Kuning Langsat

Selamat datang di kompetisi kecantikan ...

Semua mata terfokus pada gadis cantik di depan sana, begitu memukau penampilannya.

“Cantik banget sih.” Laura terpesona. 

“Ra, balik aja deh!” rengek Khafifa yang mulai tak nyaman.

“Enggak!” tolak Laura, “Kita baru aja sampe, Fi. Masa udah mau balik!”

“Bukan gitu, Ra.”

Laura menatap Khafifa, “Lo Lo tau kan, gue—“

“Biar apa sih Ra?”

“Fi! Lo gak ngerti!” geram Laura, “gimana entengnya cowok yang bernama Juan Ananda itu terur-terusan ngeledek gue dengan sebutan kuning langsat? Lo gak bakalan ngerti itu.”

“Terus lo denger dia?” 

Laura diam sejenak, lalu, “Iya. Gue harus putih dan setelah itu dia gak bakalan ejek gue lagi.”

Khafifa menghela napas pelan. Kejadiannya sudah dua minggu lalu, tapi baru sekarang Laura ingin beraksi dan membalas perkataan Juan waktu itu. 

“ Mau temenin gue, atau mau balik?” ketus Laura. 

“Oke, gue di sini, temenin lo.”

 Kemudian Laura berjalan menuju stand pameran di ikuti Khafifa. Sejumlah skincare yang ampuh banget memutihkan wajah.

“Halo ... selamat datang,” sambut cewek cantik dengan rambut panjangnya. 

“Halo, Kak. Mau liat dulu boleh?” tanya Laura pelan, takut langsung membeli produknya sedangkan uang di dompet tidak memenuhi. 

“Silahkan, boleh di beli juga gak apa-apa.”

Laura hanya tersenyum kikuk, Khafifa pun ikut melihat-lihat produknya.

“Gue beli yang mana, Fi? bisik Laura. 

“Yang cocok sama wajah lo, lah,” balas Khafifa.

“Pasti cocoklah!” tukasnya, “asalkan kulit gue cepet putihnya.”

Sekali lagi Khafifa menghela napas, “Terserah! Yang penting lo—nya seneng.”

“Makasih, Fi. Lo emang selalu dukung apapun yang gue inginkan. Tapi—“

“Tapi?”

 “Jangan bilang, Mama,” katanya. 

 Khafifa mengangguk, “Oke mah kalo itu.”

“Yey!” seru Laura.

“Yang ini berapa, Kak?”

“Satu paketnya ya, Dek? 

“Mahal gak, Kak?”

“Satu paket tiga ratus ribu.”

Buset! Tapi gak apa-apa deh, sekali-kali! Batin Laura. 

“Oke, yang ini aja ya, Kak,” kata Laura, sembari mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu.

Kakak cantik itu menerimanya, “Terima kasih, ya.”

“Iya, Kak.”

***

Sudah tiga jam Laura menangis, moodnya hancur, kepalnya sakit dan kecewa. 

“Mama sudah telepon Fifa, dia datang setelah pulang sekolah.”

“Kenapa di telepon. Laura malu, Ma ....”

Mamanya mendekat lalu duduk di bibir kasur. Laura hendak bangun, namun di tahan oleh mamanya. 

“Mama tau kamu butuh teman curhat.”

“Jangan diulangi, ya. Kamu anak Mama yang paling cantik dan baik, mau bagaimana pun versinya.”

Lia mengusap air mata Laura, anaknya itu benar-benar menyesal. 

Tok—tok ...

“Assalamualaikum, Tante, Ra.” Khafifa muncul di balik pintu.

“Fifa sudah datang, Mama pamit ke dapur dulu.”

“Iya, Ma.”

“Duduk Fi,” suruh Laura.

“Hmmm, itu masih sakit?” tunjuk Khafifa pada wajah Laura yang bengkak, matanya bahkan sangat sipit. 

“Masih, Fi. Lo mau ketawa, ya?”

“Enggak, Ra.”

Laura meunduk. 

 “Gue cuma kecewa. Hanya karena Juan, lo sampe ngerusak wajah sendiri. Asal lo tau, Laura itu cantik, pinter, baik, manis. Cuma lo gak sadar itu Ra. Lo Gak percaya sama diri lo ....”

“Maaf, Fi. Gue emang goblok, bego.”

“Lo gak bego, Cuma khilaf aja. Gak ada manusia yang sempurna, Ra. Cukup dengan ini, lo harus ambil hikmahnya. Kita cantik dengan versi kita sendiri. Bukan menolak kritik, tapi buang yang buruk dan ambil yang baiknya, yang bisa buat elo melihat diri sendiri.”

Laura mengangguk, memaksa dirinya untuk duduk, ia menangis lalu mendekap Khafifa. 

“Makasih, Fi. Gue janji. Gak bakalan lagi, dan kata dokter skincarenya aman kok, emang gak cocok aja sama muka gue.”

“Nah, itu.” Laura tersenyum. 

“Ou, ya. Gue sampe lupa, sebenarnya ada satu lagi temen kita di luar.”

“Siapa?”

“Rahasia, gue keluar dulu.”

“Siapa sih? Kenapa juga lo harus keluar?”

“Ya, karena harus.”

“Bikin penasaran aja, deh!” decak Laura saat Khafifa keluar kamarnya.

Pintu kembali terbuka, dan menampilkan sosok Juan. Detak jantungnya girang menyambut, tapi tidak dengan kilat matanya. 

“Sory, udah dateng tanpa lo undang.”

“Terus ngapain dateng?” Laura tak berniat menatap wajah Juan yang ganteng itu. 

“Gue—“

“Oh! Lo mau ketawain gue, ya? Mau ejek gue lagi dengan sebutan CEWEK WAJAH BENGKAK KUNING LANGSAT! Silahkan!”

“Laura!” 

“Apa!?”

“Lo salah paham!”

“Terus?”

“Gue cuma mau minta maaf sama, Lo. Bukan ketawain lo!”

Laura diam, orang akan datang minta maaf setelah kejadian. 

“Lo gak salah, bukan lo yang buat wajah gue bengkak. Jadi lo gak perlu minta maaf.”

“Gue minta maaf bukan karena wajah lo bengkak, tapi karena gue emang ngerasa salah dari dulu,” kata Juan, “Jasmine emang cewek terputih di kelas, tapi lo cewek termanis dan paling cerdas di kelas. Dan gue kagum itu, Laura.”

“Terus kenapa lo selalu cari masalah dengan gue!?”

“Gue—“

“Sedangkan lo katanya kagum?”

“Karena gue mau dapat perhatian lo, Ra. Dengan gue cari masalah, lo makin perhatian sama gue, maki-maki gue—“

“Berat kata-kata lo, Ju,” sela Laura, “biar apa?” 

“Biar lo liat gue.”

“Kenapa gue harus liat lo?” heran Laura. 

“Karena gue suka lo, Laura!”

Laura kembali terdiam. Semua kata-kata Juan ia cerna dengan baik. Bukannya menghindar, sejak dulu Laura sudah membaca garak-gerik Juan, hanya saja ia memilih pura-pura tidak tau. 

“Sahabat jauh lebih baik, Ju.”

“Kenapa, Ra? Lo gak suka sama gue?”

“Gak gitu, Juan. Gue harus bilang sesuatu sama lo.”

“Lo mau bilang apa?” Juan mendekat mengsejajarkan dirinya dengan Laura. 

“Fifa, suka sama lo, jauh sebelum lo suka sama gue.“

“Terus lo suruh gue suka sama dia?” marah Juan, “kalo iya, maka jawaban gue gak mau!”

“Kenapa Juan, Fifa baik cantik—“

“Tapi gue gak suka.”

“Tapi Fifa sahabat gue.“

“Gak ada urusannya sama gue, Ra. Lo tau apa paling ngeselin dari perasaan?”

“Apa sih?”

“Saat lo di suruh suka sama orang lain, dan yang nyuruh lo adalah seseorang yang lo suka.”

“Ya udah, kita sahabatan aja.”

“Ra—“

“Hargain keputusan gue.”

“Tapi, Ra—”

“Juan, please ...,” Mohon Laura menatap mata Juan. 

“Ra, lo nyiksa gue,” ucap Juan tak terima. 

“Kita masih bisa temenan, gue lo dan Fifa.”

“Oke!” keduanya mengaitkan jjari kelingking. “Asal gak lagi pake skincare yang gak cocok sama lo. Dan mulai sekarang lo harus senyum, gak jutek lagi sama gue. 

Laura mengangguk, “Janji.”

“Gue bohong kalo lo jelek, lo cantik banget kok.” Laura tersipu lalu menutup wajahnya dengan bantal. 

2 disukai 5.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction