Disukai
1
Dilihat
6,731
Youth Stride
Romantis

... Aku berlari. Aku sudah berlari lebih dulu. Bahkan lebih dulu sebelum dia dan diriku menyadarinya sekarang ini. Aku tidak pernah menyatakan, hanya memikirkannya. Aku tak pernah mengharapkan, hanya mengangankannya. Apa yang kulihat, hanya aku yang melihat. Apa yang dia lihat juga, hanya dia yang melihat ...

 

Ia menggerakkan seluruh ototnya, demi menyamai langkah juga gerak kawan-kawannya. Rambut panjangnya yang sudah ia ikat kuncir pun terkadang masih mengganggu rasanya di leher dan wajah. Tetapi, ia tetap berlari.

Keseharian, setelah keseharian yang lain. Ia berlari mengitari lapangan di sekolahnya untuk terus mencoba mengetahui dirinya sendiri. Soal orang lain dan lain, itu akan datang pada dirinya sendiri.

Namun, tetap saja. Ia memiliki pandangan lain terhadap satu yang menyamai dirinya sendiri baginya. Ia terus memandang meski tak tentu dipandang. Ia terus berlari, meski tak juga bersamanya. Ada kalanya, ia pun terjatuh!

“Aduh!” serunya ketika ia menelasar tanah dengan tubuh dan wajah. Secara memalukan mengotori pakaiannya.

“Ruri!”

Yang lain pun ikut terhenti, menjatuhkan pandang pada dirinya yang terjatuh. Dengan khawatir, beberapa mendatanginya. Meski begitu, ia tetap berusaha bangun dengan dirinya sendiri di tanah.

“Kau tidak apa-apa?”

Pada yang pertama bertanya itulah, dia mengalihkan matanya. Padanyalah ia menerima malu sendiri. Padanyalah, ia mengangankan sesuatu yang menurutnya penting. Meski untuk beberapa waktu hal itu tak akan muncul dengan mudah.

“Ya, aku baik. Aku baik.”

Tiba-tiba, seorang lagi mengahampiri dan memberikan sebuah cambukan yang menyadarkan. Dia berujar, “Baik gundulmu! Dengkulmu berdarah tahu.”

Satu lagi datang dengan panik, hanya kali ini ia memiliki kuncir yang lebih pendek dari dirinya.

“Ruri, ya ampun, kau kenapa sih? Tidak biasanya kau terjatuh begini.”

Meski diberikan sebuah perhatian yang wajar atas nama persahabatan, dia tidak bisa membalas dengan baik. Terutama, untuk waktu belakangan ini.

“Sebaiknya, kita membawa Ruri ke UKS sekarang. Fuyuto, kau tolong awasi larinya anak kelas satu ya. Aku dan Miya akan membawa Ruri ke—“

“Tidak perlu, Ken. Aku bisa sendiri.”

Dengan sabar mencoba menolak, ia juga berusaha melawan sakit yang entah kenapa baru ia sadari menjalar di kesadarannya. Ia bangkit, dan segera menyeret langkah cerobohnya ke tempat yang seharusnya.

“Tapi, Ruri...”

“Tidak apa-apa. Mengobati luka, aku bisa sendiri kok.”

Meyakinkan, meski sebenarnya dirinya sendiri yang berharap untuk diyakinkan. Ketika ia menyadari bahwa mereka benar-benar tak menunjukkan sikap keras kepala, ia memberikan senyum demi menutupi sedikit bercak kesedihan di hatinya.

Tidak berubah, atau mungkin benarnya masih belum berubah. Apa yang ia punya sekarang masih ia sembunyikan. Meski pada titik-titik tertentu, ia mulai tak bisa menahannya. Sebenarnya, apa?

“Fuyuto, bisa kau pergi ke UKS dan melihat kondisi Ruri?”

“Bukannya lebih baik kau sendiri...”

“Apa?”

“Bukan apa-apa, Pak! Kalau begitu aku permisi...”

Sanjou Ruri, ia sudah memiliki rasa terhadap teman masa kecilnya Yazawa Ken. Ia tak bisa menyadari perasaannya sendiri hingga masuk jenjang SMP. Tapi bahkan setelah ia menyadari apa yang selalu membuat lelah hatinya, ia tak pernah memiliki secuil keberanian untuk menyampaikannya.

Di sisi lain, setelah masuk SMA, hatinya kembali semakin bergejolak. Tanpa ia sadari, sahabatnya, Aimori Miya, telah terpikat hatinya oleh Ken. Meski sebagai sahabat, mereka tetap menyembunyikan kebenaran perasaan itu sama lain.

Orang yang memberikan informasi kepada Ruri adalah salah satu temannya Ken, Nanri Fuyuto. Setelah mendengarnya, Ruri membuat Fuyuto bersumpah untuk tidak mengatakan hal ini lagi, selain kepada dirinya.

Ruri menyadari, dirinya telah terperangkap dalam jaring yang sering ia lihat di drama atau anime. Jaring yang membuatnya ingat dengan lagu keras Seishun Kyousoukyoku. Ia sering mendengarkannya selagi berlari, hanya demi mengingatkan dirinya atas apa yang telah ia tentukan pada dirinya sekarang.

Setelah terjatuh dengan memalukan karena tidak menaruh mata pada track lari, Ruri mencoba mengasingkan rasa malunya di UKS. Sekaligus, membersihkan luka di lututnya yang terasa semakin nyeri ketika ia memaksa bergerak.

Setelah membilas luka, ia masuk ke ruangan dan duduk di atas salah satu ranjang. Berusaha mengistirahatkan dirinya yang juga lelah karena kegiatan Klub Lari yang ia ikuti. Berlari mengitari track lari sebanyak 4 kali cukup untuk membuat darahnya panas. Tapi tidak sepanas ketika ia melihat wajah Ken dari dekat.

“Hhh ....”

Helaan napasnya semakin memperjelas lelah yang menggerogotinya sore ini. Bahkan tangannya yang sedari tadi cuma berayun ke depan dan belakang tidak mau menjawab impuls dari otaknya untuk bergerak mengambil antiseptik di rak. Sebagai gantinya ...

“Yo, Ruri.”

Fuyuto pun datang menghampiri.

“Fuyuto, kenapa kau kemari?”

Ruri tidak menyangka kalau Fuyuto mengikutinya. Dan bahkan pada kenyataannya, ia tidak mengharapkan Fuyuto datang dan melihatnya.

“Ken khawatir padamu. Makanya dia menyuruhku melihat kondisimu.”

“Oh. Kenapa dia tidak datang sendiri...”

“Aku sudah bilang begitu sih padanya, tapi sebelumnya kau juga menolak bantuan dari Ken, bukan?”

Mendengar ucapan yang memutar sebuah kilas balik di kepalanya itu, Ruri merasakan hatinya tertohok oleh sesuatu. Dan ia merasa makin tertohok karena mendengar hal itu dari si datar Fuyuto.

Sembari menanti suasana hati Ruri menjadi normal kembali, Fuyuto bergerak menuju rak obat dan mengambil semprotan antiseptik. Tak lupa, juga perban dan plester.

“Kau sudah membasuh lukamu?”

“Sudah kubilang aku bisa sendiri—“

“Sampai kapan kau mau sendiri?”

Sekali lagi, Ruri dibuat diam oleh ucapan Fuyuto. Di saat itu, tanpa meminta izin atau apa pun, Fuyuto menyemprotkan antiseptik ke lutut Ruri. Membuatnya keperihan beberapa saat hingga ketika menempelkan perban, Ruri pun melonjak.

“Bisa pelan-pelan tidak sih, Fuyuto?”

“Sakit kah?”

“Tentu saja!”

“Lalu, daripada ini, lebih sakit mana dengan perasaanmu itu?”

Meski sempat memuncakkan darah di ubun-ubun, sekali lagi, Fuyuto membuat Ruri terdiam. Kali ini, hingga merubah wajah cantik itu menjadi tomat yang imut. Keringat di sekitar dahi dan pipinya itu lebih mirip embun pagi yang menetes di atas buah yang matang sempurna.

Tak ada ucapan lain yang mengalir dari keduanya. Merasa sedikit bersalah, Fuyuto berpikir untuk berhenti sekarang, tidak mengungkit lagi hal perasaan terpendam Ruri. Sementara Ruri, ia hanya coba merenung. Apa yang sebaiknya ia lakukan setelahnya, dan apa yang ia lakukan lagi setelahnya...

Setelah selesai memberi sedikit perawatan pada luka Ruri, Fuyuto bangkit dan segera beranjak dari UKS. Sebelum ia melangkah keluar...

“Kalau ingin katakan ingin, kalau tidak katakan tidak. Bermain setengah-setengah seperti konsenstrasimu saat lari tadi benar-benar berbahaya tahu. Orang akan terluka.”

Fuyuto mengatakannya dengan datar. Sedatar wajah dan perasaannya sekarang ini. Tapi meski begitu, kedataran itulah yang menjadikan dirinya yang sekarang ini. Kedataran itulah dirinya sekarang.

“Aku akan panggilkan Ken dan Miya. Kau tunggu di sini.”

Ia pun pergi. Meninggalkan Ruri sementara, sendiri di UKS.

Dasar .... Tukang ikut campur.

 

... Tak ada yang berubah. Tak ada yang berubah bagiku. Bagi hatiku. Bagi nasibku. Dan juga yang kulihat sekarang. Jika aku menyipitkan mata, dan dengan teliti mencari setiap sudutnya, aku akan menemukan beberapa retakan. Retakan yang mungkin saja mengancam ketidakberubahan hidupku sekarang ...

 

Ruri tak tahu. Ia cuma tak tahu menahu. Karena tak tahu, ia pun semakin gencar untuk lari. Lari, lari dan lari. Namun bukan lari seperti yang membuatnya dekat bersamanya, melainkan lari dari nyata rasanya sendiri.

Kenapa? Kata itu muncul dan muncul setiap kali ia melangkah. Seakan, setiap tepak kakinya selalu bertanya tentang ke mana ia akan menuju, dan mengapa ia menuju ke sana. Tapi karena rasa lelahnya hari ini, Ruri hanya akan pulang ke rumah.

Bangkit dari ranjang. Berusaha bergerak, meski dengan lutut yang terus memberikan nyerinya sehingga tak bisa berjalan dengan baik. Ruri menahannya dengan ekspresi murung nan sedikit perih. Tapi bahkan sebelum ia dapat meninggalkan UKS, rasa perih tak membiarkannya secepat itu.

“Ruri? Kau mau ke mana?”

Fuyuto mungkin terlihat kurang menyenangkan, tapi apa yang ia katakan tidak pernah menjadi sebuah kebohongan. Ruri mengetahuinya saat itu. Ketika ia bilang akan memanggil Ken, dia benar-benar datang. Satu hal yang ia sayangkan adalah, Fuyuto tak hanya memanggil Ken seorang.

“Apa lukamu sudah baik-baik saja? Jangan bilang kau mau pulang berjalan dengan kondisi seperti itu.”

Yang kelihatan paling cemas adalah Miya. Tentu saja, sahabat akan saling mengkhawatirkan sahabatnya ketika terjadi sesuatu. Hal itu tentu juga berlaku bagi hubungan Miya dan Ruri. Hanya saja ...

“Cuma luka segini, tidak perlu khawatir. Lagipula, rumahku juga tidak terlalu jauh ‘kan... Aku akan pulang sendiri.”

... Hanya saja, Ruri tak begitu mengharapkan kehadiran sahabatnya untuk saat ini. Di saat yang cuma sebentar ini. Seketika, keegoisan menguasainya.

“Oh iya, Ken, memang tidak apa-apa kau kemari? Pelatih menyuruhmu mengawasi anak-anak kelas satu bukan?”

“Aku sudah menyerahkannya pada Fuyuto. Aku khawatir padamu tahu.”

“Terima kasih. Terima kasih, kalian berdua.”

Sedikit sakit bagi Ruri untuk mengatakan ‘kalian berdua’ kepada Ken dan Miya. Ia merasa seperti secara tidak langsung menyetujui jika mereka—

Tidak, memikirkannya saja ia tak mau. Ia langsung menyangkal. Ia tak mau melakukan hal itu dulu sekarang. Tidak selama dia masih ... Masih ...

“Kalau begitu aku akan pulang dulu. Oh iya, sampaikan terima kasihku juga pada Fuyuto. Aku lupa menyampaikan padanya tadi.”

“Ya. Pasti kusampaikan.”

Langkah payah Ruri pun lanjut. Ia melewati Ken dan Miya, sambil mempertahankan senyum yang ia buat ketika mengutarakan terima kasih. Jalannya memang sedikit terganggu, dan hal itu membuat Miya yang melihat tidak mau tinggal diam.

“Ruri, aku temani pulang ya?”

Ruri pun berhenti lagi. Menoleh dan memandang dengan heran.

“Bukannya kau masih ada latihan setelah ini, Miya?”

“Alah, kalau aku izin pasti boleh kok tidak ikut latihan. Iya ‘kan, Ken?”

Setelah mengatakannya, Miya menyikut perut Ken hingga ekspresinya berubah aneh. Tapi menangkap maksudnya, Ken memberikan jempol tanda persetujuan diturunkan. Meski pada dasarnya hal ini kurang memiliki alasan yang valid.

“Aku bisa pulang sendiri kok.”

“Aku tidak mau sesuatu terjadi padamu di jalan. Kita ini sahabat, ‘kan?”

Ruri tak bisa mengelak. Sikap perhatian yang begitu terlihat dari Miya membuatnya tak bisa mengelak lagi. Terlebih, Ken yang memiliki tanggungjawab untuk mengawasi latihan hari ini pun memberikan persetujuan tanpa bertanya apa pun.

Sudah. Untuk yang ini saja, Ruri menyatakan dirinya menyerah. Tak ada bendera putih untuk dikibarkan, cuma anggukan kecil dan helaan napas. Tanpa menunggu, Miya segera menggandeng tangan Ruri dengan wajah senang.

“Ruri!”

Ken memanggil. Tentu saja Ruri merespon.

“Besok sebenarnya latihan sprint sih. Kalau kau bisa, datang ya.”

“Sudah kubilang luka ini tidak apa-apa. Aku akan datang, bahkan aku akan ikut lari.”

“Jangan memaksakan diri saja.”

Keduanya pun pergi bersama. Setelah mengambil barang masing-masing di ruangan klub, mereka berjalan beriringan di bawah langit oranye.

Hingga saat ini, hingga ketika mereka masih berjalan bersama sebagai sahabat ini, Miya masih belum mengetahui status baru mereka sebagai rival cinta. Keputusan Ruri untuk membungkam setiap informasinya, bukan hanya berasal dari keegoisan semata. Tapi juga rasa takut dan bingung. Di mana ia harus memilih sahabatnya, atau hatinya.

 

... Akulah yang pertama. Akulah yang mengawalinya. Aku sudah menggenggam rasa ini bahkan sebelum aku menyadarinya. Dan hingga sekarang, hingga saat ini, tak ada yang berubah. Tak ada yang berubah. Dan aku, tidak mau meninggalkannya setelah tahun-tahun itu lewat. Aku tidak mau. Tidak mau. Meski meninggalkannya adalah untukmu Miya. Sahabatku ...

 

Tapi apa daya, Ruri belum mau menyerah. Setelah semua hal yang ia lewati dengan kehadiran Ken di dalamnya. Egois, akalnya pun mengakui. Tapi hatinya menjerit dan menyumpah bahwa tanpa secuil pun keegoisan, manusia akan sulit menjadi manusia. Hatinya memilih untuk menggunakan semua yang dikodratkan Tuhan kepadanya.

Akan tetapi—

“Ruri ....”

Miya memanggil, hanya saja dengan rendah dan pelan, tak seperti sebelumnya. Butuh beberapa momen untuk menarik keluar Ruri dari utopia-nya, tapi ia tetap membalas.

“Ada apa, Miya?”

“Ada yang ingin kubicarakan, sebenarnya ...”

“Apa?”

“Kau tahu, sebenarnya, aku sudah lama ingin membericarakan hal ini. Tapi, rasanya aku sedikit malu untuk mengutarakannya pada orang lain.”

Arah pembicaraan ini, Ruri sudah menangkapnya. Sudah pasti yang akan Miya bicarakan adalah mengenai perasaannya terhadap Ken. Ruri tidak bisa apa-apa. Ia memilih untuk diam karena ia belum mau miliknya terlihat keluar.

Hal seperti ini adalah wajar. Ketika seorang gadis remaja, sudah merasa suka pada seorang pemuda yang akrab dengannya, ia akan membicarakannya kepada sahabatnya. Menanyakan pendapat, meminta saran, dan memohon untuk dukungan.

Ruri sudah tahu semua itu, walau sumber referensinya tidak selalu kehidupan nyata. Miya pun seharusnya juga sudah tahu hal semacam ini. Tapi, Ruri berpikir, bahwa Miya melupakan satu kemungkinan yang sangat fatal.

Jika kedua orang sahabat itu menyukai orang yang sama.

“Aku, akan menyatakan perasaanku pada Ken besok.”

...

Mendengar hal itu, hati Ruri terdiam sejenak. Keterkejutannya yang paling besar adalah ketika Fuyuto mengatakan Miya menyukai Ken di waktu lalu. Tapi sekarang, ketika Ruri mendengar sesuatu yang sudah ia ketahui dari Miya sendiri, rasa terkejutnya yang waktu itu kembali terulang.

“Heh?! Jadi, Miya ...”

“Hehe, aku, menyukai Ken sebenarnya ... Maaf tidak mengatakannya sampai sekarang.”

“Daripada itu, sejak kapan?”

“Hmm, sepertinya sejak aku ikutan masuk Klub Lari ...”

Ruri tak mau menyerahkan hatinya, tapi ia juga tak ingin merusak hubungannya sekarang. Ia meladeni curahan hati Miya sekarang dengan senyum sebisanya. Karena cuma hal itu yang bisa ia lakukan sekarang. Karena saat ini ia sadar, larinya terhenti di sebuah percabangan jalan.

Sepanjang perjalanan, Miya berbicara. Sepanjang perjalanan, Ruri mendengarkan. Di saat Miya membutuhkan informasi tentang Ken, Ruri pun mengatakan kebenaran. Ketika Miya mengharapkan sedikit saran, Ruri pun memandu sebisa dirinya menahan.

Mereka jadi terlihat sebagai sahabat pada umumnya. Miya yang belum mengetahui kenyataan lain yang dimiliki Ruri, membuatnya bisa berbicara dengan tenang. Ia tidak mengetahui beban yang dibawa Ruri sekarang ini. Meski begitu, Ruri memang tak ingin menunjukkan beban itu dulu.

“Sampai jumpa besok ya, Ruri!”

Miya melambaikan tangan sembari tersenyum di depan rumah Ruri.

“Ya, terima kasih sudah mengantar, Miya.”

Ruri pun membalas lambaian tangannya di depan pintu rumah. Ia tetap melambai, hingga Miya beranjak pergi dan menghilang dari pandangannya.

Selesai. Sedikit tantangan bagi hatinya pun selesai. Ruri bergegas masuk dan langsung menuju kamar pribadinya. Melemparkan tas ke meja, ia menjatuhkan diri yang lelah pada tempat tidur favoritnya. Menghirup udara dalam, juga untuk memcium aroma kesukaan dari bantalnya, ia menenangkan diri. Hembusan napasnya melemaskan setiap larik otot di badannya.

*TING! TING!

Pesan masuk. Mendengar tanda bunyi itu, Ruri merogoh kantung celananya dan membuka ponsel. Ada satu pesan, dan ketika ia tahu dari siapa pesan itu, ia segera membalik badan. Melentangkan tubuhnya di atas kasur.

Ken?

Ia membuka pesan tersebut segera.

 

[Hai, Ruri. Sudah sampai rumah? Bagaimana lukamu?]

 

[Aku baru saja sampai. Lukanya sudah tidak sakit, kok.]

 

[Syukurlah. Aku betulan khawatir, lo. Tidak biasanya kau jatuh di lintasan.]

 

[Maaf, aku kurang konsentrasi.]

[Ada beberapa hal yang kupikirkan.]

 

[Belakangan ini Ruri banyak pikiran, ya.]

[Kalau mau aku bisa mendengarkan curhatmu, kok.]

 

[Terima kasih, tapi tidak usah. Aku mau istirahat saja sekarang.]

 

[Hm, baiklah.]

[Oh iya, jangan lupa kita besok tes sprint. Kalau bisa datang, ya?]

 

[Ya. Aku akan datang. Terima kasih sudah mengingatkan.]

 

[Sama-sama. Selamat istirahat, Ruri.]

 

[Terima kasih, Ken.]

 

Istirahat. Ruri benar-benar ingin untuk istirahat. Selesai dengan pesan dari Ken, tangannya yang menahan ponsel pun jatuh lemas ke samping. Ia menghela napas kembali dan memejamkan kedua mata.

Ken terlalu baik ...

Mengguman dalam hati.

... terlalu baik untuk menyadari semua ini.

Dalam hati, ia membayangkan tingkah Ken yang memang sedari lahir perhatian. Bahkan dari usia lima tahun pun, Ken sudah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang dan apa saja yang di sekitarnya. Ia memperhatikan dengan setara kepada siapa dan apa saja. Tapi ia tidak sadar jika sikap itu membuatnya ‘diperhatikan’ lebih dari yang dirinya sendiri harapkan. Hal itu, terjadi pada Ruri. Dan mungkin juga sama pada Miya.

“Aku menyukai Ken lebih dulu. Lebih dulu dari siapa pun. Aku tidak mau kalau sampai didahului ...”

Gumamannya terhenti disitu, saat sebuah kilas balik muncul di kepalanya yang cenat-cenut. Apa yang terlintas, memang baru terlintas. Lupa, tentu saja tak akan dia. Hanya saja, kilas balik itu sendiri membuat hati Ruri ingin untuk berusaha melupakannya.

Aku akan menyatakan perasaanku pada Ken besok ...

Ucapan itu terngiang di kepala Ruri sekarang. Ucapan riang yang diutarakan sahabatnya, Miya. Baru saja dan baru saja, sekarang itu tidak terlihat akan tersingkir dari fokusnya sepertinya. Dan hal itu membuatnya sakit.

Bukannya aku sudah didahului sekarang?

Pernyataan Miya barusan ditangkap hati Ruri sebagai sebuah pernyataan perang. Meski yang memiliki kesadaran status rival cinta hanya Ruri seorang, Miya telah menjadi ancaman bagi hati Ruri. Ia tak mau membiarkannya. Tidak hingga ia berubah sendiri.

Kalau Miya bisa, kenapa Ruri tidak. Ruri acap kali menelan konsep itu dalam hidupnya. Hingga ia dapat tanpa ragu mengatakannya juga kepada orang lain. Termasuk pada sahabatnya Miya, ketika ia ragu untuk masuk ke Klub Lari.

Hari ketika ia mengundang sahabatnya itu, menyemangatinya hingga ikut berlatih bersamanya tiap hari itu, Ruri tak lupa. Mungkin juga Miya tak lupa. Karena apa? Karena keduanya tak menyangka bahwa hari itu akan merubah situasi dan kondisi di dalam hati mereka masing-masing. Semenjak hari itulah, kedua sahabat ini sekaligus menjadi rival.

“Haaahhh ....”

Semalam, ia sedikit berbohong kepada Ken. Bukannya mengistirahatkan tubuh, ia malah menambah beban pikirannya dengan mempertimbangkan begitu banyak hal. Meski begitu banyak juga, hal-hal yang ia pikirkan hanya berkutat pada satu topik. Mereka berputar-putar seperti mesin permen kapas dan mengeluarkan serat-serat manis tapi juga membuat sakit.

Akan tetapi, Ruri pun akhirnya menyerah pada kantuk dan terlelap. Begitu dalam dan dalam hingga ia menerima risiko untuk datang agak terlambat di hari barunya. Untungnya, ia dapat mengembalikan fokusnya untuk menjalani pelajaran dan harinya seperti biasa. Juga, untuk menentukan sikap terbaik bagi sahabatnya, Miya.

Kemudian, setelah pelajaran usai, sore hari pun datang. Sore hari yang bagi Ruri adalah penentuan. Ia bergegas ke ruang Klub Lari—juga bersama Miya—lalu memakai persenjataannya. Setelah semua siap, mereka bergegas ke lapangan di mana pujaan hati mereka berdua sudah berdiri dan memegang stopwatch.

“Baiklah, hari ini, untuk semuanya, kita akan melakukan tes sprint nomor 200 meter. Ingat, hasil untuk hari ini akan dicatat jadi keluarkan keseriusan kalian ya!”

Seperti biasa, yang memimpin hari ini adalah Ken. Miya dan Ruri tersenyum hanya dengan melihatnya.

“Yang pertama berlari adalah laki-laki, berikutnya perempuan. Aku dan Fuyuto akan mengambil tanggungjawab menghitung waktu dan mencatat, jadi kami berdua terakhir.”

Seperti katanya, mereka berdua lari terakhir. Sebenarnya Ruri kadang heran, kenapa setiap latihan begini, selalu mereka berdua yang menerima tanggungjawab melakukan sesuatu secara sukarela. Tapi yah, itu adalah daya tarik tersendiri dari mereka.

Setelah beberapa kali giliran laki-laki, akhirnya datang giliran Ken dan Fuyuto. Anggota lain mengambil alih pencatatan waktu, dan mereka bersiap di garis start dengan start jongkok. Ruri dan Miya memperhatikan dengan seksama. Lalu, setelah tanda mulai dijatuhkan...

“Ayo Ken!!! Fuyuto!!!”

“Yazawa-senpai, fight!!”

Go! Go! Go!”

Seperti biasa, sorak-sorak pun terdengar. Terdengar sangat keras ketika Ken yang menyusuri lintasan itu. Tentu Ruri dan Miya ikut menyoraki, tapi tidak terlalu keras seperti para adik kelas di sana.

Beberapa malah tertawa ketika melihat Fuyuto berlari di belakang Ken dengan gaya yang aneh. Tangannya bukannya berayun ke depan belakang, tapi malah lurus ke arah belakang. Dan dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Naruto ‘kah dia?”

“Apa-apaan itu?!”

Akhirnya, sprint keduanya pun selesai. Jelas, yang memangkan lari dan rekor waktu adalah Ken. Semenara Fuyuto di tempat kedua. Dia tetap memasang wajah datar ketika lari dan setelah finish.

“Ya ampun, Fuyuto, kau jangan bercanda dong...”

“Sebenarnya aku mencoba serius sih tadi.”

“Kau mau serius menjadi Naruto maksudnya?”

Tertawa. Bahkan dengan napas yang memburu itu, mereka masih bisa bercanda dan tertawa. Dan setelah beberapa menit istirahat, tibalah giliran perempuan. Sekali lagi, Ken dan Fuyuto mengambil bagian untuk mencatat waktu. Dan entah kenapa, sebelum giliran pertama dimulai, Fuyuto terlihat membisikkan sesuatu pada Ken. Setelahnya, Ken terlihat mengangguk dan tersenyum.

“Apa yang dia lakukan?” gumam Ruri.

Curiga. Tapi daripada membiarkaan dugaan menguasainya saat ini, Ruri memiliki prioritas lain saat ini. Ia harus mengikuti hasil pikirnya kemarin malam demi memilih cabang mana yang akan ia lalui dan cabang mana yang akan ia tebang.

Sebelum ia jatuh terlelap kemarin malam, Ruri telah membuat sebuah keputusan yang bahkan bagi dirinya sendiri sangatlah aneh. Sadar telah didahului, sempat membuatnya cemas sesaat. Ia mulai mempertanyakan segala sesuatu pada hatinya sendiri. Dan setelah berkutat dengan egonya selama beberapa jam, tekadnya pun terbulatkan.

Ia tak ingin kalah dari Miya. Seperti motto yang telah lama ia emban, kalau orang lain bisa, kenapa ia tidak. Kalau Miya akan menyatakan perasaannya kepada Ken, kenapa Ruri tidak. Tapi ia juga membuat sebuah syarat bagi dirinya sendiri.

Pada latihan hari ini, ia akan melawan Miya. Berlari di lintasan. Dan jika ia dapat lebih cepat dari Miya, ia akan menyatakan perasaannya langsung kepada Ken setelah finish. Tapi jika ia kalah, ia akan diam dan membiarkan Miya menyatakan perasaannya duluan.

 

... Ini aneh terlihat dan terdengar. Mata dan telingaku mengakui, namun hatiku tetap bulat untuk ini. Meski sederhana dan singkat, ini akan menentukan langkahku. Langkah kami. Aku mengakui Miya sebagai rival, maka aku harus menempatkannya sebagai rival yang semestinya. Dengan menentukan siapa yang lebih baik dari siapa, sekarang, Ken akan melihat. Dan saat dia melihat, kami, diriku dan Miya akan memiliki kesempatan ...

 

Tanpa disadari oleh masing-masing dari mereka, gilirannya pun datang. Ruri melawan Miya. Ketika nama mereka dipanggil oleh Ken berurutan, mereka pun bangkit dan mulai bersiap. Meregangkan otot beberapa saat dan menempatkan diri di garis start.

“Ruri, kau serius mau ikut latihan hari ini?”

Ken bertanya dengan cemas, meski ssedikit terlambat.

“Bukannya kau sendiri yang mengajakku datang?”

“Itu memang benar sih, tapi, kupikir kau cuma akan sekedar melihat dan memberi semangat. Bukannya malah ikutan begini.”

“Kau mengatakannya terlambat, aku sudah berada di garis start.”

Melihat kecemasan temannya, Fuyuto menyahut.

“Ken, kau ini tidak peka ya. Apa kepekaanmu berceceran bersama keringat yang keluar dari tubuhmu saat kau lari?”

Tak hanya itu, Miya pun menambahi.

“Benar sekali, Ken. Kau ini tidak peka sama sekali ya. Sayang sekali.”

“Sebenarnya apa yang kalian bicarakan sih?” Ken pun mulai kebingungan.

“Intinya adalah, biarkan Ruri dan Miya berjuang sekarang dengan tenang. Kekhawatiranmu saat ini hanya akan membuat mereka tidak fokus, Ken.”

Tidak terlalu paham. Seperti ejekan Fuyuto, Ken memang tidak dapat menangkap pesan tersembunyi yang sedari tadi diutarakan oleh Fuyuto dan Miya. Namun setidaknya, pengertiannya membuat hal ini mudah. Ia pun mengangguk dan membiarkan semua berjalan—salah, berlari seperti yang mereka inginkan.

Entah Miya menyadarinya atau tidak, tapi latihan hari ini adalah pertarungan kami. Terima kasih untuk meyakinkan Ken tadi, tapi, aku akan mengalahkanmu Miya.

Sekilas, Ruri memberikan pandang pada Miya. Ketika Miya menyadari pandangan itu, ia pun membalas dan memberikan sebuah senyuman hangat. Ruri pun menerimanya dengan senyuman yang sama, hingga Ken mengucapkan aba-aba dengan lantang.

—Setiap langkah kaki keduanya, akan menyambungkan jalan hati mereka.

“Bersedia!”

—Setiap lapis sol sepatu mereka yang terkikis, akan menumpuk semangat dalam diri mereka.

“Siap!!”

—Dan setiap luka juga cedera yang mereka terima, akan menguatkan perasaan mereka...

“Yak!!!”

... untuk terus berlari beriringan, bersama!

Mereka melesat dalam momentun yang sama. Meninggalkan jejak tipis di atas lintasan ketika menolak tanah, mereka bergerak dengan serasi menyusuri lintasan ini. Lintasan sepanjang 200 meter yang bagi orang yang melihat cukup dekat, tapi untuk kedua orang ini, 200 meter yang mereka lalui adalah pertarungan yang jauh.

Mata orang-orang tertuju pada mereka berdua. Satu sebab, karena mereka belum pernah melihat alunan ritme langkah kaki yang sebegitu serasinya, bagaikan bayangan di cermin. Ruri dan Miya saling menyamai langkah, bahkan semenjak awal start. Di mana biasanya hal itu tak mungkin dilakukan.

Tak luput Ken, yang melihat dengan kagum, sekaligus keheranan. Ia bertanya-tanya, apa yang membuat mereka bisa melakukannya. Tapi di sisi lain, Ken juga tersentuh akan kedekatan Ruri dan Miya. Yang mana ia percaya, bahwa kedua bisa begitu selaras dalam langkah, karena mereka memiliki ikatan yang dalam.

Miya, aku tak menyangka kau bisa menyamai langkahku. Menyamai langkah tercepatku. Kau pasti, sudah berlatih setiap hari untuk hal ini ‘kan...

Tanpa Ruri duga, sudah sejak lama Miya menjadikan Ruri sebagai rival. Miya sudah merasa bahwa Ruri tidak berada dalam batas sahabat biasa. Tapi sudah melebihinya. Itulah kenapa, ia melatih dirinya hari demi hari, supaya dapat menyamai, bahkan mencoba melebihi sahabatnya itu. Meski ia tak terlalu paham juga, atas dasar apa, rasa rivalitasnya.

Miya!

Ruri!

Tak ada teriakan. Tak ada jeritan. Hanya gelora semangat yang mereka tunjukkan.

Tak ada sorakan. Tak ada penyemangat. Hanya mata kagum yang tertuju pada satu hal.

Masing-masing orang yang melihat keduanya berlari, secara tak sadar mengidolakan salah satunya. Mengharapkan mereka menang di dalam hati. Bahkan, Ken dan Fuyuto pun mengharapkan hal yang sama. Menempatkan nama satu orang di dalam hati mereka dan berpikir untuk menyerukannya.

Namun sebelum mereka sempat menyuarakan nama orang yang ada di hati mereka, garis finish pun telah dekat. Lebih dekat, dekat, dekat dan mereka pun—

“Eehh?!”

Semua terkejut, namun masih dalam henyap. Miya pun menjejakkan kakinya melewati garis finish, dan mengerem dengan membatasi tenaga langkahnya. Ketika ia dapat terhenti, ia pun menoleh. Dan mendapati...

“Ruri?”

Ia memanggil nama sahabatnya, sebab keheranan karena Ruri telah berhenti duluan. Yap, berhenti duluan. Bahkan ia terlebih dahulu berhenti beberapa meter sebelum garis finish.

“Ruri, ada apa?”

Miya kebingungan, tapi Ruri bahkan tak mendengarkan. Karena sekarang ia sedang berada di dalam utopia-nya. Entah sejak kapan, Ruri terjebak ke dalam utopia-nya lagi. Hingga ia diam, berdiri di lintasan.

 

... Sehabis menang, aku akan apa? Menyatakan perasaanku, ke ... Dia ... Lalu, setelah itu apa? Aku tidak melihat diriku di dalamnya. Aku tidak melihat diriku yang kuinginkan setelah melakukannya. Kenapa? Bukankah aku selalu mengharapkan hal itu? Sedari dulu. Tapi juga, kenapa? Ketimbang hal itu ... Ketimbang hal yang bahkan belum bisa kujamin untuk hatiku itu, aku mempertaruhkan terlalu banyak hal. Aku mempertaruhkan persahabatanku. Aku mempertaruhkan hubunganku. Aku mempertaruhkan hatiku ... Aku, mempertaruhkan masa sekarang, yang membentuk diriku ...

 

Akhirnya, setelah beberapa saat, Ruri keluar dari dunia pribadinya itu. Kembali bernapas dengan normal, seketika tubuhnya lemas. Terasa begitu lelah, ia pun jatuh terduduk ke tanah.

“Ruri!”

Miya—juga Ken yang daritadi memperhatikan dengan bingung dan cemas berseru. Mereka pun tak mau berdiam lagi dan segera berlari ke arah Ruri.

“Ruri, kau kenapa?”

Yang sampai duluan adalah Miya. Langsung bertanya dengan khawatir.

“Ruri, kau baik-baik saja?”

Yang menyusul kemudian adalah Ken, yang juga terlihat khawatir.

“Iya iya, aku tidak apa-apa. Aku cuma baru sadar kalau lututku terasa sakit lagi.”

“Benarkah?” Miya malah semakin cemas.

“Ken, aku boleh izin pulang duluan lagi?”

“Eh? Langsung?”

“Ya, aku lelah. Aku mau pulang, mandi dan langsung tidur.”

Satu hal. Hal yang membuat Ruri seketika kehilangan ketentuan hatinya dengan tiba-tiba. Ia merubah seketika tekadnya menjadi kekuatan untuk menghentikan langkah ganasnya tadi. Membiarkan Miya menyalip dan finish duluan. Bahkan, Ruri tak ingin untuk mencapai garis finish.

“Kau serius mau pulang sekarang?”

“Iya. Bisa bantu aku bangun?”

Memberikan tangan pada Ruri, Ken membantunya bangun. Masih dengan wajah cemas, Ken dan Miya memegangi kedua tangan Ruri.

“Ano, bisa tolong lepaskan tanganku?”

“Ruri, kau serius mau pulang? Kalau begitu, aku akan mengantarmu ya...”

“Tidak, tidak. Miya, kau punya sesuatu untuk dilakukan bukan?”

Mendengar itu, Miya terdiam. Lalu kemudian ia sadar, kalau Ruri melakukan ini untuk dirinya. Tapi tahu kalau temannya berkorban begini, Miya tak mau diam saja.

“Tapi, daripada itu, aku ingin—“

“Sudahlah, aku bisa pulang sendiri. Sampai jumpa!”

Berbohong. Dengan begini Ruri ketahuan berbohong oleh Miya dan Ken. Kalau lututnya benar-benar sakit, ia tak mungkin lari untuk menghindar begini.

Tapi, ini lebih baik. Karena jika ia tetap diam di sana, pengorbanan dan perubahan tekadnya hanya akan jadi percuma. Karena Miya dan Ken akan tetap berputar di sekitarnya. Jika terus begitu, Ruri tahu, Miya tak akan bisa melakukan niatannya.

Di sisi lain, Miya juga merasa tidak enak. Ia menjadi sungkan. Ia pikir, ini bukanlah waktu yak tepat untuk hal egois seperti menyatakan perasaan atau semacamnya. Ia ingin mengejar sahabatnya, Ruri, namun...

“Miya!”

Fuyuto muncul entah darimana. Tapi dia datang mengampiri dengan wajah tersenyum yang tidak biasa.

“Kau punya sesuatu untuk dilakukan. Lakukanlah atau kau akan membuat Ruri kecewa.”

Seketika, Miya diam. Tak bergerak lagi di tempat.

“Lalu untukmu Ken, dengarkan Miya!”

Sambil berkata dengan agak keras, Fuyuto mendorong punggung Ken dengan begitu keras hingga hampir menabrak Miya. Mereka berdiri berhadap-hadapan sekarang.

“Kalian, selesaikan urusan kalian dulu. Karena kalau Ruri tahu kalian menghampirinya sementara urusan kalian masih belum selesai, ia tak segan untuk mengusir kalian dari rumahnya.”

“Tapi, Fuyuto...”

“Aku akan mengurus Ruri sekarang.”

“Tapi...”

“Santai saja, setidaknya, aku bisa mengantar seorang gadis pulang dengan aman.”

Setelah mengatakan itu dengan nada memaksa, Fuyuto memacu langkahnya. Pergi meninggalkan Miya dan Ken yang sepertinya mulai menarik perhatian orang-orang lainnya.

“Erm, jadi, ada yang ingin kaubicarakan?”

Ken memulai duluan, meski ia terjebak dalam rasa canggung yang kuat.

“Itu... Sebenarnya... Ada sih, tapi, bisakah kita pindah tempat dulu?”

“Be-Benar juga sih.”

Sementara itu, Fuyuto berlari. Lari seperti ninja melewati rute berkelok menuju ruang Klub Lari. Dengan sembrono mengerem, ia langsung mendobrak pintu. Tak ada orang yang ia lihat berada di dalam. Tapi, ia menemukan sesuatu.

“Dasar bodoh, mana ada orang pulang tapi meninggalkan tasnya di sini.”

Ia mengambil sesuatu itu yang tak lain merupakan tas, barang-barang milik Ruri. Terbersit di pikiran Fuyuto, kalau Ruri tidak pulang, melainkan pergi ke suatu tempat di sekolah ini. Dia masih ada di sekolah ini.

Sesegera mungkin, Fuyuto kembali berlari. Di dalam hati, ia mencoba menerka di mana Ruri berada sekarang. Tempat macam apa di sekolah yang akan dituju oleh seorang remaja yang baru saja merelakan pujaan hatinya untuk dibiarkan bersama orang lain.

Tapi sepertinya, ia tak butuh waktu lama untuk menebak dan segera menuju ke sana. Ada satu tempat di mana tempat itu menjadi rahasia di antara beberapa orang saja. Fuyuto berlari masuk ke gedung sekolah, melanggar aturan untuk tidak berlari di lorong, lalu memaksa kakinya yang lelah untuk menaiki setiap anak tangga yang ia temui.

Terus, meski kakinya mulai terasa ngilu dan berat, ia terus mendaki hingga mencapai pintu teratas di gedung sekolah ini. Tepat setelah anak tangga terakhir ia lampaui, ia tanpa ragu untuk mendobrak pintu di hadapannya dengan keras.

Fuyuto tidak terlalu paham kenapa ia mencoba untuk cepat-cepat menemukan Ruri. Tapi, hal itu menunjukkan bahwa dirinya memiliki sisi baik yang sangat mendalam. Ia hanya tak bisa mengekspresikannya dengan bebas. Dan untuk kenyataan itu, Ruri menyadarinya semenjak pertama bertemu.

“Oi, kau kelupaan sesuatu...”

Napasnya tersengal-sengal, bicara sambil mencoba mengatur paru-parunya normal kembali. Fuyuto melangkah perlahan karena kakinya yang sudah terlalu berat, menuju ke salah satu pagar. Di sana, seseorang sedang berjongkok. Dan orang itu sudah jelas adalah Ruri.

“Kenapa kau kemari? Juga, bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

Ruri berdiri, lalu membalik badan pada Fuyuto.

“Sudah kubilang kau kelupaan sesuatu, barang-barangmu masih ada di ruang klub tahu. Dan, kenapa aku bisa menebak kau ada di sini? Itu karena hanya kau dan aku yang tahu kalau pintu ke atap sekolah itu tidak dikunci. Juga, untuk mengawasi orang-orang, tempat ini adalah yang paling strategis bukan?”

“Untuk hal-hal kecil macam itu saja ya kau bisa menjelaskan dengan rinci.”

“Aku hanya mengatakan yang kutahu dan yang sebenarnya.”

“Terserahlah.”

Fuyuto mendekat, lalu menyerahkan tas Ruri. Ruri menerimanya lalu mengecek barang-barang di dalamnya. Sehabis yakin lengkap, ia menggantungkannya di pundak, lalu membalik badan lagi. Menatap ke lapangan sekolah di mana para anggota Klub Lari masih berada di sana.

“Kenapa tadi kau berhenti?”

“Itu, ya karena aku ingin berhenti.”

“Padahal aku sudah membuatkan celah supaya kau bisa berduel dengan Miya saja tadi. Kau malah melakukan sesuatu yang mengejutkan ya...”

“Jadi kau bisik-bisik kepada Ken tadi untuk memasangkanku dengan Miya?”

“Daripada itu, Ruri, apa kau benar-benar merelakan Ken untuk Miya?”

Ruri terdiam untuk pertanyaan itu. Bibirnya memilih untuk mengunci dulu.

“Kau sudah menyukainya, bahkan sejak SD bukan? Dan kau melepaskannya begitu saja?”

Ruri masih terdiam. Meski begitu, tangannya yang mencengkeram besi pagar terasa semakin keras dan kuat.

“Kau membiarkan dirimu didahului? Kau benar-benar menerima hal—“

“Fuyuto!”

Akhirnya, Ruri pun bersuara. Tak cuma itu, tangannya pun bergerak dan melayangkan sebuah tinju yang tepat mengenai lengan atas Fuyuto yang sekarang ini sedang berdiri di sebelahnya. Tinju itu cukup keras hingga membuat Fuyuto oleng ke samping.

“Kau ini, kalau bicara kadang keterlaluan ya...”

“Memang. Apa yang kauharapkan dariku.”

“Sebenarnya tidak ada sih. Tapi kuberi tahu satu hal. Selama ini, semenjak aku menyadari perasaan bernama ‘cinta’ ini, aku memiliki sebuah telur dalam kehidupanku. Aku memilikinya dan aku senang atasnya. Aku berusaha menjaganya. Namun ternyata, aku sudah salah dulu.”

“Salah? Maksudmu?”

“Aku menjaga telur itu dengan cara yang salah. Aku menjaga telur itu dengan menyimpannya rapat-rapat hanya untuk diriku sendiri. Bukannya mengeraminya dengan kehangatan yang seharusnya. Aku malah membuat telur itu kedinginan, dan sekarang! Sekarang telur itu sudah pecah, bukannya menetas dengan semestinya! Lalu untuk apa aku memperjuangkan telur yang sudah pecah itu? Lebih baik aku membuatnya menjadi orak-arik telur atau semacamnya selagi belum busuk.”

“Ya ampun... Kau memberikan sebuah perumpaan yang menyusahkan ya... Tapi setidaknya, aku sudah paham.”

“Baguslah. Karena kalau kau belum paham, aku akan benar-benar menangis sekarang.”

Selagi mengatakan semua hal yang ia rasakan dalam perumpamaan, hati Ruri berusaha untuk menahan emosi yang sempat meledak dengan memberikan tinju kepada Fuyuto tadi. Ia mencoba menahan sebisanya, meski beberapa berhasil merembes keluar dalam bentuk air mata. Dan beberapa itu juga sudah menetes, ke pipi, ke pakaian juga ke lantai.

“Baiklah, dan aku akan memberitahumu satu hal.”

“Apa?”

“Aku datang menghampirimu sekarang bukan untuk mencuri kesempatan ya...”

“Hmm? Apa maksudmu?”

“Itu lo, seperti adegan di film atau drama, ketika seseorang sedang patah hati, lalu orang lain yang menyukainya datang lalu menyatakan perasaannya...”

“Hah?!”

Ruri kaget akan kata-kata itu, tapi mungkin ketimbang kaget, ia lebih kesal. Kesal karena tak menduga Fuyuto akan mengatakan hal bodoh itu kepada dirinya. Ia lebih kesal lagi karena Fuyuto mengatakan hal bodoh itu dengan wajah datarnya yang tidak mengenakkan.

“Jadi, aku kemari cuma mau memastikan tekadmu saja.”

“Baiklah, baiklah! Terima kasih.”

“Aku tidak melakukan apa pun yang bisa diberi ucapan terima kasih.”

“Kau ini menyebalkan atau malu-malu sih sebenarnya?”

“Kuserahkan pada persepsimu.”

“Ya ampuuunn...”

Akhirnya, tanpa Ruri duga, ia pun akhirnya tenggelam dalam percakapannya dengan Fuyuto. Di sela-sela pembicaraan, mereka terdiam ketika menangkap sosok Miya dan Ken yang ada di pinggir lapangan. Melihat mereka sedang membicarakan sesuatu. Meski tak ada yang terdengar, tak ada yang dipastikan. Tapi dalam hati mereka berharap agar Miya dan Ken mendapatkan apa yang terbaik bagi mereka.

 

... Kutak mau menyesal. Untuk hari ini saja kutak mau menyesal. Atas pilihanku. Atas jalurku. Atas semua yang baru saja kulakukan. Kalau kelihatan memaksa, aku hanya kan memaksakannya ke dalam hidupku yang berikutnya. Kalau terlihat kasihan, aku hanya akan lari dan berjuang lagi. Setelah kupikir, aku terlalu lama berlari bersamanya. Dan tanpa sadar, aku mulai lari untuk mengejarnya, padahal dia telah menempatkanku di sampingnya. Karena ketidaktahuanku, aku pun kelelahan. Mungkin sekarang sudah saatnya, bagiku untuk menghentikan lari dan mulai berjalan dengan santai ...

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi