look-nya terlihat seperti ilustrasi digital.

Erin pun kembali ke spot melukis Pak Galih dengan kanvas yang masih sepi hanya biru pucat, kursi bersandaran yang kosong di depannya, dan palet bersih yang baru terisi cat biru dan putih, sementara tube-tube cat warna kuning, coklat, hijau, oranye, merah sudah siap di sampingnya. Kuas berbagai ukuran pun sudah siaga, bergerombol rapi di sebuah kaleng.

Kemudian Erin meraih tas kamera yang sedari tadi diselempangnya, mengambil kamera dan mengalungkan talinya di leher. Ia mulai menyalakan kamera.

IDAN
Rin, kayaknya kamu emang sempet bilang dulu, kamu pengen ngerasain jadi pelukis. 
ERIN
(mendongak dari kameranya)
Oh ya?? Hahaha, lupa. Tapi aku masih penasaran sih.

CLOSE UP, ZOOM IN: Erin lanjut berbicara sambil mulai menutup mata kiri dan mendekatkan mata kanannya ke viewfinder, mencari bidikan.

ERIN
Makanya, bisa aja ini jadi my passion, kan?

Erin terus mencari frame yang pas lewat jendela bidik kecil yang hanya bisa dilihat dengan satu mata itu.

POV VIEWFINDER ERIN: Kita terus bergerak, agak sedikit geradakan di sekitar spot melukis Pak Galih, mencari frame yang tepat. Gerakannya bingung dan tidak yakin menentukan bidikan.

ERIN (OFF SCREEN)
Sapa tau bisa jadi muridnya pak Galih, punya galeri sendiri...

Ia berputar beberapa kali, dan akhirnya gerakan mulai pelan dan mulai yakin.

Kita beralih ke CLOSE UP Erin yang mencoba memantapkan genggaman pada kameranya.

EXTREME CLOSE UP Erin memantapkan telunjuk kanannya di tombol shutter, sambil meneruskan bicara. 

ERIN 
...terus, lukisanku dijual mahal, bisa punya...

Telunjuknya MENEKAN TOMBOL SHUTTER. *KLIK!*

Tiba-tiba, BLITZ memenuhi layar hingga putih total, lalu memudar dan kembali seperti sebelumnya. Namun, ambience telah berubah. 

ERIN 
(bergaung, pelan, agak jauh)
...bisa punya...

Sambil ZOOM OUT ke MEDIUM SHOT, kita masih bisa melihat telunjuk Erin di tombol shutter, kameranya, dan posisi Erin yang sama yang sedang membidik.

Erin kemudian melepaskan mata dari kamera dengan bingung, merasakan perubahan yang terjadi. Ia pun menyapukan pandangan ke sekeliling. 

Ia masih di ruangan workshop yang sama, posisi yang sama. Tapi terasa ada yang aneh. Erin melihat ke sekeliling. Idan tidak tampak!

ERIN
Dan...? Idaaan?

Erin mengenyitkan dahinya. Ia pun keluar ruangan workshop dan memeriksa koridor. Kiri. Kanan. Kosong.

Seketika Erin merasa tempat ini menjadi terasa jauh lebih sunyi dan sedikit mengerikan. Ia melongok ke bagian lain dari rumah Pak Galih itu, ingin melihat apakah Pak Galih ada di sana. Tapi ia tidak berani berjalan terlalu jauh. Dan Idan belum terlihat.

Masih menggenggam kamera di tangannya, Erin pun kembali ke workshop, dan meloncat kaget seketika!

Sesosok perempuan muda dengan wajah yang SAMA PERSIS, seperti pinang dibelah dua dengan dirinya, sedang duduk manis di kursi Pak Galih dan menoleh ke Erin. 

PEREMPUAN
Hai.

Erin seperti melihat bayangannya sendiri di cermin!!!

Rambutnya, posturnya sama dengannya. Nadanya lembut, tapi tegas. Suaranya mirip Erin, hanya sedikit lebih berat. Ditatapnya perempuan "kembarannya" itu dari atas ke bawah. Erin mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak bisa memercayai ini.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar