Disukai
2
Dilihat
1541
Yang Berjuang dan Terbuang
Drama

Urat nadi kehidupan kami tengah sekarat. Ia bersumber dari kaki gunung rimba perawan, mengalir melingkar di celah kaki bukit, meliuk di antara batu belah, melewati kelokan demi kelokan, melintasi kampung kami, menyuburkan kebun dan ladang. Ia melaju mengalir sampai ke muara. Di tempat kami, ia andalan warga dalam meniti hari mencari penghidupan. Ia bagian masa kecilku yang tak terlupakan.

Aku masih ingat, di bantaran sungai itu dulu ketika di kedua sisinya masih berjajar pohon suren dan randu, di salah satu batu tebingnya Kosim, Herman, Sukri, dan aku berdiri mengambil ancang-ancang bersiap melompat mencebur ke sungai itu, memecah aliran deras yang sejernih kaca. Aku yang nyalinya seujung kuku memilih batu yang lebih rendah, melompat paling akhir, mencebur kemudian disambut cipratan air juga tawa ledekan. Kosim meluncur menyelam serupa pesut. Ia hilang dari permukaan lalu tiba-tiba muncul persis di belakangku, bersiap melorotkan celanaku. Ketiganya tertawa. Aku hanya menyeringai.

Kami anak-anak keturunan Suku Kilabi, Kampung Hulu Kalikunyit tumbuh bersama sungai sejak dalam rahim. Bagi kami sungai ini leluhur yang melahirkan dan merawat kami. Ia dihormati dan dipuja-puji. Cerita orang tua, dulu di sungai itu mereka biasa melarung sajen dan hasil bumi sebagai persembahan bagi Sang Tetua.

Aku menatap ke tapak biasa sungai itu mengalir. Kini di jalur itu hanya hujan yang sesekali memberinya kelimpahan air. Batu tempat kami melompat telah lama raib menyisakan tanah longsor yang menambah kedangkalan sungai. Kuhela napas sembari mengarahkan mata ke pucuk randu yang meranggas. Gambar sahabat-sahabat masa kecil tertera samar di sana; para sahabat yang di kemudian hari memilih jalan hidup sendiri-sendiri. Kosim, tak lama setelah lulus SMP, bekerja di perkebunan sawit. Sungguh nahas, ular berbisa menyerangnya. Dia meninggal dalam perjalanan ke puskesmas. Herman bangga menjadi TKI di Malaysia. Sementara Sukri, sempat sekolah satu SMA denganku. Namun, menginjak tahun kedua ia raib begitu saja. Kabarnya, Sukri merantau ke Jawa. Saat itu mendengar kata Jawa terbayang betapa menyenangkan bisa tinggal di sana. Suatu saat aku harus menyusul Sukri ke Jawa, begitu ikrar di benakku.

“Beberapa minggu lalu, air sungai tiba-tiba menjadi keruh seperti adukan kopi-susu. Lalu semakin pekat bercampur tanah,” ujar Nurlaila beberapa saat setelah kupersilakan duduk. Ia tetangga sekaligus kakak kelasku waktu SMA. Siang itu, Kak Nur, begitu aku memanggilnya, datang ke ruang kerjaku di Kantor Bupati.

“Saya dan tetangga yang hendak mencuci pakaian jadi mengurungkan niat,” lanjutnya. “Kami balik, dan terpaksa antre di rumah Pak Karyo.”

“Ia satu-satunya yang memiliki sumur,” kataku menimpali dengan nada berempati. Gelas teh panas yang barusan disajikan Pak Bambang kugeser lebih dekat ke arah Kak Nur duduk. Kak Nur tampak tak peduli. Suasana hening. Kak Nur mengibaskan rambut yang terjurai di kening dengan menggerakkan kepalanya. Dalam hati kuakui Kak Nur masih terlihat cantik di usianya yang mendekati kepala empat. Dan seingatku beberapa hari lalu ia baru saja memperingati seribu hari kematian suaminya.

“Saya mendengar kabar bahwa di hulu sungai akan dibangun kantor bupati yang baru. Benarkah?” tanya Kak Nur beberapa menit kemudian. Suaranya pelan seolah yang ia tanyakan adalah sebuah rahasia negara yang amat penting.

Aku tak segera menjawab. Kuarahkan mataku persis ke wajah perempuan itu. “Semua warga kampung, orang tua, bahkan anak-anak sudah tahu hal itu ….” sahutku kemudian.

Kak Nur mengangguk.

“Anak-anak Kampung Hulu bahkan dilarang bermain di dekat area proyek itu,” lanjutnya.

Mendengarnya aku hanya mengerutkan dahi. Aku tahu beberapa saat setelah alat berat mengeruk hutan di hulu, di hilir air sungai mengeruh. Hari berikutnya, alih-alih kembali jernih sungai malah kian surut, menciptakan kubangan-kubangan yang berisi ikan-ikan yang terjebak. Anak-anak dan orang tua beramai-ramai berpesta menangkapi ikan-ikan malang itu. Mereka tak perlu repot-repot memancing atau menebar jala. Namun, setelah itu mereka baru sadar bahwa itu adalah tangkapan terakhir.

“Saya tahu banyak warga Kampung Hulu yang menolak,” kataku. “Tapi mereka ditakut-takuti .…” Kalimatku tertahan membayangkan wajah orang-orang kampung saat berhadapan dengan aparat.

“Kami khawatir proyek itu bakal mengganggu kehidupan kami. Dan itu mulai terjadi.” Kak Nur menegaskan keluhan warga Kampung Hulu saat ini.

“Aku tahu, Kak. Dan itu alasanku berjuang agar proyek itu tidak dilanjutkan. Sejak awal ….” Kuhela napas. Aku merasa tak perlu melanjutkan kata-kata.

Jauh-jauh hari aku telah mengetahui rencana proyek pembangunan relokasi kantor bupati itu karena aku yang menemani Bapak—demikian kami memanggil Pak Bupati—bertemu pemiliki modal dari Jawa. Kemudian kami meninjau lahan untuk kantor baru itu. Selanjutnya, Bapak setuju menukar kantor lama kami yang strategis di tengah kota dengan kantor baru di hulu sungai. Kantor lama kami akan disulap menjadi pusat perbelanjaan. Aku sangat menyesalkan keputusan Bapak itu.

“Sejak awal kenapa?” tanya Kak Nur penasaran.

Aku tetap diam. Rasanya tak perlu aku menjelaskan lebih detail kepada perempuan ini. Ceritanya adalah usai meninjau lokasi proyek pembangunan kantor bupati yang baru itu, aku langsung menyampaikan ketidaksetujuanku kepada Bapak. Waktu itu Bapak manggut-manggut, sepertinya memahami maksudku. Namun kemudian, sikap Bapak berubah. Aku yang selama ini menjadi ajudannya tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan yang berhubungan dengan proyek tersebut. Bapak mengajak ajudan lain. Aku sangat mengerti alasannya. Selanjutnya, beberapa teman kantor mulai menunjukkan sikap bermusuhan kepadaku. Bahkan pada hari-hari berikutnya aku semakin jarang dilibatkan dalam kegiatan kantor. Alhasil, sekarang aku lebih banyak diam di ruangan.

“Sudahlah, Kak Nur tidak akan mengerti apa yang sedang terjadi di tempat kerjaku ini.”

“Kenapa begitu?” tanya Kak Nur tidak puas. “Kalau itu berhubungan dengan proyek kantor baru, saya berhak tahu karena saya warga kampung di hulu itu.”

           Aku tak menyahut. Sejenak, tercipta keheningan di antara kami sampai Kak Nur bicara lagi.

“Mustofa, tidakkah kamu disekolahkan ke Jawa untuk ketika kembali ke kampung ini bisa membantu warga agar semakin sejahtera? Tetapi apa yang kamu lakukan sekarang justru membuat orang-orang yang dulu berbondong-bondong mengantarmu ke ujung kampung sengsara.”

Kalimat Kak Nurlaila barusan mengingatkanku kepada masa lalu. Setelah lulus SMA aku mendapatkan kesempatan menyusul Sukri ke Jawa. Hanya saja berbeda dengan Sukri yang pergi ke sana mencari kerja, aku beruntung menjadi satu-satunya orang yang terpilih mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Kabupaten yang bekerja sama dengan satu perguruan tinggi di Sumedang.

“Bukannya kembali ke kampung mengabdi untuk menyejahterakan warga, kamu malah mendatangkan orang-orang untuk merusak tanah leluhur sendiri. Tega sekali kamu.”

Tentu saja kalimat Kak Nur menggedor harga diriku. Aku tidak mengerti maksud ucapannya. Ia salah paham atau malah tidak paham sama sekali apa yang selama ini aku lakukan. Kata-katanya seperti tumpukan pasir yang menimbun upayaku yang selama ini berpihak pada warga Kampung Hulu. Otot-otot wajahku menegang. Kulepaskan punggungku dari sandaran kursi. Seharusnya, kalimat semena-mena yang meluncur dari mulut perempuan itu menjadi alasan bagiku untuk mencengkeramnya agar ia tidak sembarangan menuduh. Namun, tentu aku mengurungkan niat picisan itu.

Aku mencoba tenang dengan menarik napas dalam. Tetapi tanpa disangka, tiba-tiba Kak Nur berdiri mendekat lalu merengkuh dan mendekap bahuku sekuat tenaga. Kak Nur berusaha merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terperangah. Untuk sesaat aku tak sempat berbuat sesuatu. Namun kemudian kedua tangannya kutepiskan agar terbuka jarak di antara badan kami. Aku berusaha mendorongnya.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka lebar. Beberapa rekan kerjaku menghambur masuk. Ada yang menyalakan ponsel untuk merekam. Aku gelagapan. Sedetik berikutnya, Kak Nur berteriak dan melayangkan tangan menampar pipi kananku seraya mengeluarkan kata-kata kasar. Ia menjerit-jerit seolah aku hendak berbuat kotor kepadanya. Kak Nur menghambur ke kerumunan orang, disusul kemunculan Bapak. Bapak menatapku geram serupa singa lapar yang hendak menerkam.

Seminggu setelah kejadian itu aku menerima surat pemberhentian tidak dengan hormat sebagai aparat sipil negara. Tidak ada seorang pun yang memberikan kesempatan agar aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Aku tahu, kebusukan dan ketidakadilan tengah bersekongkol mengeroyokku. 

Tuhan, mengapa Engkau ikut-ikut tidak adil? Begitu teriakku setiap hari. Setelah sekian lama mengurung diri, sambil berlari sepanjang jalan kampung, kulempari rumah-rumah tetangga dengan segala benda yang kutemui hingga mereka mengumpat mengeluarkan kata-kata kutukan. Aku tak perduli bahkan semakin menjadi. Sial, pada suatu siang warga beramai-ramai menangkapku. Mereka memukuliku sampai aku babak belur lalu menyerahkanku ke polisi. Kulihat Kak Nur di antara orang-orang itu, ia mengenakan seragam ASN yang masih baru.

                                                                                                                                          

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi