Pemilik Suara Merdu

Hari senin

Hiruk pikuk kesibukan kota jakarta sudah dimulai kembali. Setelah melewatkan hari libur di kampung yang asri. Aku menyapa jakarta dengan hati yang berat.

Beberpa hari lalu setelah mendengar suara indah, cantik yang tangannya di genggam oleh Zian membuat aku berpikir tak karuan, dan memutuskan untuk pulang ke Sumedang. Rasanya sangat nyaman. Ibu sedang asik menjemur baju terkejut melihatku pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, wajar saja, minggu lalu baru saja pulang kampung.

“Kenapa, pulang lagi, Ta?” tanya ibu sambil menghampiriku yang baru saja sampai dipelataran rumah.

“Aku kangen, Bu.”

***

Minggu lalu, aku membelikan perlengkapan rumah yang aku pesan dari perusahaan tempatku berkerja. Aku bekerja di salah satu perusahaan besar yang mengelola furniture rumah, dengan desain modern dari salah satu desain ternama asal Indonesia.

Barang-barang yang telah tersusun rapih di dalam rumah, menjadi saksi bisu antara aku dan Zian. Perjalanan Jakarta Sumedang menggunakan mobil barang minggu lalu menjadi kenangan yang terukir rapi dipikiranku saat ini. Tidak ada cela yang bisa aku lupakan, setiap kalimatnya sselalu terdengar ditelingaku saat berada di satu mobil yang sama.

“Gita, kamu perumpuan yang hebat, yang pernah aku kenal, perumpuan mandiri yang pernah aku temui, beruntung kamu deket sama aku, jadi aku bisa lindungi kamu dari segala keteledoran yang kamu sembunyikan ini.” Sambil melihat kearahku dan menunjukan gelas kopi yang aku pesan ternyata tumpah berserakan tepat disamping tanganku yang tidak sengaja menyenggolnya.

Tawa aku dan Zian sangat terdengar merdu, sangat akrab, dan pastinya aku merasa diistimewakan menjadi wanita yang deket dengan Zian. Seorang pria romantis, serta perhatian pada setiap situasi. Yaa, meskipun Zian terkenal dengan jiwa empati tinggi pada semua perempuan disekitarnya.

“Ini, Ian, Bu. Teman kantor Gita.” Ucapku memperkenalkan Zian.

“Maaf udah ngerepotin kamu anter perabotan ini, pasti Gita yang maksa kamu, ya?”

“Enggak, Bu. Ini memang saya yang menawarkan buat anter ke Sumedang, lagian sekalian silaturahmi, ketemu keluarga Gita, Bu.” Ujar Zian dengan nada sopan saat berbicara dengan Ibu, obrolan demi obrolan sudah tersampaikan, sampai akhir pembicaraan masih tetap sopan pada ibu.

Ibu, terlihat senang berbicara dengan Zian, sampai sore ibu masih saja mencari topik pembicaraan.

“Sudah sore, Ian. Nanti sampai Jakarta terlalu malem. ayo, kamu siap-siap.” Potongku sambil memberikan jaket coklat miliknya.

“Calon istriku kaya Gita pantes nggak, Bu.” Ucapnya sambil tertawa bertanya pada Ibu sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Apaan, sih.” Aku yang berusaha untuk tidak terlihat canggung segera bergegas pergi kembali ke kamar untuk mengambil ransel.

“Liat, Bu. Gita grogi. Gitaaa, ayo aku udah dimobil, nih.”

Perkataan itu melekat ditelinga dan pikiranku saat ini, sangat jarang aku memikirkan masalah perasaan, aku bukan tipe perempuan yang cepat jatuh hati. Tapi kali ini berbeda. Zian adalah pemenang pertama yang membuat perasaanku aneh. Berhari-hari aku ingin selalu bersama dengan dia, saat dikantor aku semakin sering main ke ruangannya untuk sekedar ngobrol santai dan mengajak makan siang bersama.

***

“Gita, boleh aku bicara sebentar?” pesan singkat aku terima dari Ian, beberapa menit yang lalu. 

1 disukai 3.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction