Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak bertemu lagi dengan ibumu malam itu. Mungkin aku akan kehilangan ibumu lagi untuk yang kedua kalinya. Mungkin aku akan menyesal dan mencoba menutupinya dengan menikahi perempuan yang, secara garis besar, persis seperti ibumu. Tapi dia bukan ibumu. Dan, aku akan tetap melakukannya.
Aku tidak ingin itu terjadi padaku. Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti yang aku lakukan saat sekolah dulu. Lari tergopoh-gopoh saat ibumu bertanya apakah aku baik-baik saja setelah menangkap basah diriku tengah memandanginya di hari terakhir kami sekolah di sana. Ya. Hari perpisahan. Sangat tragis dan memalukan.
Jadi, malam itu, saat aku melihat ibumu tengah duduk sendirian di samping gerobak nasi goreng sambil memperhatikan jalanan yang lengang, aku menghampirinya.
Aku masih ingat betapa dinginnya kedua tanganku saat menyapanya. Juga detak jantungku yang menggila saat ibumu tersenyum dan menyebutkan namaku. Lalu ibumu menepuk kursi plastik kosong di sebelahnya dan membuatku duduk di sana. Sedetik kemudian, aku mendapati diriku tengah asyik membicarakan banyak hal dengan ibumu. Pekerjaan, mimpi, hidup itu sendiri.
Aku tahu ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan, tapi, saat itu juga aku tahu kalau ini yang aku inginkan. Bersamanya. Tidak setiap saat. Tapi selamanya. Bahkan setelah tahu aku harus meyakinkan ibumu bahwa menikah itu tidak seburuk yang dia pikirkan tanpa menyebutkan menikah itu tidak seburuk yang dia pikirkan, aku masih menginginkannya. Itu menakjubkan. Hatiku terasa hangat setiap kali mengingatnya.
Empat tahun berlalu dan di sinilah kita sekarang. Bermain di halaman belakang sementara ibumu tengah sibuk menyiapkan makan malam.
Oh lihat! Ibumu baru saja tersenyum dan melambaikan tangan.
Aku tahu. Kau masih terlalu kecil untuk bisa menyimak dan mengerti. Bukan berarti aku akan berhenti menceritakan kisah ini padamu. Aku akan tetap menceritakan kisah ini padamu agar kau tahu betapa beruntung dan bahagianya aku memiliki kalian berdua dalam hidupku.