Salah - Benar?

Di depan ruangan yang biasanya, Gurunda di sana dengan sikap duduk bersila. Setiap sore atau menjelang malam, beliau bermeditasi. Ulas wajah yang sempat kuintip tanpa beliau tahu -kurasa beliau tahu kalau aku mengintip dan memerhatikan wajahnya berkali-kali disaat beliau bermeditasi-, selalu begitu rupanya disetiap meditasinya. Tersenyum dan tak begitu tegang sebagaimana Ranula yang kerap mimik wajahnya berubah-ubah sesuai dengan apa yang telah didapatnya.

Pagi setelah sarapan talas dan daun singkong yang hanya direbus lalu diberi sedikit garam, aku berusaha mendekati Gurunda dengan hati-hati -padahal aku tahu sekali, Gurunda mengerti apa yang hendak kutayai. Baru mendekatinya perlahan-lahan, malah beliau beranjak dari duduknya. Barangkali, ini belum waktunya, aku membatinnya.

Pagi kedua setelah pagi kemarin. Hal yang sama telah terjadi. Kembali kuberkata dalam diri dengan perkataan yang sama di hari pertama. Gurunda tersenyum sendiri tak melihat apa-apa sembari membetulkan kain yang dikenakannya di salah satu bahunya.

"Gurunda."

Tetiba saja, Gurunda berhenti dan membalikkan tubuhnya.

"Apakah saya boleh bertanya?"

Dianggukkan kepalanya.

"Mengapa setiap kali Gurunda bermeditasi, selalu yang tampak adalah wajah sumringah? Meskipun agaknya itu sempat membuat air mata Gurunda keluar? Bahkan juga sampai tersedu dibuatnya, Gurunda tetap saja tersenyum, dengan mimik wajah yang sumringah. Tidak dengan mimik sedih semacam berbela sungkawa ataupun lainnya?"

"Untuk apa terlalu menjiwai. Untuk apa terlalu terbawa suasana, Nak. Yang terjadi akanlah terjadi, cepat ataupun lambat. Untuk apa terlalu menjiwai. Untuk apa terlalu terbawa suasana. Kalau saja kau tak bisa berbuat apa-apa. Untuk apa terlalu menjiwai. Untuk apa terlalu terbawa suasana. Bilasaja kau mengumbar kesemuanya itu, sedangkan kau diminta untuk berdoa dan waspada saja enggan, bahkan kadang kau dan Ranula menyepelehkan. Apa yang terlihat, setidaknya bisa menjadi sesuatu hal yang baik untuk kita. Bukan malah diperbincangkan ulang berulang dan menerus, bukan malah dipertontonkan, apalagi hanya ingin mendapatkan apa yang kau inginkan atas semua yang telah kau dapat. 

"Terlebih lagiii ..., keenggananmu tuk berdoa, mawas diri, dan menjalankan tugas -jikapun itu kau diberi tugas disaat apa yang kau lihat itu telah dan sudah terjadi."

"Jadi tidakkah boleh kita menjiwai? Sebab terkadang itu terjadi dengan sendirinya, tanpa kita buat-buat, Gurunda."

"Tidak ada yang melarang, lagipula itu juga hak setiap orang. Kau boleh melakukan apa yang menurutmu baik. Tetapi, Nak. Tanyalah pada bagian ini." Gurunda menunjuk ke arah dadaku. "Tanyalah kepadanya, apa kiranya yang kau anggap benar itu memang sudah benar? Jika kau tak menemukan jawabannya, kembalilah bertanya padanya.

"Tidak ada yang benar sepenuhnya ataupun salah sepenuhnya di dunia ini. Tinggal bagaimana perkara didudukkan; dan kedua mata yang pandai menilai; serta hati yang lihai membela lantaran ada hubungan keterdekatan." Beliau mendekatiku lebih dekat. Berbisiklah beliau, "Sebab benar dan salah itu hanya milik golongan tertentu saja yang tak akan pernah dimiliki oleh golongan waisya dan sudra."

-Selesai-

2 disukai 1 komentar 5.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Good 👍❤️
Saran Flash Fiction