Pelangi memberikan warna indah pada langit. Yang awalnya diselimuti awan kini bersinar kala cahaya menembus cakrawala. Dengan tujuh warna berbeda, mendefinisikan kecantikan pada tujuh ranah berbeda.
Kala itu, pelangilah yang menjadi acuan kehidupan kampus kami. Yang kami pikirkan, kami bisa bersama meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Membuat kami berharap mampu memancarkan keayuan dari tiap perbedaan kami.
Sayangnya, di situlah kami terpukul. Perbedaan kami nyatanya tak mampu memberikan perdamaian yang asri. Salah satu dari kami berusaha melepaskan diri. Apa daya pelangi tanpa warna ungu yang membarengi?
Namun, terlepas dari ketidaksempurnaan tadi, kami memilih tetap merekatkan lem pada tiap jarak yang terlihat. Kami kembali bersatu. Keceriaan dan tawa gembira tak luput dari tiap kebersamaan kami. Kami bahagia, setidaknya itu yang ada di dalam otak si penulis ini, karena pada kenyataannya, seerat apapun lem yang kami rekatkan, hujan badai menerjang pertahanan kami. Kebocoran yang mengalir perlahan tak diindahkan dan tercurah begitu saja tanpa satu orangpun mencoba mengerti.
Sudah jelek enam warna tadi, tiganya memilih membuat pelangi mereka sendiri. Hancur sudah visi kami sebagai pelangi yang memberikan keanggunan pada siapapun yang melihatnya, karena tiap-tiap dari mereka dapat merasakan kehancuran yang terjadi. Kami tak lagi indah, apalagi anggun. Kami hancur. Mau maju serasa egois, kalau dilepas terlalu sayang. Yah, apa boleh buat kalau hanya bisa memilih salah satunya, kan?
Maka dari itu, penulis hanya bisa berharap bahwasanya keegoisan yang kami bertiga ambil tak menyakiti pihak manapun. Hehe
Sampai di situ visi kampus kami saat menjadi buah kencur di taman hijau yang besar, walaupun misinya tak bisa mencapai keagungan harapan kami, tapi penulis tidak merasa menyesal telah mengenal siapapun di antara enam warna pelangi tersebut. Karena pada kenyataannya, kami hanya kelompok pelangi di dalam bumi yang mempunyai ribuan kelompok pelangi lainnya.
Oleh karena itu, penulis hanya berharap agar siapapun dari kami, atau bahkan yang membaca tulisan ini, mampu memahami bahwasanya sekuat apapun bertahan dari segala cobaan, kalau yang dipertahankan tidak mau merekat, melepaskan adalah opsi paling aman untuk tetap bertahan. Bertahan untuk diri sendiri bukanlah hal yang egois, kalau diri kita ikut hilang bersamaan dengan perginya mereka, bukankah kita rugi sendirian? Sudah hilang teman, hilang juga jati diri kita.
Tetap majulah walau sendirian, namun memang lebih baik ada rekan yang βmauβ membersamai. Contoh si penulis dan dua warna pelangi tadi yang masih bersatu, hehe. Kepada Aulia dan Jihan, terima kasih sudah bertahan! Si penulis amat sangat paham bahwa dirinya mungkin banyak mempunyai celah di warnanya, goyah di visinya, linglung di misinya, namun keberadaan kalian merekatkan retaknya celah di hatinya dan membuatnya sedikit lebih kuat dalam menjalani kehidupannya. Sehingga, si penulispun berdoa semoga kalian juga merasakan hal yang sama. Mungkin si penulis hanya menjadi bagian kelompok pelangi yang tidak selamanya akan bersama, dan mungkin kalian mempunyai kelompok-kelompok lain yang lebih berkesan, namun setidaknya penulis ingin kalian tahu bahwa si penulis bersyukur pernah menjadi bagian dari kalian.