Hewan Ternak

Semilir angin berhembus di wajahku seraya aku mengikatkan rambut yang terurai. Ayah yang berjalan di sampingku menatapku terus-menerus dengan matanya yang sendu. Ia terlihat seperti orang yang berbeda dibanding saat aku bersamanya di rumah.

"Ada apa, Yah?" aku bertanya sambil berjalan menatapnya balik.

"Nggak apa-apa. Kamu..." Ayah menatapku dari atas ke bawah, "sudah cukup dewasa yah."

Aku mengangguk mantap. Tentu saja! Sebagai anak paling tua di rumah dari keempat adikku yang ada, hanya aku yang sudah sangat dewasa baik secara sikap maupun usia. Bahkan Kira, adikku yang paling tua saja masih terpaut lima tahun dibanding aku yang sudah berumur 20 tahun.

Keluarga kami memang tidak punya ibu. Kami hidup di desa terpencil di gunung di mana aku sendiri bahkan tidak pernah melihat orang lain selain keluargaku. Namun, kami bisa hidup mandiri. Kami beternak ayam dan mempunyai kebun sayur. 

Namun, hanya Ayah saja yang setiap hari mengurusi kebun dan kandang ayamnya. Sebagai anak sulung, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk membantunya. Tetapi, Ayah selalu menolakku membantunya banyak-banyak.

"Akan membuatmu lelah," katanya waktu itu ketika sapuku diambilnya. Ayah memang seperti itu. Semuanya ia yang mengatur. Kami, anak-anaknya hanya dibiarkan bebas, bersenang-senang dan bermain setiap hari. Tidak pernah ada stres dalam diri kami.

Aku sendiri waktu itu merasa agak janggal. Namun, kejanggalan itu hilang ketika aku diminta Ayah untuk ikut dengannya hari ini. Katanya aku sudah siap, aku sudah cukup dewasa untuk memikul tanggung jawab. 

Ayah tidak memberitahuku ke mana kita akan pergi. Tetapi, seraya kita berdua semakin menjauh dari desa dengan berkuda, aku mulai melihat sebuah bangunan besar dikelilingi oleh tembok tinggi. Kuda kami melambat dan kami turun untuk masuk ke dalamnya.

Ketika aku melihat ke dalam, sebuah pemandangan yang horor terlihat jelas di depanku. Orang-orang seumuranku sedang dipenggal kepalanya oleh sebuah makhluk dengan dua tanduk dan satu benih di kepalanya. Orang yang sudah dipenggal itu lalu diberi cap nomor dan digeser untuk selanjutnya dikuliti dan dibungkus. 

Di sebelah kiriku, beberapa perempuan seumuranku sedang mengejan dan melahirkan dengan kaki mengangkang. Bayi-bayi yang keluar dari mereka kemudian digeser oleh mesin untuk dimasukkan ke dalam boks-boks seolah mereka adalah barang.

Ini adalah pabrik. Dan kita manusia, adalah hewan yang diternakkan untuk kemudian diambil sebagai makanan.

"Siapa ini?" salah seorang pekerja bertanduk dua itu mendatangi aku dan Ayah.

Ayah menyerahkan diriku kepada orang itu. "Spesimen bagus, untuk melahirkan banyak bayi. Umur dan badannya sangat proporsional."

Pekerja bertanduk itu memandangiku dari atas ke bawah. Ia lalu membawaku paksa ke suatu ruangan di mana aku mungkin akan dipaksa juga untuk melahirkan bayi-bayi seperti perempuan-perempuan tadi. 

Seraya diseret, aku memandang sekilas ke Ayah dan melihat tatapan matanya yang masih menunjukkan kesedihan. Aku pun hanya bisa pasrah. 

Di dunia, kami manusia hanyalah hewan ternak untuk dikembangbiakkan menjadi makanan oleh makhluk-makhluk tak berbudi ini.

1 disukai 1 komentar 5.4K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Salut ada yang mengangkat tema ini
Saran Flash Fiction