Detektif Ralim ditugaskan untuk menyelidiki, siapa pembunuh sadis di rumah nomor 11A. 5 orang dalam satu keluarga dibantai tanpa belas kasihan. Darah bersimbah dari ujung pintu depan hingga ujung pintu dapur. Sadis dan tanpa ampun. Hanya ada satu yang selamat. Namanya Abel, seorang anak perempuan berumur 10 tahun.
"Abel manis. Benar kamu tidak melihat siapa pembunuhnya?"tanya detektif Ralim dengan wajah semanis mungkin. Abel menggeleng pelan. Wajahnya tertunduk seolah penuh kesedihan dan penyesalan. Menyesal karena ketika kejadian itu terjadi dia tidak melihat siapa pembunuhnya.
"Saat itu, aku baru saja menceritakan sebuah cerita buatanku sendiri. Dan lalu, karena seluruh isi rumah tidak menyukai ceritaku, akhirnya akupun marah dan memilih pergi keluar rumah. Aku menangis di halaman belakang karena sedih tidak ada yang suka dengan cerita buatanku, Om." Abel menjawab dengan lengkap. Matanya masih sembap.
"Maaf Pak! Sebaiknya jangan ganggu dulu Abel. Kasihan dia,"kata seorang suster yang ditugaskan menjaga si Abel yang malang.
"Suster! Bolehkah, aku melihat sekali lagi jenazah keluargaku di ruang mayat?" tanya Abel.
"Boleh. Ayo! Aku temani."
Sesampainya di ruang mayat. Di depan semua janazah keluarganya Abel berkata, "Kalian seharusnya suka dengan ceritaku."
Suster yang mendengar perkataan itu sedikit bingung dengan kata-kata Abel. Namun tanpa mereka berdua sadari, Detektif Ralim sedari tadi mengikuti mereka dari belakang.
"Benar sayang, seharusnya mereka suka dengan ceritamu, agar waktu itu kamu tidak pergi. Dan bisa ikut berbaring di salah satu ranjang mayat itu," kata Detektif Ralim sambil tersenyum.