Kamu seorang pegawai bank yang hidupnya biasa-biasa saja. Kamu tidak punya cita-cita yang tinggi, tidak punya hobi yang menarik, dan tidak punya pacar yang cantik. Kamu hanya menjalani rutinitas harian yang monoton: bangun, mandi, sarapan, kerja, pulang, makan, dan tidur. Kamu tidak pernah merasa bahagia, tapi juga tidak pernah merasa sedih. Kamu hanya merasa kosong.
Suatu hari, kamu mendapat undangan dari teman lamamu, Andi, untuk menghadiri reuni SMA. Kamu ragu-ragu, karena kamu tidak pernah berhubungan dengan teman-temanmu sejak lulus SMA. Kamu juga tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan, tapi kamu akhirnya memutuskan untuk pergi, dengan harapan bisa menemukan sesuatu yang baru dalam hidupmu.
Di reuni, kamu bertemu dengan banyak teman lama yang sudah sukses dalam karir, bisnis, atau keluarga. Kamu merasa minder dan canggung. Kamu mencoba untuk bersikap ramah, tapi kamu merasa tidak punya topik pembicaraan yang menarik. Kamu hanya bisa mendengarkan cerita-cerita mereka yang penuh dengan kegembiraan dan kebanggaan.
Di tengah-tengah acara, kamu melihat seorang wanita yang duduk sendirian di sudut ruangan. Kamu mengenali wanita itu sebagai Luna, teman sekelasmu yang dulu sering di-bully karena gemuk dan jelek. Tapi sekarang, Luna, sudah berubah menjadi wanita yang cantik dan anggun. Kamu merasa penasaran dan ingin mendekatinya.
Kamu berjalan menuju ke arah Luna dan menyapanya dengan sopan, “Hai, Luna. Apa kabar? Lama tidak bertemu.”
Luna menoleh dan tersenyum. “Hai, Niko. Kabar baik. Kamu juga baik?”
Kamu mengangguk. “Baik-baik saja. Kamu sekarang kerja di mana?”
Luna menjawab dengan nada datar. “Aku sekarang jadi penulis. Aku sudah menerbitkan beberapa novel dan cerpen.”
Kamu terkejut dan tidak menyangka bahwa Luna yang dulu pendiam dan tidak percaya diri bisa menjadi penulis yang produktif. Kemudian kamu bertanya dengan antusias. “Wow, itu keren sekali. Aku suka baca novel. Novelmu tentang apa?”
Luna menatapmu dengan tatapan kosong. “Novelku tentang manusia biasa. Manusia yang hidupnya tidak ada warna, tidak ada tujuan, dan tidak ada makna. Manusia yang hanya menjalani hidup tanpa merasakan apa-apa. Manusia seperti aku dan seperti kamu.”
Setelah itu, kamu merasa tersentak. Kamu tidak menyangka bahwa Luna bisa mengetahui isi hatimu yang sebenarnya. Kamu merasa tersinggung dan marah. Lalu kamu berkata dengan nada dingin. “Kamu pikir kamu siapa? Kamu pikir kamu lebih baik dari aku? Kamu pikir kamu bisa menilai hidupku?”
Luna tidak terkejut dengan reaksimu. Dia sudah terbiasa dengan reaksi orang-orang yang membaca novelnya. Dia menjawab dengan tenang. “Aku tidak menilai hidupmu. Aku hanya menggambarkan hidupku, dan hidupku mirip dengan hidupmu. Aku juga seorang manusia biasa. Aku juga tidak merasakan apa-apa. Aku hanya menulis untuk melampiaskan kekosongan dalam diriku.”
Kamu tidak puas dengan jawaban darinya. Kamu merasa bahwa Luna sedang mengejekmu. Kamu berkata dengan nada sinis. “Oh, begitu. Jadi kamu menulis untuk melampiaskan kekosongan. Lalu, apa gunanya menulis? Apa yang kamu dapatkan dari menulis? Apa yang kamu harapkan dari menulis?”
Luna menatapmu dengan tatapan tajam. Dia berkata dengan nada tegas, “Aku menulis untuk mencari makna. Aku menulis untuk mencari warna. Aku menulis untuk mencari tujuan. Aku menulis untuk mencari diriku. Aku menulis untuk mencari cinta. Aku menulis untuk mencari kebahagiaan. Aku menulis untuk mencari hidup.”
Kamu terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Kamu tidak bisa memahami alasan dan tidak bisa mengerti perasaannya. Kamu tidak bisa menyentuh jiwanya. Kamu sadar bahwa kamu dan Luna adalah dua manusia yang berbeda. Kamu sadar bahwa kamu dan Luna adalah dua dunia yang berbeda. Kamu sadar bahwa kamu dan Luna adalah dua hidup yang berbeda.
Kamu berdiri dan berbalik, kemudian meninggalkan Luna tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kamu meninggalkan reuni tanpa mengucapkan selamat tinggal pada siapa pun. Kamu meninggalkan hidupmu yang biasa-biasa saja. Kamu meninggalkan dirimu yang kosong, dan meninggalkan manusia biasa.