Beban Orang Tua

Dara berusia 17 tahun itu meletakkan smartphone miliknya seusai membuka tautan website yang menginformasikan pengumuman pemenang. Nama Putri Iswari tidak tertera dalam daftar pemenang.

Empat kali, lima kali, bahkan belasan kali kegagalan, mungkin masih sanggup ia mengampuni dirinya sendiri. Tapi sekarang, entah sudah yang keberapa kalinya.

Menuangkan emosi, imajinasi, dan pengetahuan melalui tulisan adalah passion Iswari. Ia menyadari bahwa bakat dirinya adalah menulis. Dan bakat itu selalu ia asah dengan penuh semangat. Tapi nyatanya, ia selalu gagal dalam kompetisi menulis.

Iswari mengusap air matanya. Menangis? Tentu saja. Iswari mengambil smartphone, memasang earphone, membenamkan diri di kasur, dan mencari lagu sedih. Mendengarkan lagu sedih di saat sedih adalah favoritnya.

Iswari melirik poster J. K. Rowling yang ia tempel di dinding kamarnya. Tokoh inspiratif favoritnya. Ia kembali mengingat kisah penolakan yang dialami oleh penulis terkenal di dunia itu.

Apa kisah itu benar? Bagaimana bisa karya luar biasa milik J. K. Rowling ditolak? Apa ia berbohong hanya untuk meyakinkan mereka yang gagal bahwa suatu saat keberhasilan akan mereka raih? Buktinya, tidak berlaku bagi Iswari yang sudah gigih berusaha.

Di kala merasa terpuruk, pikiran negatif selalu menjelajahi. Kali ini Iswari sudah tidak percaya diri. Air mata semakin mengucur deras seperti derasnya hujan yang mengguyur kota sore itu.

Saat ini ia sudah tidak tahu bagaimana cara untuk membanggakan orang tua. Selain mengikuti kompetisi karena ingin karyanya diabadikan, Iswari juga mengharapkan hadiah kompetisi berupa uang tunai dengan nominal yang menggiurkan. Tentu orang tuanya akan bangga jika angan itu menjadi kenyataan.

Smartphone yang sudah menunjukkan penurunan performa, dan ketidaksengajaan mendengar percakapan kedua orang tua yang tengah gelisah memikirkan biaya UKT kakaknya, membuat Iswari bekerja keras dalam berkarya agar bisa menghasilkan uang. Tapi nyatanya, tidak ada buah dari hasil kerja kerasnya.

💎💎💎💎

Keheningan pecah ketika ibu mengetuk pintu kamar Iswari.

"Masuk aja bu," sahut Iswari. Ibu memasuki kamar Iswari sambil membawa sepiring pisang goreng.

"Hujan-hujan enak nih makan pisang goreng hangat," ujar ibu. "Loh, kenapa nangis?" Tanya ibu khawatir.

Iswari yang sudah tidak bisa menampung kesedihan seorang diri, akhirnya menceritakan semua kepada ibu.

"Maaf ya bu, Iswari belum bisa buat ayah sama ibu bangga. Maaf Iswari membebani ibu sama ayah," ujar Iswari sambil terisak. Ibu tersenyum dan membelai lembut kepala Iswari.

"Nak, di usia sekarang ini, kamu sama kakakmu masih tanggung jawab ibu sama ayah. Kamu jangan pusing mikirin yang lain. Biar ibu sama ayah aja. Tugas kamu sama kakak hanya belajar. Ibu sama ayah menyekolahkan kalian, bukan untuk mengharuskan kalian supaya punya pekerjaan bagus atau jadi orang kaya. Tapi supaya kalian menjadi manusia yang berilmu, bertanggung jawab, dan yang terpenting, punya attitude yang baik."

Ibu mengambil smartphone Iswari. "Membelikan ini juga tanggung jawab orang tua. Tanpa smartphone, gimana cara kamu hubungi keluarga kalau ada apa-apa di luar sana?"

Iswari semakin tersentuh mendengarnya.

"Dan ingat ini. Kamu bukan gagal. Tapi ini proses menuju keberhasilan. Kamu tahu? Thomas Alva Edison berproses sebanyak 999 kali sebelum akhirnya dia menemukan bola lampu. Dan ibu yakin, kamu juga bisa."

Iswari memeluk ibu. "Tunggu ya bu. Nanti pasti ibu bangga sama Iswari."

6 disukai 5.3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction