Disukai
0
Dilihat
3,988
Cara Mati Seorang Lelaki
Misteri

Aku merasa tubuhku selembar daun kering. Dengan serat-serat tulang menonjol berbalut kulit keriput. Begitu semilir angin menyelisik celah cendela menerpa, terasa dingin mencecap di semua pori. Ujung-ujung tubuhku terasa mengambang. Suatu kekuatan mengangkatku ringan hingga melayang tanpa arah. Tak kuasa meronta, tubuhku menyentuh langit-langit, tersangkut tanpa rasa. Dari sana kulihat ragaku terbujur di tepi tempat tidur. Pelan dari mulut keluar sesuatu. Cairan berbusa. Meleleh. Menjijikan. Melewati dagu, bertepi di leher kanan. Menggenang di sana. Lalu cairan itu berubah merah. Membentuk tanda mirip bekas isapan. Tanda awal cerita yang sebenarnya tak kuharapkan. Ingatanku melayang pada kisah lama nan panjang. Aku terpejam.

Dua puluh sembilan tahun lalu. Aku, Antasena si bocah lulusan sekolah menengah. Saat itu usiaku menginjak tujuh belas. Jangan heran dengan usiaku, karena yang dimaksud smp adalah kejar paket B. Program sekolah malam penyetaraan dengan SMP. Tanpa batas usia. Syaratnya hanya kartu keluarga dan ijazah SD.

Setelah tamat sekolah dasar, orang tua tidak mampu melanjutkan sekolahku lagi. Tiap hari aku hanya luntang-lantung. Tidur, makan, pergi ke sawah pun enggan. Tentu membuat orang tua kesal dan sering mengomel setiap hari. Suatu hari, Pak RT datang ke rumah menyarankan mereka agar mendaftarkanku ikut kejar paket B. “Sekolahnya tidak dipungut biaya,” jelas Pak RT. “Masuknya juga tidak setiap hari, tidak akan menganggu kerjaan di sawah.” Lanjutnya. Kepala ayah sedikit melengos menghindari tatapan Pak RT. Dalam pikirnya mana pernah anaknya menyentuh pekerjaan di sawah. Bocah malas itu sehari-hari hanya menempelkan radio dua band di kupingnya. Entah apa yang didengarnya. 

Kelas sekolah Kejar Paket B itu meminjam ruang SD Negeri yang ada di desa kami. Murid-muridnya adalah tukang parkir, kuli pasar, pengamen, juga preman yang biasa bikin onar. Ada seorang perempuan, mungkin pengamen sekaligus teman kencan preman pasar itu. Agak di pojok ruang duduk seorang bapak berkacamata tebal dengan pakaian cukup rapi. Aku pikir lebih aman kalau duduk di dekatnya. Kuberjinjit di depan beberapa murid termasuk perempuan itu. Tercium aroma parfum menyengat. Tatapan perempuan itu melekat tajam ke wajahku. Aku segera duduk samping bapak berkaca mata yang sepertinya pegawai Dinas Pertanian. Penyuluh pertanian jika kulihat dari buku yang dibawanya.

Hanya butuh dua tahun untuk lulus kejar paket B. Kata pengajar aku cukup pintar, jadi bisa lebih cepat ketimbang yang lain. Aku diberikan selembar ijazah. Sebelum tidur, iseng kutimang ijazah itu, membaca berulang barisan kata-katanya. Aku tak yakin ini bisa buat melamar kerja di pabrik. Padahal itu cita-citaku agar sederajat dengan anak-anak tetangga. Kuliat fotoku yang menempel di kiri bawah. Aku ingat perempuan pengamen di kelas, suatu waktu ia memanggilku ganteng. Aku tersenyum. Kuamati fotoku lagi. Mukaku tampak lonjong dengan bentuk mata turun menatap rapuh, hidungku tidak pesek juga tidak mancung. Bibirku agak bulat tampak serasi dengan bulu-bulu kumis yang mulai tumbuh. Aku tersenyum. Wajah perempuan itu terbayang. Ia tidak cantik, tapi kuingat dadanya sangat menonjol. Kutaruh ijazah menutup wajahku. Tangan kiriku merayap tak menentu.

Setiap hari aku biasa bangun siang. Saat ayah dan ibu sudah pergi ke sawah dan Jumi, adiku yang baru lulus SD tahun lalu, sibuk dengan urusannya di dapur. Aku enggan bergaul dengan teman seusia. Tentu karena mereka juga lebih banyak bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Suatu sore, karena benar-benar bosan di rumah, aku mencoba main ke teman SD yang dulu satu meja. Sahabat akrab waktu itu. Kini ia sudah SMA. Aku tiba di rumahnya, ia tampak sedang mengobrol dengan teman-teman sekolahnya di teras rumah. Aku menyapa lebih dulu dan dibalasnya dingin. Meski begitu, aku tetap mencoba mendekat dan mengakrabi juga temannya yang lain. Aku duduk berjarak. Beberapa kali saat mereka bercanda, aku yang lebih banyak diam mencoba tertawa. Padahal tak mengerti juga candaannya. Teman SD yang duduk di sampingku beringsut. Beberapa yang lain menatapku. Aku mencoba tersenyum. Mereka lanjut membicarakan banyak hal yang lucu menurutnya, tetapi tidak bagiku. Setelah cukup lama, aku pamit hendak balik ke rumah. Tak seorang pun menggubris ucapan pamitku. Aku pergi saja. Setelah sore itu, aku lebih memilih diam di rumah. Aku tahu tidak ada lagi teman bahkan teman SD dulu telah berubah, ia tidak menyukai keberadaanku. Di rumah orang tuaku juga menunjukan sikap yang sama. Tetangga dekat pun kadang ada yang menyindir aku sebagai pemalas, bodoh, beban orang tua. Saat itu, aku mulai tahu bagaimana rasa sedih. Sepi. Sendiri. Tak ada teman di usia yang begitu rawan. Lebih dari itu, bahkan aku jadi bahan hinaan.

Beberapa hari kemudian tanpa persetujuanku sebelumnya, ibu meminta paman membawaku ke Tangerang kerja kuli bangunan. Sore itu paman datang menjelaskan. “Kerjaanya bantu bawa ember adukan. Jangan penuh-penuh isinya. Nanti proyeknya cepat kelar.” Ujarnya sambil memamerkan gigi kuningnya. “Jadi kuli bangunan itu terhormat, kerjanya nyata membangun negara. Gajinya juga lumayan,” bujuknya demi melihatku ogah-ogahan. “Bisa buat bantu ibumu,” lanjut paman kemudian. Kulirik ibu. Dari wajahnya jelas ia tak akan senang jika aku menolak ajakan itu. Ayah yang dari tadi lebih asyik mengisap rokok bersiap murka.

“Coba aja, kang. Cari pengalaman.” Ujar adiku yang keluar dari dapur membawa teh panas dan menaruhnya di meja depan paman.

“Bikin satu lagi buat ibu, Jum. Biar batuknya sembuh,” perintah ayah yang langsung dijawab. “Ibu kan tbc, Yah. Mana sembuh minum teh.” Meski begitu Jumi balik ke dapur lalu kembali dengan secangkir teh mengepul.

Pagi besok harinya bus Luragung membawa aku dan paman ke Tangerang. Dari dalam bus tak bosan-bosan aku berpaling ke luar jendela. Selain karena perjalanan pertama ke kota besar, ini kulakukan untuk mengalihkan bayangan akan beratnya kerja jadi kuli bangunan. Kulirik telapak tanganku: kurus tapi bersih. Tidak yakin tahan menjinjing ember adukan. Apalagi di tengah matahari terik.

Hari pertama bekerja benar saja telapak tanganku langsung melepuh, mengelupas. Sorenya saat terkena air mandi kelupasan kulit itu terasa pedih luar biasa. Aku mengaduh. Ditambah teriakan dari luar juga mengejutkan. “Cepetan woii. Air mandi jangan dihabisin!” Suara itu langsung diikuti dobrakan pintu. Ia masuk dan secepat kilat merebut gayung yang kupegang. Tanpa canggung diguyur tubuhnya hingga menciprat ke mana-mana. Aku bergeser ke pojokan. Dari lembar daun pintu yang menganga tampak pekerja lain datang menjinjing plastik berisi sabun dan sikat gigi.

Malam hari, ketika semua kuli bangunan mendengkur, alih-alih terpejam aku merintih menahan sakit telapak tangan juga semua persendian badan. Sudut mataku melirik kuli yang menyerobot ke kamar mandi, aku tahu tidurnya terganggu karena aku tak bisa diam. Meski begitu esok pagi, tak diduga ia menyodorkan obat merah kepadaku. Dengan muka masam ia berkata, "Nanti balikin ke satpam itu.” Ketus sambil menoleh tempat pos satpam berada. Aku menerimanya.

Hari berikutnya pekerjaan sebagai kuli bangunan terasa semakin menyiksa. Waktu jam makan siang, merasa tak sanggup aku menggeletakan badan di tengah bedeng triplek. Air seduhan Kukubima di gelas plastik masih tersisa. Ingin menangis jika saja tak tahu malu. Tampak dari pintu satpam berhenti. Sebentar mengamati, lalu pergi. Malam hari badanku panas menggigil. Meski begitu esoknya aku tetap berusaha menjinjing ember aduk lagi. Luka di telapak tangan mengelupas tak bisa kering. Usai mandi sore, meski sungkan kupaksa meminta lagi obat merah ke satpam. “Lama-lama juga biasa.” Kata satpam melihat telapak tanganku. Ia pegang sambil meneteskan obat merah itu.

Setelah bertahan lebih dari seminggu badanku benar-benar remuk. Sungguh tak sanggup lagi. Di saat kuli lain sarapan nasi bungkus dan seplastik teh manis hangat, aku masih meringkuk menyelimuti badan yang panas dingin. Jangankan menjinjing ember aduk untuk bangun saja rasanya tak sanggup. Meski kondisiku begitu tak seorang pun kuli peduli. Mending aku kabur saja, pikirku. Jelang siang, kukemasi bajuku ke dalam tas, sebagian dimasukan ke kantong plastik. Dengan gaji seminggu kerja yang kuterima aku punya bekal ongkos ke kampung. Tapi masalahnya, aku tak tahu di mana bus tujuan Kuningan berada. Sudahlah yang penting jalan saja dulu.

“Tunggu saja di sini. Nanti makan siang, kamu kuantar ke pangkalan.” Begitu ujar satpam setelah kuceritakan kebingunganku. Dan saat istirahat satpam menepati janji memboncengku menuju tempat bus ngetem. Di tengah perjalanan ia menyarankan agar aku balik kampung usai gajian minggu depan. Pas dua minggu kerja, katanya. Aku tak menjawab. “Kamu tinggal di kontrakan saya sementara menunggu gaji.” Sebodoh-bodohnya tentu tak akan kutolak tawaran itu. Kemudian satpam memutar arah. Sampai di kontrakan, orang-orang menyapa satpam itu dengan Eweng. Belakangan kutahu nama sebenarnya Iwan. Bang Iwan.

Sampai hari menerima sisa gaji, Bang Iwan memperlakukanku dengan baik, meski aku menumpang tanpa mengeluarkan sepeser uang. Kepada tetangga ia mengenalkanku sebagai adik. Paslah, usia Bang Iwan sepertinya lebih tua sepuluh tahun dariku. Sebagai balasan atas kebaikannya aku bantu mencuci pakaian, membuatkan kopi menggunakan pemanas listrik, hingga menyapu lantai. Tiga hari lalu, seharusnya aku sudah balik kampung. Tapi kadung nyaman tinggal numpang di sini. Apalagi ada tv dan kipas angin. Bang Iwan pun tak pernah menyinggung soal rencana awalku.

Sebulan di kontrakan, aku mulai mengenal kebiasaan Bang Iwan. Hampir tiap hari ia pulang larut, sesekali membawa sebungkus nasi goreng oleh-oleh buat makan malamku. Di akhir pekan Bang Iwan pulang tidak sendirian. Seperti malam ini, “Dek, buka pintu.” Terdengar suaranya dari luar. Aku bangkit sambil memegang remote. Bang Iwan masuk menggandeng seorang perempuan. “Ini adik aku. Santai saja…,” katanya sambil menyodorkan plastik berisi nasi goreng. Aku menerimanya. Sementara mataku terpaku pada dada montok berbalut kaos v-neck merah dan celana jins buluk. Bang Iwan dan perempuan itu terkekeh. Lalu keduanya masuk kamar meninggalkan aroma parfum yang baunya minta ampun. Tak lama keriuhan tak menentu menggema dari dalam.

Sedikitnya selang dua minggu sekali hal serupa terulang. Hanya saja perempuan yang dibawa Bang Iwan beda-beda. Aku tak ambil pusing, toh bungkusan nasi goreng jauh lebih penting. Sampai suatu malam, setelah kulahap nasi goreng di sela suara tv dan desah dengus bersahutan dari dalam kamar tiba-tiba Bang Iwan memanggil. Dengan segan aku bangkit mendekati pintu kamar. Saat kusibak gorden, tampak keduanya nyaris tanpa busana. Bang Iwan memberi tanda menyuruhku masuk. Tentu aku tak sudi. Tapi perempuan itu bergerak cepat menyeret tanganku hingga tersungkur di antara keduanya. Bau keringat bercampur parfum, lendir, dan aroma kasur apek merangsek hidung.

Hampir sembilan bulan aku tinggal bersama Bang Iwan. Selama itu pula aku mengetahuinya luar dalam. Kalau saja tidak mendapat kabar tentang kematian ibu enggan sekali aku balik ke kampung. Orang tua dan tetangga pun tahu aku tidak bekerja kuli bangunan, dan mereka masa bodo. Usai tujuh hari wafat ibu, aku berniat kembali menemui Bang Iwan. Sialnya minggu depannya Jumi menikah. Habislah uang buat ongkos terpakai beli ini itu. Dengan terpaksa aku tetap tinggal di desa: nganggur dan malas-malasan ke sawah.

Tahun berlalu. Jumi ikut suaminya ke Ciamis. Aku dan ayah tinggal berdua. Saat itu, aku mulai merasakan ada yang aneh dengan kondisi badanku, rasanya sering merasa cepat lemas. Pada saat seperti itu, ayah menyinggungku agar sesekali membantunya bekerja di sawah. Berjemur. Biar badan tidak cepet loyo. Masih muda, kok. Begitu sindirnya. Ogah-ogahan kuikuti perintahnya. Ternyata cukup manjur.

Sore tadi paman yang dulu membawaku ke Tangerang datang. Menengok ayah yang sejak minggu lalu sakit, biasa penyakit tua. Begitu kata tetangga. Dari paman aku mendapat kabar kalau Bang Iwan sudah meningal. Jujur saja kabar itu membuat dadaku terasa sesak. Bang Iwan masih muda, pikirku. Paman juga bilang penyebab kematian Bang Iwan karena penyakit aneh.

Terkenang pengalaman tinggal bersama Bang Iwan membuat pikiranku tidak menentu. Sering melamun membayangkan kejadian-kejadian di kontrakannya dulu. Sementara, ayah dan juga tetangga mengira aku memikirkan perempuan. Mereka kerap menyinggungku agar cepat kawin, “Biar tidak sering melamun, carilah istri,” begitu kata ayah suatu hari, “Kalau perlu kamu jual separuh sawah itu untuk modal kawin.” Aku tak menjawab. Dalam hati berpikir sawah tidak luas, mana ada yang mau membeli separuhnya. Emang beli sawah untuk kuburan. “Sudahlah, yah. Jangan mikirin soal itu. Sawah daripada dijual biar Sena urus untuk makan sehari-hari. Kalau dijual, mau makan dari mana kita.” Jawabku yang tentu membuat muka ayah ceria. Senyumnya mengembang apalagi saat aku bilang hendak jalan ke pasar sekalian membeli pupuk urea. Hari itu memang aku merasa amat suntuk dan ingin hengkang entah ke mana.

Pasar dekat desa kami itu beceknya minta ampun. Apalagi di tempat angkot-angkot mangkal. Kumuh,  sampah berserakan, dan bau pesing. Tetapi di pojok selatan, terdapat musala kecil yang tampak mencolok. Dinding dan kacanya terawat bebas dari kotoran. Dulu di sana hanya ada toilet dan kamar mandi. Pikirku saat melawatinya.

Hei. Tiba-tiba terdengar suara. Sepertinya muncul dari dalam musala. Aku tak yakin memanggilku, cuma karena penasaranlah aku berhenti. Suara memanggil itu berulang dan ternyata memanggilku. Seorang perempuan ringkih berjilbab bergo dengan bawahan daster sudah koyak. Ia melambaikan jarinya yang terlihat kurus sekali. Aku tak segera merespons hingga ia berhasil menyakinkan. Perempuan ringkih itu yang dulu ikut kejar paket B. Perempuan teman kencan preman pasar yang suka menggodaku di kelas. Kini sehari-hari membersihkan musala pasar.

“Bukan kerja. Amal ikhlas saja,” suaranya datar.

“Pantas musala ini beda dengan sekitarnya,” kalimatku membuat mata perempuan itu sedikit bercahaya. “Apa ada yang solat di sini?” Lanjutku yang dibalas dengan gelengan kepala.

 “Itu bukan urusanku. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidup lebih baik.” Kalimat perempuan itu mendorong rasa ingin tahu lebih banyak lagi. “Aku tidak akan lama lagi di dunia.” Begitu ujarnya yang dilanjut dengan cerita tentang penyakit aneh yang dideritanya sejak dua tahun lalu. Penyakit itu menular dari bajingan-bajingan yang biasa menidurinya. Mereka bukan saja preman pasar, tetapi juga supir truk yang selalu berkelakar: biar  jarak tempuhnya bagus, harus isi tangki bensin dulu. Lebih parah lagi, ada juga oknum pejabat desa yang rutin mengajaknya kencan di penginapan sekitar Pemandian Air Panas. Jika saja tidak hendak membeli pupuk urea rasanya aku masih ingin mendengar cerita perempuan itu.

Pertemuan dengan perempuan alumus Paket B mengerakkanku mencari ijazah yang dulu jadi teman tidur. Saat kubuka laci lemari lembar itu tertumpuk berdebu bersama buku “Penyuluh Pertanian” punya bapak teman sebangku itu. Buku itu berulang kubaca saat suntuk tiba. Isinya cara-cara menanam padi secara benar yang kemudian sebisanya aku terapkan di sawah. Hasilnya musim panen tahun ini padi kami jauh lebih baik ketimbang yang lain. Ayah menuai banyak pujian. Beberapa warga yang penasaran bagaimana mengolah sawah disuruhnya menanyakan kepadaku. Aku pun tak pelit membagikan pengetahuan seadanya itu. Dari obrolan getok tular, keberhasilan kami mengolah sawah membuat Pak Kepala Desa memintaku memberi pelatihan untuk warga. Selesai pelatihan Pak Kades menyalamiku sambil mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah ayah menanyakan amplop berisi uang. Mendengar itu dahiku mengkerut.

 Ketenaranku tentu saja membuat beberapa perempuan di desa diam-diam memberi sinyal agar dijadikan istri. Bahkan ada dua atau tiga ibu yang terang-terangan menawarkan anak perempuannya untuk dilamar olehku. Wajarlah usiaku lebih dari cukup untuk berumah tangga. Bahkan pesan terakhir padaku sebelum ayah meninggal: cepat kawin, apa tidak malu disebut perjaka tua. Aku tak menghiraukan. Tak ada yang tahu alasan rahasia yang membuatku enggan memasuki hutan rumah tangga.

Sepeninggal ayah, tentu aku hidup sendiri di rumah. Untuk mengusir sepi aku datang ke pasar menemui perempuan penjaga musala, tapi dari supir angkot didapat kabar kalau ia sudah lama tidak di sana. Entah meninggal atau kabur ke mana. Ada yang bilang ia bunuh diri lompat dari jembatan atas sungai. Yang lain menyebutnya gantung diri di hutan kaki Gunung Ciremai beberapa meter dari gubuk tak berpenghuni. Aku bergidik.

Malam itu, mendadak keriuhan terjadi di kantor desa. Kepala desa yang tengah memimpin rapat tiba-tiba terjatuh dari kursinya. Badannya kejang-kejang di lantai, dari mulutnya keluar cairan. Semua peserta rapat riuh dan panik. Tanpa komando mereka bergerak mengerubungi tubuh Kepala Desa yang tengah menggelepar-gelepar. Kedua tanganya bergerak seolah sedang mencakar atau bertarung dengan seseorang. Beberapa ajudan berupaya membuatnya tenang. Jangan!! Tiba-tiba perintah seorang perempuan bergema dari empat penjuru. Suara itu terdengar hanya oleh sebagian orang saja.

"Sial!” Seorang ajudan mengusap pipinya yang tergores cakaran Pak Kades. “Bahkan saat sekarat pun keparat ini masih ngotot nyakitin orang.” Begitu umpatnya.

Kematian Pak Kades membuat geger hingga desa tetangga. Beredar dua desas-desus, pertama apa penyebab kematian Pak Kades? Untuk ini ada yang mengaitkan dengan kesaksian warga yang pernah memergokinya bersama perempuan di sekitar Pemandian Air Panas. Desas-desus kedua, siapa yang akan menggantikan jabatannya? Semua warga tahu sekretaris desa terlalu tua untuk merangkap dua jabatan. Untuk sementara ada petugas kecamatan yang menangani urusan desa, tapi itu untuk sementara saja. Warga desa harus segera memilih kepala desa baru. Aku yang pernah dianggap berhasil memberi penyuluhan pertanian kepada warga dianggap layak sebagai satu-satunya calon itu.

Pagi itu seperti pagi sebelumnya aku bersiap dengan cangkul dan arit, alat yang biasa kujinjing ke sawah. Sebelumnya kutenggak gelas kopi pahit hingga ampas-ampasnya. Aku bergegas. Setelah beberapa langkah dua orang datang mengejar. Mereka mendekatiku dan berkata dengan sangat serius. Seperti biasa aku banyak diam. Keduanya menyampaikan pesan agar aku menghadap Sekretaris Desa.

Malam harinya, Sekertaris Desa bersama Tetua dan beberpa anak buahnya datang ke rumah. Tujuannya membujuk aku menerima jabatan kepala desa. Orang lain susah payah mencari dukungan demi mendapat jabatan ini. Kepada kamu semua warga setuju. Apalagi masalahnya? Jangan berlaku bodoh dengan menyia-nyiakan amanah ini. Dosa! Tentu saja aku tidak bisa berkata banyak diserang dengan nasihat-nasihat ini. “Saya tidak punya darah keturunan politik,” kataku apa adanya pada semua.

"Apa benar darah keturunan politik itu penting bagimu?” Tanya Tetua.

“Setidaknya ada bakat, Pak Tetua.” Jawabku bertahan.

“Haaghh, bakat apa?” suara Pak Tetua meninggi, “Petani jual gabah lima ratus ribu, kamu tawar dua ratus ribu. Malamnya kamu suruh orang curi karung gabah itu. Itulah politik,” katanya sambil menyodorkan kepala ke wajahku. “Semua orang punya bakat begitu, Sena.” Tetua itu sangat berkepentingan mendudukanku pada jabatan kepala desa itu.

Keinginan Tetua yang diamini para tangan kanannya membuatku sangat tertekan. Sejak beberapa hari aku mengeluhkan kepala yang sangat berat, dada pun sesak, dan sulit tidur. Tubuhku juga kembali cepat merasa lemas. Semakin tegas dan terang-terangan aku menolak, semakin kuat tekanan dari orang-orang yang menginginkanku jadi Kepala Desa. Hanya perkataan perempuan penjaga musala yang kadang terngiang: menghabiskan sisa hidup lebih baik. Bagitu.

Besok paginya Tetua dan seorang anak buahnya datang menjemputku ke rumah dukun pemilik ilmu penerawangan. Rumah sang dukun berupa gubuk yang dari luar terlihat tak berpenghuni terpencil di kaki Gunung Ciremai. Dukun itu dapat mengetahui apa yang telah, sedang, dan akan dialami seseorang melalui bisikan jin, arwah leluhur, atau arwah yang tertolak bumi. Untuk melakukan penerawangan dukun harus memusatkan pikiran dan hatinya. Ia duduk bersila menghadap sesajen dan dupa yang menyala. Setelah beberapa menit mulut sang dukun komat-kamit, badannya bergetar seperti menggigil. Arwah leluhur mulai merasukinya. Sambil bersila badan sang dukun yang kekar berdiri dan bergerak menghentak, lalu gemulai, menghentak lagi, kemudian balik seperti menari. Ia mengeluarkan kata-kata aneh tanpa sadar. Setelah sepuluh menit ia kembali sila tenang, keningnya tampak berkeringat. Ia mengaku telah mendapat bisikan arwah leluhur. Menurutnya aku sangat cocok menjabat sebagai kepala desa menggantikan mendiang. Dukun bilang aku lulus kejar paket B dengan nilai gemilang. Jika ditelusuri aku juga punya titisan leluhur penguasa desa, entah turunan keberapa. Ia juga yakin sekali aku masih suci, perjaka tulen yang sampai detik ini belum pernah menyentuh perempuan. Belum pernah berhubungan kelamin. Ini sangat cocok untuk mengembalikan kesucian desa. Apalagi setelah kematian kepala desa sebelumnya yang kotor itu.

Hari-hari berikutnya aku semakin sibuk ke sana sini, bertemu pejabat kecamatan, kabupaten, atau pejabat penting lain di rumahnya atau Balai Desa. Itulah bagian proses sebelum menduduki jabatan Kepala Desa. Akhirnya hari pelantikan sebagai Kepala Desa tiba. Semua berjalan lancar. Seluruh warga desa berpesta tujuh hari tujuh malam. Aku dielu-elukan bak ksatria piningit yang akan menyelamatkan warga desa. Aku dipercaya sebagai manusia suci yang akan membawa tanah leluhur menuju perbaikan di segala bidang. Kebahagiaan warga menerimaku sebagai Kepala Desa membuatku terhibur, senang juga menjadi sosok yang dapat menentukan nasib banyak orang.

Waktu berlalu cepat. Periode pertama kulewati dengan banyak pembangunan yang membuat warga puas. Hal serupa membawaku lanjut ke periode kedua. Dua periode aku telah menjabat sebagai Kepala Desa. Jelang berakhirnya masa jabatan, jauh-jauh hari sebelumnya aku telah menyampaikan niat untuk beristirahat. Tidak ada keinginan lagi memperpanjang masa jabatan. Saya sudah sampai pada kondisi senang menjabat Kepala Desa, membuat bangga leluhur. Karenanya, saya tidak ingin terus menjabat saat sudah berada di kondisi puncak kenikmatatan kekuasaan. Pikir saya menikmati jabatan adalah hal yang bisa menyesatkan. Kalau sedang dalam kondisi senang saya tidak berhenti, kemungkinan besar saya bisa melenceng atau korupsi. Maka itu, saya menyatakan berhenti usai periode ini. Dengan begitu, saya kira tidak akan turunlah prestasi yang sudah saya capai, dengan bantuan bapak-ibu semua. Biar yang lain melanjutkan, agar ada kesempatan berprestasi bagi warga lain juga.

Begitulah yang kuucapkan panjang lebar dalam sebuah pertemuan di Balai Desa. Padahal di balik itu, bayang-bayang banyak hal yang tak kusampaikan. Sebut saja soal malaikat maut yang senantiasa menggelayut. Penyakit aneh seperti yang diderita Bang Iwan, perempuan penjaga musala, dan Kepala Desa sebelumku terus menggerogoti tubuhku. Bersyukur selama ini aku bisa bertahan. Meski seorang ajudan sempat menaruh curiga. Aku sadar pada dia terlanjur kuceritakan beberapa rahasia. Pada waktunya ia mungkin akan bercerita. Ajudan muda itu tahu ada yang kututupi di tubuhku, makanya ia selalu rajin menyiapkan baju lengan panjang, syal, masker, bahkan sarung tangan buatku kalau ada acara.

Malam ini, kepada si ajudan kusampaikan pesan tidak akan menghadiri pertemuan di Balai Desa. Mata si ajudan menatap tajam. Mukanya yang tampan berusaha membaca sesuatu. Ia hendak mendekat, jika aku tidak menyuruhnya segera pergi ke Balai Desa. Setelah yakin ajudan pergi, aku masuk ke dalam kamar. Di sana telah kusiapkan secangkir teh hangat yang kububuhi serbuk anjuran sang iblis. Ini kulakukan sebagai undangan pada malaikat maut yang sekian lama telah mengendap-endap. Kuberbaring. Sebelumnya telah kusesap tuntas air teh di gelas tanpa sisa. Kemudian beberapa saat perutku bergejolak hebat meletup-letup disusul buih busa meronta keluar, mengalir melalui mulut, melewati dagu, bertepi di pangkal leher, menggenang di sana hingga perlahan memerah serupa sisa kecupan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar