Suatu ketika, saat aku masih duduk di bangku SMA, aku jatuh hati pada seorang gadis. Ia teman sekelasku. Seseorang yang hanya menganggapku sebagai sahabat. Suatu ketika, pada detik-detik menjelang kelulusan, ia menyampaikan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pengusaha muda. Keluarganya telah merancang itu jauh-jauh hari.
Kabar itu membuatku terpuruk dan patah hati. Berhari-hari aku memikir itu semua. Membuatku susah belajar, sedangkan ujian sekolah akan berlangsung dalam hitungan hari. Suatu malam, aku menangis dan memberanikan diri untuk menceritakan itu semua kepada ibu. Ibu tertawa, mencium keningku, lalu berkata, “Cinta itu hanya bunga-bunga, Nak!”
Aku menidurkan kepalaku di pangkuan, ibu. Kelak, aku akan menyadari, pangkuan yang nyaman seperti itu, di dunia hanya ada satu: pangkuan ibu.
Ibu mengelus kepalaku sesekali, sambari berpetuah, “Kau tahu, Nak, bunga itu ada macam. Yang pertama adalah bunga-bunga yang hanya indah rupanya, harum aromanya, tapi umurnya pendek. Bunga seperti itu seringkali sangat menggoda, kelopaknya adiwarna, berseri, menarik banyak serangga. Tapi percayalah, bunga itu tak bertahan lama, keindahannya, aromanya, semuanya akan lekas pudar, terlebih bila ia dipetik sebelum waktunya. Ia akan layu di jambangan, mengering dan tak menarik lagi. Ibu menyebutnya sebagai bunga semu.
“Nah, bunga yang kedua adalah bunga-bunga yang rupanya tidak terlalu elok, seringkali kelopaknya mungil, dan aromanya kurang semerbak. Bunga-bunga seperti itu lebih telaten memunculkan putik. Dan serangga juga mendatanginya. Sebab, beberapa serangga memang tercipta untuk mendatangi bunga. Bunga yang seperti itu akan bertahan cukup lama, dan ketika kelopak-kelopaknya yang mungil gugur, ia akan merawat sang putik, sampai putih itu menjadi buah yang kelak menumbuhkan biji yang akan menjadi benih pagi pohon-pohon baru. Itulah bunga yang sebenarnya.
“Sekarang kau bisa sedikit merenung, mencoba memahami, kau sedang mendatangi bunga yang mana? Percayalah, Nak, seiring usia, kelak, ketika kau menjadi dewasa, segala hal akan berubah. Dan cinta, ia hanya bagian dari kehidupan. Seperti bunga-bunga, ia hanya bagian kecil dari alam. Kau boleh merenungkan itu. Ibu akan erebus air sebentar. Ibu akan menyiapkan kopi buat bapakmu!”
Sosok ibu beranjak dari hadapanku menuju dapur. Di dapur, aku melihat bapak sedang menurunkan tabung penyemprot hama, ia baru datang dari kebun. Tubuhnya beraroma kebun. Ia berbincang tentang bunga-bunga tomat dan mentimun yang mulai mekar di kebun kami. Ibu membalas ujaran bapak dengan renyah. Bunga-bunga yang ibu bicarakan, aku melihatnya dengan terang. Di dapur kami. Di rumah kami.***