Malam itu seperti cermin yang sunyi, bintang-bintang berkelap-kelip di atas, dingin dan acuh tak acuh. Nion duduk di tepi jendela, merasakan udara dingin yang merembes melalui celah-celah kayu. Matanya mengamati langit, cahaya dari bintang-bintang hampir tidak cukup untuk menembus lapisan ketidakpastian yang memenuhi pikirannya. Angin membawa aroma tanah yang lembap, bercampur dengan dengungan sungai di bawahnya. Segala sesuatu di sekitarnya tampak damai, tetapi di dalam, pikirannya bergejolak.
Napasnya melambat saat ia menatap hamparan tak berujung. "Apakah mereka selalu ada, bintang-bintang?" gumamnya. "Saksi atas segala sesuatu yang tidak dapat kita putuskan?" Cahaya dingin mereka mencerminkan keraguannya sendiri yang sunyi, namun luas, tak terjangkau.
Udara malam ini terasa berat. Meskipun bintang-bintang bersinar terang, dunia di bawah sana tampak tenggelam dalam bayangan. Bisik lembut sungai memenuhi malam, tetapi Nion nyaris tak menyadarinya, tenggelam dalam badai yang bergolak dalam dirinya. Angin bertiup kencang, embusan lembut dari pegunungan, menyejukkan kulitnya. Namun, meskipun malam itu tenang, dadanya terasa sesak.
Taman di luar masih sunyi, pohon sakura yang kini gundul, bergoyang pelan. Setiap hembusan angin berbisik tentang perubahan. Kelopak bunganya telah lama gugur, seperti serpihan kehidupan yang tak lagi dikenalinya. Namun, bahkan dalam keheningan ini, ia merasakan pergerakan waktu, keputusan yang belum diambil.
Nion mengepalkan tangannya di ambang jendela. Bagaimana mungkin dunia terasa begitu sunyi ketika segala sesuatu di dalam dirinya kacau? Kehormatan keluarganya terikat pada pedang. Suara ayahnya bergema di telinganya, "Hidup seorang samurai adalah tugas, ditempa dalam pertempuran." Ia pernah mempercayainya, tetapi sekarang kata-kata itu terasa hampa, beban yang tidak dapat ia pikul lagi.
Ia melepaskan ambang jendela, menatap sungai yang gelap di bawahnya. "Apakah hidup hanya tentang mengikuti jalan yang dibuat orang lain untukmu?" Suaranya nyaris berbisik, seolah takut malam akan menjawab.
Ajaran neneknya mengalir kembali padanya. Ia selalu berbicara tentang makanan, bukan hanya sebagai makanan pokok, tetapi sebagai cara untuk terhubung dengan orang lain. “Memasak lebih dari sekadar mengisi perut,” katanya. “Ini tentang memahami jiwa orang-orang yang Anda beri makan.” Kata-kata itu menghantuinya sekarang, di dunia di mana makanan hanyalah sekadar bertahan hidup, tanpa makna yang lebih dalam.
Sambil menutup matanya, ia membiarkan pikirannya mengembara ke sebuah visi yang mustahil: makanan yang diresapi dengan aroma sakura dan ketenangan embun pagi, hidangan yang dapat menyembuhkan luka yang lebih dalam daripada yang dapat dipotong oleh pedang. Bisakah sesuatu yang sederhana seperti makanan mengubah jalan hidup seseorang? Atau bahkan perang?
Bau tajam tercium melalui jendela yang terbuka, mengganggu pikirannya. Mata Nion terbuka lebar, mengamati kegelapan. Dari jalan dekat sungai, sesosok tubuh mendekat, berselimut bayangan. Cahaya bulan yang redup memantul dari sesuatu yang besar yang tersampir di punggung pria itu. Seorang pedagang, mungkin, dilihat dari ukuran karung yang dibawanya. Angin bertiup lagi, membawa bau rempah-rempah lebih dekat, kuat dan asing.
Nion bangkit, rasa penasaran menariknya ke arah pintu. "Siapa dia?" bisiknya. Baunya bertahan di udara, pedas dan manis, menjanjikan sesuatu yang Nion inginkan. tidak dapat mengingatnya dengan jelas. Itu adalah pengingat bahwa dunia lebih luas daripada jangkauan pedang ayahnya.
Langkah pedagang yang lambat dan hati-hati itu semakin keras saat ia mendekati rumah. Nion merasakan denyut nadinya semakin cepat. Mungkinkah makanan dan pedang menjadi jawabannya? Mungkinkah kekuatan tidak terletak pada baja, tetapi pada meja yang sama dengan musuh?
Bintang-bintang di atas sana berkelap-kelip samar, tak peduli dengan kekacauan di bawah sana. Pikiran Nion bergejolak, badai yang semakin membesar. Hidupnya dibangun atas gagasan bahwa kehormatan terikat pada darah, bahwa kekuatan berasal dari pedang. Namun kini, saat aroma rempah-rempah asing tercium di udara malam, ide lain mulai muncul.
"Bagaimana jika ada sesuatu yang lebih kuat dari pedang?" tanyanya pada dirinya sendiri, kata-katanya nyaris tak terdengar karena tertiup angin. "Bagaimana jika kekuatan sejati terletak di hati, bukan di baja?"
Sosok pedagang itu semakin jelas, menyeberangi jembatan sempit di atas sungai. Dengan setiap langkah, Nion merasakan hubungannya dengan masa lalu melemah. Dunia di luar dunia tempat pedagang itu berasal memanggilnya. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia melihat bahwa ada jalan lain selain yang telah ditetapkan ayahnya.
Kelopak terakhir pohon sakura itu hanyut perlahan ke sungai, terbawa arus. Nion memperhatikannya saat bunga itu menghilang di kegelapan malam. Sama pastinya, kehidupan lamanya pun lenyap. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia menarik napas dalam-dalam, aroma rempah-rempah dan sakura bercampur di udara.
Hidupnya tidak akan diatur oleh pedang saja. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke pedagang itu. Di suatu tempat, di antara aroma rempah-rempah asing dan udara malam yang dingin, ada jawaban yang menunggu untuk ditemukan.