Fabian berdiri di tepi pantai, menghirup udara laut dan merasakan tiap obyek di pantai memainkan lantunan nada. Melodi air laut berdesir pelan, tak tampak adanya ombak tinggi yang menggulung di lautan. Bersama dengan gerakan yang diciptakan angin memainkan rerumputan liar, suara gesekan-gesekan kecil muncul, menambah suasana yang entah kenapa terasa sangat damai bagi Fabian.
Sudah sekitar setengah jam dia berdiri di bibir pantai, membiarkan ombak kecil menyapu kakinya yang tak mengenakan alas kaki. Merasa lelah, Fabian menghampiri sebuah bangku kayu yang sengaja diletakkannya tak jauh dari bibir pantai. Bangku yang tak pernah dipindahkan. Kini dia duduk menatap sebuah lukisan senja yang terhampar begitu besar di hadapannya. Sebuah lukisan alami klasik yang keindahannya tak pernah membosankan. Menampilkan latar belakang langit jingga, dengan hiasan beludru awan-awan tipis, memberikan sentuhan manis. Gulungan-gulungan air dan buih-buih yang menari di atas kilau permukaan air laut, merefleksikan sebuah kilasan memori sejarah kehidupan di mata Fabian. Semua unsur itu mengiringi setengah lingkaran matahari kemerahan tepat di batas cakrawala.
Mahakarya Agung. Sebuah suara terdengar memuji, mengejutkan Fabian. Seolah tahu persis, bahwa lelaki itu tengah mengagumi keindahan senja. Sang pemilik suara berjalan pelan mendekati Fabian dan duduk di sampingnya. Fabian tersenyum dan mengulang kata-kata wanita yang kini menyandarkan tubuhnya dalam pelukan Fabian. Mahakarya Agung.
Dalam hening, mereka berbagi sentuhan dan belaian senja. Perlahan setengah lingkaran di batas cakrawala itu makin tenggelam, menyadarkan Fabian akan sesuatu. Bahwa setiap rangkaian waktu akan memiliki akhir. Seperti dirinya, yang dulu begitu terang seperti matahari utuh, kini mengikuti alur skenario kehidupan yang membawanya hampir menuju bagian akhir. Sinarnya telah meredup bagai senja dan hampir tenggelam, seperti matahari yang akan lenyap dari garis horison.
Fabian menunduk, menatap wanita di pelukannya yang matanya terpejam. Ada setitik air mata menetes di antara kerutan wajah cantik yang telah menua itu. Fabian mengecup keningnya membuat wanita itu tersenyum. Kemudian dengan lirih dia meminta Dongeng Senja pada Fabian. Mereka menyebutnya Dongeng Senja. Yang tak lain hanyalah berupa serentetan kata-kata manis yang dulu diucapkan pada janji pernikahan Fabian untuk mengajak wanita itu dalam sebuah ikatan suci. Sudah beberapa minggu ini, dia selalu meminta pada Fabian untuk mengucapkannya tiap sore di tepi pantai belakang rumah kecil mereka. Janji yang tak pernah ternoda hingga senja telah menjemput mereka.