Pulkam

"Ndak pulang juga Uwan lebaran ini, Buk?" Ibuk menghela nafas, memaksakan senyum.

"Masih belum agaknya, Ipah. Anaknya yang paling kecil baru masuk SMP. Tahu sendiri biaya pendidikan di kota. Masuk TK saja sudah sebanyak biaya kuliahnya dulu, katanya." Iffah, keponakannya itu menatap lama. Agaknya meraba-raba cerita apa yang ia sembunyikan, sebab si sulung tak pulkam-pulkam. Sudah berselang sepuluh tahun.

___________________

Harusnya percakapan malam ini tidak terjadi. Sudah tiga tahun ia menunggu untuk bertemu anak dan cucu. Tetapi, suaminya merusak suasana di hari pertama mereka pulkam.

"Pulang naik bus?"

"Iya, Apak. Dagang sedang sepi. Mahal sekali tiket pesawat."

"Rumah masih ngontrak?"

"Iya, Apak."

"Sudah lima tahun, hidupmu ndak ada kemajuan. Anak si Pudin dua tahun merantau, pulang kampung dengan sedan."

"..."

"Merantau itu mambangkik batang tarandam. Sebelum sukses, pantang pulang."

___________________

Tiga hari setelahnya, anak, menantu dan cucunya balik ke Jakarta tergesa-gesa. Si sulung mengatakan mendadak ada urusan. Ibuk hanya bisa mengucap harap, "Lebaran tahun depan pulang lagi ya, Nak." Namun sang anak tak pulang-pulang. Bahkan saat ayahnya wafat. *Uwan = kakak laki-laki

8 disukai 6.3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction