The Florist

Cottage Gardern Florist, 2 tahun aku mengurus bunga-bunga di sini. Menata bucket dan keranjang bunga di bagian depan. Memadu padankan susunan warna dan jenis bunga agar tampilan toko kami menggugah hati.

Bangunan putih klasik ala Eropa tak seberapa luas, menempel langsung ke rumah Bu Rika. Perempuan ini bercerai dari suaminya 5 tahun lalu. Aku tak tahu alasannya, tapi kudengar gosip tetangga, karena mereka tak memiliki anak. Bu Rika sangat tertutup soal masalah pribadi. Lagipula apa pentingnya bagiku mencari tahu?

Apa asyiknya mengurus bunga-bunga? Bunga-bunga akan layu seiring berjalannya waktu, kemudian kering dan dibuang.

Bunga-bunga ini memang penuh warna, namun hanya singgah sebentar di sini, datang dan pergi. Tak semuanya laku setiap hari. Sebagian layu sendiri, Bu Rika menyimpannya. Ada yang dikeringkan, kemudian dijadikan pajangan dinding, atau dilaminating menjadi pembatas buku.

"Kau tahu kelebihan bunga-bunga? Mereka tetap indah dan beraroma, dalam keadaan mati sekalipun." Katanya padaku suatu hari, di tengah derasnya suara hujan jatuh ke bumi.

Bagaimanapun, pembeli lebih menyukai bunga-bunga yang mekar. Sebagian dari mereka bahkan tidak tahu soal aroma ataupun keindahan. Mereka membelinya sebab kebiasaan memberi hadiah temannya yang wisuda, penghias wedding party atau bahkan saat kematian.

Namun, tidak yang seorang ini.

"Ada bunga yang sudah layu?"

Aku meletakkan kemoceng yang kupegang. Menyunggingkan senyuman semanis mungkin, basa basi biasa pada pelanggan. Lelaki ini sungguh klimis. Rambut disisir rapi, pakaiannya berkelas, sepatunya mengkilat dan lancip.

"Bunga apa yang Bapak cari? Ada melati, krisan, mawar, daffodile, dan banyak lagi. Bapak silakan masuk dulu, di bagian dalam lebih beragam."

"Apa saja yang layu?"

"Biasanya orang-orang mencari yang mekar, namun Bapak ke sini mencari bunga layu?"

Dia menarik nafas panjang.

"Yang mekar memang menarik perhatian, tapi bukankah semua akan layu pada akhirnya?"

Aku mengangkat bahu. Kalau begitu, mengapa dia datang ke toko bunga? Ambil saja bunga mati di jalanan.

"Pemilik toko ini, selalu memanfaatkannya. Tapi saya bisa menyisihkan satu untuk Anda jika ..."

Mata lelaki itu berbinar.

"Bisakah saya bertemu pemilik toko?"

"Wah, beliau sangat sibuk. Mohon maaf."

"Kalau begitu, saya akan menunggu."

Aku mulai gelisah. Lelaki ini maksudnya apa? Bu Rika berada dalam ruang kerjanya di lantai atas, dan jelas tak akan mau diganggu hal semacam ini.

Pembeli yang lain datang, aku mengabaikan lelaki itu.

Sejam, dua, tiga jam berlalu. Dia tak beranjak dari tempatnya menunggu. Aku menelfon Bu Rika, tak diangkat.

"Apakah pemilik toko ini tak pernah turun ke bawah?" Lelaki itu bertanya lagi.

"Tidak juga, dia sering mengecek pelanggan dan sangat ramah."

"Apakah dia punya tahi lalat di dagu?" Lelaki itu berbicara sangat hati-hati. Mengapa dia sangat tertarik pada majikanku?

"Tidak ... tapi dia punya lesung pipi ..."

Lelaki itu tampak terkejut. Tepatnya, ia seakan tersengat.

Tanpa bisa kucegah, ia berlari menaiki tangga.

Di kamar berhiaskan bunga, aku ternganga. Majikanku terkapar di atas karpet bertaburan mawar.

"Bianda!! Jangan begini, Bianda! Beri aku kesempatan sekali lagi!" Laki-laki itu meraung, tetapi suaranya hanyut dalam hujan.

Aku menatap pigura yang tergantung di sudut ruangan. Bu Rika dan lelaki itu, tampak berbunga-bunga, berpelukan mesra di tengah Padang Edelweiss yang luas.

5 disukai 5.2K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction