Di Sebuah Hutan

Sssttt … ssstt … ssstt ….

Hitam pekat sepanjang mata memandang. Dinginnya malam saat itu menusuk dalam lapisan epidermis kulit. Indra pendengar didominasi oleh suara-suara tak kasat mata.

Suara itu kembali terdengar. Desisan ular yang sedang mencari mangsanya. Hening sejenak. Lantas, gerakannya kembali, namun dengan suara yang berbeda. Hewan reptil itu menerobos semak-semak di hutan belantara, dengan kecepatan penuh bah kereta api yang berjalan di atas rel—lurus ke depan siap menyergap satu titik.

“TIDAK …,” teriakan seorang anak kecil, berusia sekitar 5 tahun, memecah keheningan. “Ayah!” paggilnya pada sosok pahlawan dalam hidupnya.

“Diam, nak …. Jika kamu bergerak dia akan memangsa kita,” ucap sang Ayah.

“Ayah, aku takut!”

Hewan bertubuh lentur dan panjang itu terdiam. Kepalanya mendongak, lidahnya menjulur.

Sssttt … sssttt … ssstt ….

“Diam … Nak! Jangan bergerak!” bisik sang Ayah.

Sang anak mengangguk, bersendekap, dan duduk di bawah gelapnya malam.

Anehnya, kepala ular itu tak terlihat lagi. Yang terlihat hanya ekornya yang bergerak ke kanan dan ke kiri.

“Seekor katak raksasa telah melahap ular itu,” ucap sang Ayah.

Pada detik itu pula, terlihat cahaya putih menerangi malam.

Sang anak melihat Ayahnya dengan kepala miring ke kanan serta pandangan mata yang kosong. “Ayah … tak ada katak yang memakan ular, ularlah pemangsa katak.”

“Siapa bilang? Ada kok, tadi itu, katak makan ular.”

“Bu guru bilang, ular adalah hewan pemangsa hewan lain, seperti katak dan tikus.”

“Tapi … ini katak raksasa. Dia bisa menelan ular,” sanggah sang Ayah.

Sang anak memicingkan mata.

“Lampunya sudah hidup, matikan lilinnya!” titah sang Ayah.

“Siap!” Sang anak berdiri, tangannya digerak-gerakkan membentuk beberapa jenis hewan—burung, ular, katak, kelinci dan kijang. Ia mengangkat kedua tangannya setinggi dada dan mengamati bentuk hewan yang ia ciptakan di dinding rumahnya. “Ssstt …. Koak-koak.” Ia naik ke atas kursi, menunduk, lalu meniup lilin yang berada di atas meja. “Memangnya ada katak raksasa?” tanya sang anak yang sudah duduk di atas kursi.

“Itu hanya cerita Ayah, tentu saja Ibu Gurumu yang lebih benar,” sahut sang Ayah sembari mencubit pipi sang anak.

“Hemm …. Ayah … gak lucu,” ucap sang anak mengulurkan tangan—meminta digendong.

17 disukai 14 komentar 7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@alwindara : Ya ampun kak, makasih banyak. Lancar buat usahanya. Amiin. :) senang syekali bisa ada pengunjung di FF saya ini. :)
Seru aja mumpung banyak waktu luang, waryng lagibswpi hihihi
@alwindara : Makasih kak :) Senang bisa dibaca oleh kak alwin dan sangat loman buat komentar. :)
Udah ternyatta
@rainzanov : Terimakasih kak, tersanjunh saya baca komennya. Jejak yang sangat didamba oleh penulis baru ini. :)
Ayah, kenapa Ayah nyebelin.🤣 Bagus ceritanya kak, ngalir gitu aja. Berasa kembali ke masa kecil saya kak
@vamadina : Terharu berkali2 baca komen, mkasih banyak kak sudah mampir dan meninggalkan jejak. :)
aaahh teduh sekali
@mudyopranawarna : Aslinya pas nulis, sambil bercanda sama Ibu. Hehe. Terimakasih kak sudah mau mampir dan memberikan jejak. :) senang bisa menyapa kakak. :)
Wah nulisnya pelan dan kerasa teduh ya
Saran Flash Fiction