Lagi-lagi alarm tahajud itu berbunyi, dan lagi-lagi aku mematikannya. Sudah berapa hari hal ini terjadi berulang kali, aku terbangun sesaat, lalu kembali terlelap. Dentingnya tak lagi mengusik; tanganku refleks mematikan, sementara tubuhku justru menarik selimut lebih erat dan melanjutkan tidurku. Sudah berapa malam aku melakukan hal yang sama tanpa rasa bersalah.
Dulu, meninggalkan tahajud sehari saja terasa begitu berat. Ada rasa bersalah yang menyesakan, ada kegelisahan yang tak mudah diabaikan. Namun kini, semua itu seperti memudar. Aku menjadi acuh, seolah tak ada yang perlu disesali.
Dulu, Aku bersujud dan berdoa mengetuk jalur langit dengan linang air mata, demi keinginan yang terasa mustahil. Namun entah dari mana, godaan itu datang. Menghasutku perlahan aku lupa pada doaku sendiri, hingga aku berhenti berharap dan tak lagi bersujud. Sudah tidak ada sajadah yang tergelar. Sudah tidak ada tangisan setiap malam. Hanya bersisakan malam yang dingin, sepi dan sunyi. Entah sejak kapan aku setenang ini meninggalkan tahajud?
Jujur aku merindukan diriku yang dekat dengan Allah.
Aku membenci diriku yang kini begitu jauh. Aku muak pada diriku yang kini terlalu akrab dengan kelalaian.
Aku ingin kembali menjadi hamba yang tenang karena berserah, bukan gelisah karena lalai.
Alarm malam ini kembali berbunyi.
Bukan hanya membangunkanku dari tidur, tapi dari kelalaian yang panjang. Ia mengingatkanku bahwa aku pernah setaat itu, pernah seikhlas itu dalam sujud. Rasanya perih menyadari betapa aku berubah, bukan ke arah yang lebih baik.
Bukan seperti ini hidup yang kuinginkan. Penuh rasa resah dan bersalah. Yang tanpa sadar, aku membiarkan diriku hanyut. Terlena oleh kebiasaan buruk yang kupeluk sendiri.
Apakah aku terlalu terlena oleh kebiasaan burukku sendiri? Aku berharap, suatu hari nanti, aku bisa kembali menjadi diriku yang dulu, versi diriku yang lebih baik.
Ya Allah, berikan aku jalan untuk kembali, jangan biarkan hatiku ikut mati dalam kelalaian. Temukan kembali cahaya dalam sujud tahajud.