Di Tepi Kawah Saweri

Telah aku putuskan. Aku siap dengan segala kemungkinan. Aku siap dengan segala kedukaan.

Demikian kata putus yang telah terajut kukuh di sanubari mengiringi langkahku meniti tangga ke tempat yang kurasa begitu tinggi. Langkah lelaki tua di depanku ini, sedemikian gontai, seakan napasnya lebih panjang berkali dari yang kumiliki. Tersengal dadaku di belakangnya, tangga demi tangga menuju Kawah Saweri.

"Mas benar telah yakin?" tanya lelaki tua itu di bawah tadi. Aku mengangguk. Aku telah puasa mutih 7 hari, puasa patigeni 3 hari, dan semua kulakukan setelah tunai puasa ngrowot 40 hari yang menjadi laku pembukaan permohonan. Tentu saja, hanya satu keyakinan yang tersisa di sanubari. "Jika Dewi Saweri nanti menghendaki, ada syarat dan pantangan yang mutlak diterima dengan luas hati. Mas harus mengerti!" penuh wibawa katanya lagi.

Aku harus melakukan sesuatu. Setelah semua yang kulakukan bertemu jalan buntu. Semua tabunganku habis setahun lalu. Dengan sangat terpaksa pula, rumah pun terjual mengikuti motor, mobil, perhiasan, dan lainnya, demi biaya pengobatan Nanda, anak semata wayangku yang divonis dokter mengidap Polycythemia vera.

Aku pun menerima saran seorang kawan di kantor untuk mencoba peruntungan di Kawah Saweri ini. Mungkin dengan jalan pesugihan, aku mendapat jalan keluar dari kebuntuan.

"Sekadar saran, Gus. Keputusan tetap di tanganmu. Aku sendiri tak mampu membantu jika harus menyeleseikan tagihan sejumlah itu." Bisiknya pelan, ketika ku minta bantuannya setelah pengajuan pinjamanku ke bank tak mendulang keberhasilan.

Aku tak segera menjawab. Keraguan melanda. Nasihat guru ngaji sewaktu kanak melintas segera. Pesan orang tua berjajar rapi membawa bendera peringatan. Namun, kesemuanya lenyap oleh bayangan selang-selang yang mengelilingi tubuh kurus nandaku dan mata sembab istriku yag tak putus dirundung air mata dan lelah jiwa-lelah raga.

"Aku... A..ku. Aku mau ke sana, Ndi. Antarkan! A-k-u s-i-a-p." jawabku akhirnya. "Tapi... Ini rahasia kita berdua." lanjut pintaku.

Hendi, teman kerja bersama belasan tahun itu mengangguk. "Kadang Tuhan memberi cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya." bisiknya lalu memelukku erat. Meski ada yang aneh dengan kalimatnya barusan, aku memilih diam.

"Cukup!" lelaki tua itu memberi tanda berhenti. Dengan napas tanpa irama, aku melihat ke sekeliling. Kawah Saweri nampak benderang di bawah sinar purnama.

Lelaki tua itu melipat tangan di dada. Kemudian, bibir coklat tembakau lelaki tua itu bergerak-gerak tak jelas suaranya. Mungkin doa-doa yang hanya mampu dihafal dan dimengerti kuncen sepertinya. Tak lama kemudian ia mengangkat lipatan tangannya ke atas. Lalu turun. Lalu naik ke atas lagi.

Tiba-tiba, dari tengah Kawah Saweri mengepul asap tipis. Aroma bunga Melati menyeruak kuat. Dingin udara gunung kian menambah pekat. Bulu kudukku pun meremang di antara sekian tanya; "Apa yang akan terjadi berikutnya?"

Sesosok perempuan di balut kain kuning terlihat di antara kepulan asap. Aroma Melati menyeruak lebih kuat lagi. Wajahnya tak terlihat jelas. Namun, ia seperti menggandeng seorang anak kecil. Seorang anak yang begitu begitu kukenali. Iya, anak kecil itu adalah Nanda. Anakku.

Aku terkesiap menatap wajah sedih Nanda. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu padaku tapi tak mampu. Ia hanya melambai. Lalu, wajahnya membiru. Tangan biru. Kaki biru. Sekujur tubuhnya menjadi biru. Dan, pendosa itu adalah aku.

Mojokerto, 9/12/22

2 disukai 3.2K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction