"Sahur! Sahur!"
Aku dan teman-teman yang mungkin berjumlah sepuluh orang berteriak semangat sambil memukul bedug yang didorong dengan gerobak. Beberapa temanku membawa alat sendiri seperti panci dan centong, sedangkan aku membawa kecrekan dari tutup botol soda yang digepengkan.
Kami biasa berkeliling ke beberapa RT, melakukan hal mulia selama ramadhan, yaitu membangunkan sahur. Meskipun tak jarang kami mendapat teguran atau teriakan.
"Kira-kira, dong! Baru juga jam dua!" Seorang ibu-ibu dengan wajah kuyu mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi.
Beberapa rumah bahkan melempar rombongan kami dengan sendal.
"Emang kenapa, sih? Makin pagi kan makin bagus," elak temanku.
"Makin berisik makin bagus!" Teman lain menimpali sambil tertawa.
Kami tidak peduli teguran-teguran itu dan terus menjalankan tugas mulia kami. Suatu hari masjid melarang kami membawa bedug, tapi itu bukan penghalang. Panci dan centong masih bisa membuat suara yang merdu. Jangan lupa teriakan kami yang aduhai ini.
Suatu hari, langkah kaki tanpa sadar membawa rombongan kami ke TPU besar, atau biasa kami sebut kober. Saat itu mungkin pukul tiga pagi, kami ragu-ragu melangkahi TPU tersebut. Selain terbawa aura merinding dari kabut di sekitar, juga merasa kurang sopan saja mengganggu jasad-jasad di situ. Akan tetapi, temanku malah mencibir.
"Alah kita kan rame-rame, masa takut lewat kuburan!" katanya sebelum terkekeh.
"Bukannya takut, kan nggak sopan."
"Gak sopan gimana? Ini kan pekerjaan mulia. Kalian aja setan-setan juga mau sahur, hahaha!"
Ada beberapa penyangkalan, tapi banyak juga yang menyetujui untuk masuk kawasan TPU. Sampai akhirnya kami pun masuk bersama. Mulanya seruan kami pelan, tapi si provokator kembali berulah. Berteriak sangat lantang sampai yang lain pun meniru.
Belum ada beberapa langkah. Rombongan kami mendadak berhenti. Barisan paling depan membeku, menyebabkan macet di sisa rombongan.
"Hey, kok berhenti?"
"Lanjut terus!"
Namun, tidak ada jawaban dari baris depan. Mereka membatu dengan kepala terdongak jauh. Aku pun ikut mendongak, penasaran dengan apa yang membuat mereka ternganga dengan wajah pucat begitu. Detik berikutnya wajahku pun ikut memutih, kelopak mataku melebar beberapa mili.
Kami dicegat oleh benda serupa pohon, tapi itu jelas bukan pohon. Warnanya putih keruh, menjulang sangat tinggi sampai seolah mmyentuh bulan. Entah bagaimana rupanya, karena kepalanya saja tidak terlihat. Sekonyong-konyong sosok itu berbalik dan merunduk, membuat kami semua serempak berteriak sekencang-kencangnya dan berhamburan ke segala arah.
Aku sendiri berlari ke sisi berlawanan, memacu kaki sekencangnya. Masa bodoh dengan teman-teman, atau pekerjaan mulia kami. Aku hanya ingin pulang, cuci muka, dan bersembunyi di kasur. Alat-alat dapur pun bergeletakan di sepanjang jalan menuju gerbang TPU, dan tidak ada yang mau mengakui milik masing-masing.
"Loh, nggak bangunin orang sahur lagi?" tanya ibuku keesokan harinya.
Aku menggeleng mantap. Tidak akan lagi selama-lamanya.