Disukai
5
Dilihat
813
Selepas Badai
Drama

Mas, kamu masih di rumah?” Suara gadis di seberang telepon.

Iya, nunggu hujan reda lalu berangkat ke rumahmu.” Balas lelaki di ujung satunya.

Tak usah kemari, aku yang akan ke rumahmu,” sambung si gadis.

Tapi hujan deras di sini … ” Sergah si lelaki.

“Aku ingin menari-nari di bawah hujan. Tunggu aku di rumahmu.” Si gadis tak menunggu jawaban, dia menutup teleponnya dan bergegas menuju mobil yang telah terparkir di tepi jalan.

ooOOoo

Lima belas tahun berlalu. Perjalanan dua pasangan muda yang pernah menari-nari di bawah derasnya hujan tak selapang tanah datar dan selurus keinginan keduanya. Adnan dan Emily – sekarang bukan remaja lagi. Mereka telah melewati jalan berkelok dan jatuh berulang kali di kedalaman lubang yang menyakitkan.

Namun takdir seakan membuat simpul mati di hati dan jalan hidup mereka. Kemanapun mereka pergi, tak peduli berapa lama mereka berpisah, simpul mati itu menarik tali ikatan yang membuat mereka bertemu kembali.

Setelah melewati lamanya perpisahan dan banyak kejadian, siang ini mereka duduk berhadapan. Ada rasa canggung sekaligus kerinduan yang mendera dada keduanya.

“Aku masih suamimu, Mil.” Kata Adnan setelah basa-basi tentang kabar. Matanya lekat menatap manik mata Emily, tajam mencoba mencari-cari masa lalu di dalamnya. "Meski kau berhak memutuskannya karena ketidakhadiranku," sambungnya.

Emily menunduk, matanya menatap ubin café tua tempat mereka biasa bertemu. Dulu mereka biasa bertemu di sini, sebelum membuat keputusan yang membelokkan semua keinginan muda mereka.

“Lima belas tahun, mas. Dan aku masih menjaganya erat-erat setiap saat.” Kata Emily tanpa ragu, entah kenapa matanya belum memiliki keberanian untuk membalas tatapan Adnan. Gemuruh rindu di hatinya tak tertahankan dan dia berusaha mati-matian menguasainya.

“Kamu menderita karenanya?“ Adnan setengah bertanya.

“Menikah denganmu tak pernah membuatku menderita. Kamulah yang menderita, Mas. Aku selalu punya Bhiru di sisiku.” Suara Emily tertahan, ada pilu di hatinya. Dia tahu besarnya kerinduan Adnan pada Bhiru. Ujung matanya dapat melihat helaan napas panjang Adnan ketika dia menyebut namanya. Lima belas tahun lalu, tak peduli seberapa kuat Adnan berusaha, pintu rumah Emily tertutup rapat untuk kedatangannya. Adnan belum pernah menemui Bhiru seumur hidupnya.

“Ceritakan tentang Bhiru, Mil … “ Kata Adnan seperti meminta.

“Dia cerminan dirimu, Mas. Ketika kamu berkaca, maka kau akan melihat Bhiru di sana. Bagiku, melihat Bhiru seperti aku sedang melihat dirimu. Dia sama persis denganmu. Aku tenang di sepanjang penantianku.”

“Aku ingin menemuinya, kalau kau mengijinkan …” Kata Adnan tiba-tiba.

“Kamu bebas menemuinya. Kamu bebas datang kapan saja. Aroma tubuhmu di rumahku tak pernah hilang, bahkan sejak kepergianmu dulu.” Sahut Emily. Ada kegembiraan di hatinya sekarang. Bhiru, putri mereka akan bertemu papanya. Bayangan sebagai keluarga utuh yang selalu ada di benaknya selama ini. Emily merawat bayangan itu sebaik yang dia mampu.

Adnan menarik napas lega. Ada gejolak tak karuan di rongga-rongga tubuhnya, pelan-pelan terisi oleh rasa senang dan kebahagiaan. Emily melihat raut sendu mulai menghilang dari wajah lelaki yang selalu menjadi kekasih hatinya.

Adnan memandang wajah Emily, “Kalau aku menemuinya besok, apa yang harus aku lakukan?” Rasa lega itu sekarang berubah menjadi kecanggungan.

“Apapun, Mas. Temui anakmu, temui dengan senang-senang. Tanpa kau sadari, kau telah memahami Bhiru seperti engkau memahami dirimu sendiri.”

Ada masa lalu yang berkelebat dengan ucapan Emily. Temui dengan senang-senang, itu yang biasa dikatakan Adnan ketika memberi semangat pada Emily. Dulu ketika Emily berkeringat dingin menghadapi ujian masuk perguruan tingginya, Adnan berbisik padanya, “Kerjakan saja dengan senang-senang.” Lalu Emily tenang setelahnya.

Siang ini mereka tak berbicara banyak karena Emily harus kembali ke tempat kerjanya. Mereka berpisah di parkiran ketika Emily mengambil sesuatu dari dalam tas dan menyerahkannya pada Adnan.

“Foto Bhiru, anak kita. Aku mengumpulkan dan membuatkan kolase dengan hati-hati untukmu.” Kata Emily sebelum mereka berpisah. Emily segera masuk ke mobilnya dan melaju menuju arah jalan raya.

Di ujung parkiran, dia melihat vespa tua berwarna biru muda. Vespa yang biasa dipakai Adnan memboncengnya lima belas tahun lalu. Vespa yang setia mengantar mereka menuju lapangan basket tempat Adnan berlatih setiap sorenya. King of stealing itu telah mencuri hatinya.

Gemuruh rindu di dada Emily semakin bertalu-talu.

ooOOoo

YANG DIRINDUKAN

Bhiru sedang memandikan mobil tua milik almarhum kakeknya ketika seorang lelaki datang. Menaiki Vespa berwarna biru muda, lelaki itu berjalan ke arahnya dengan senyum mengembang dan tatapan teduh yang menentramkan. Biru segera menghentikan kegiatannya dan berjalan menuju arah pintu pagar. Mereka dipisahkan oleh pintu pagar yang setengah terbuka.

“Cari siapa, Om?” Tanya Bhiru sambil mematikan air di ujung selang. Rambut kepang dua dan kaosnya basah oleh cipratan air.

“Om mengantar pesanan untuk mamamu,” jawab lelaki itu. Sorot matanya tajam tetapi lembut menatap wajah Bhiru. Dengan cara diam-diam, lelaki itu menatap penuh sayang pada Bhiru.

“Mama tidak berpesan apa-apa, Om. Jangan-jangan Om salah kirim,” balas Bhiru. Mamanya selalu membuat pesan jika akan ada paket datang.

“Mamamu tidak memesannya. Ini pemberian khusus. Sampaikan saja, ya. Om titip.” Lelaki itu mengulurkan tangannya dari balik pintu pagar yang setengah terbuka. Bhiru menerima bungkusan itu dan meletakkan di bagian pagar yang kering.

“Pesanan dari siapa, Om?” Tanya Bhiru. Dia yakin mamanya pasti akan menanyakannya.

“Bilang saja dari Om Adnan … “ Jawab lelaki itu. Senyumnya semakin mengembang dan matanya masih lekat menatap lembut pada Bhiru.

“Terimakasih, Om. Nanti saya sampaikan,” kata Bhiru. Dia mengelap tangannya dengan kain sebelum mengambil bungkusan.

“Terimakasih, ya. Salam buat mamamu,” balas Adnan sambil naik ke atas sadel vespa birunya. Matanya masih lekat mengawasi Bhiru dengan lembut dan ketenangan yang dipaksakan. Bhiru masih sibuk dengan bungkusan yang sekarang berada di tangannya.

Adnan segera kembali ke vespa dan men-starternya. Dia mengendarainya pelan dan diam-diam melirik spion, berusaha melihat kelebat gadis kecil yang telah mengikat hati dan pikirannya selama bertahun-tahun. Gadis kecil itu tak terlihat lagi, dia belum mengenalnya dan Emily pasti melarangnya keluar pagar sembarangan.

ooOOoo

DUA RINDU YANG AKU MAMPATKAN MENJADI SATU

Sore selepas kerja dan membereskan banyak hal, Emily memilih diam di dalam kamarnya. Dia memainkan ujung rambut panjangnya sebelum membuka bungkusan yang diterima Bhiru tadi siang.

Dari om Adnan, kata Bhiru tepat ketika mereka bertemu di ruang tamu. Emily tersenyum dan segera membawa bungkusan itu ke kamarnya.

Sekarang dia mulai membukanya. Ingatanya segera tersedot ke peristiwa belasan tahun silam. Dia dan Adnan masih remaja dan saling jatuh cinta. Mereka saling mengenal ketika Emily berada di kelas akhir SMA. Mengatakan saling suka ketika Emily baru menginjak semester pertama dan Adnan beberapa tingkat diatasnya. Lelaki muda itu harus berjibaku dengan kuliahnya sebelum dia terbanting ke dunia yang tak dikehendakinya. Keadaan membuat Adnan harus berhenti dari kuliah dan berhadapan dengan dunia nyata.

“Dia tak punya masa depan. Percayalah pada mama,” kata mamanya ketika itu. Oma Mir – mamanya – tegas menolak Adnan sebagai pendamping putrinya. Tetapi Emily berkeras dengan pilihannya. Lalu pertengkaran demi pertengkaran semakin membesar di antara keduanya.

Emily tersenyum – campuran antara pedih dan penerimaan – ketika mengingat semuanya. Sekarang dia telah membuka bungkusan kiriman Adnan. Sebentuk balok kotak panjang dengan hiasan pita biru yang menutup saling-silang dengan simpul menyerupai bentuk kupu-kupu. Kupu-kupu kecilku, Adnan sering memanggilnya begitu.

Senyum pedihnya berubah menjadi senyum kesenangan. Dia tak perlu menebak isi kotaknya. Coklat. Dulu Adnan sering memberikannya, dengan hiasan yang serupa. Tak pernah berubah.

Ada kertas coklat tebal terlibat dengan tulisan tangan di ujung talinya. Emily membuka lipatannya dan segera mengenali tulisan di sana.

Untukmu Emily, kupu-kupu mungilku - Bhiru putri tercintaku,

Kalianlah dua rindu yang aku mampatkan menjadi satu.

Emily tersenyum dan segera menyimpan kertas pesan itu. Kini ada Bhiru di antara mereka. Senyumnya semakin merekah oleh jutaan kebahagiaan yang tiba-tiba datang entah dari mana.

Emily memanggil Bhiru dan segera menyerahkan kotak coklat tepat setelah gadis kecil itu duduk di pinggir tempat tidurnya.

“Dari om Adnan. Ini coklat untukmu, Kak. Bukan buat mama.” Kata Emily.

“Om yang tadi siang? Dia mengenalku? Dia siapa, Ma?” Bertubi-tubi pertanyaan Bhiru.

“Dia mengenalmu dengan baik, Kak. Mama akan menceritakan tentang Om yang datang tadi siang, tapi nanti,” jawab Emily berusaha hati-hati, “Sekarang kembalilah ke kamarmu dan nikmati coklatmu.”

ooOOoo

OMA MIRRIAM

Oma Mir tak muda lagi, tetapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya. Setelah kematian papanya Emily, dia hidup sendiri ditemani pembantu setianya. Sesekali – biasanya di akhir minggu – Emily dan cucu tersayangnya Bhiru datang dan seringkali menginap menemaninya.

Sekarang hari Jum’at, Emily meneleponnya dan sekarang dia memberi berita yang menarik kenangannya ke peristiwa lima belas tahun silam.

Adnan datang, Ma. Aku bertemu dengannya kemarin siang. Dia ingin mengajakku berbicara lagi besok malam.” Suara Emil terdengar tenang dan tegas, persis seperti lima belas tahun silam ketika dia bersikeras mempertahankan hubungannya dengan Adnan, lelaki muda yang dianggapnya tak memiliki kesanggupan dengan masa depan Emil.

Oma Mir menarik napas panjang. Ada rasa bersalah di setiap tarikan nafasnya dan ribuan penyesalan di setiap udara yang dikeluarkannya.

“Temuilah dia, Mil. Lima belas tahun kalian menderita karena mama … “

Tidak, Ma. Bukan salah mama. Takdir kita memang seperti ini.” Sergah Emily. Dia tak ingin menyalahkan siapapun atas apa yang telah dialaminya. Pembicaraan tentang Adnan adalah hal yang paling dihindarinya selama ini. Tetapi sekarang dia harus melakukannya. Oma Mir paham itu. Dia menyadari kegigihan putrinya bertahan dengan Adnan bukanlah hal yang bisa disepelekannya.

“Temui dia, ajak dia menemui Bhiru, putri yang tak pernah dilihatnya.” Pelan suara oma Mir. Ada nyeri di hatinya, membayangkan kesulitan yang dialami oleh Emily putri semata wayangnya dan Adnan. Dan terutama kehilangan yang harus dirasakan Bhiru, cucu tersayangnya.

Dia datang ke rumah kemarin siang, atas ijinku. Hanya ingin melihat kelebat Bhiru. Mereka sempat bertemu sebentar.” Kata Emily, dia menceritakan pertemuan Adnan dan Bhiru siang itu. Oma Mir memilih untuk diam dan mendengarkan semua cerita Emily. Sudah saatnya bagi dirinya untuk diam dan membiarkan putrinya memilih jalan.

“Sampaikan salam mama buat Adnan, ya … “ Kata oma Mir di ujung pembicaraan.

Selesai berbicara dengan Emily, oma Mir memilih selonjoran di atas kursi panjangnya. Oma Mir berbaring dengan kenangan masa lalu yang mendadak memenuhi ruang kepalanya.

Lima belas tahun lalu adalah puncak keras kepalanya. Dia menolak Adnan sekuat yang dia bisa. Begitupun sebaliknya, Emily bertahan dengan pilihannya. Sekeras yang dia bisa. Rasa kaget yang luar biasa datang ketika Emily tiba-tiba meminta ijin padanya untuk menikah. Oma Mir tegas menolak. Papa Emily tak banyak bicara di masalah itu.

Seminggu kemudian, papa Emily mengajaknya bicara.

“Ma, Adnan telah menikah siri dengan Emil. Aku yang menjadi walinya.” Kata papa Emily. Oma Mir kaget bukan kepalang, kemarahannya datang tanpa bisa dibendung. Dia melempar apa saja yang bisa diraihnya sebelum papanya Emily menenangkannya.

“Mereka tidak menikah siri diam-diam. Mereka telah meminta ijin pada mama sebelumnya, dan mama menolaknya. Pahamilah, mereka tak ingin dipisahkan, Ma.”

“Kenapa papa mengijinkannya? Kenapa papa mau menjadi wali mereka?” Teriak Oma Mir tanpa mau mendengar semua penjelasan.

“Mereka telah dewasa. Kita tak akan sanggup membendung apa yang mereka punya. Papa tak ingin mereka berbuat dosa, itulah kenapa Papa nikahkan mereka. Meski hanya nikah siri, setidaknya kewajiban kita kepada Tuhan tak masalah lagi.”

Pertengkaran itu berlanjut dan terus berlarut-larut.

Selanjutnya Emily pindah ke rumah kontrakan, dia hidup sendiri dan sesekali Adnan datang membantu.

Malam itu dan hari-hari selanjutnya berisi kemarahan Oma Mir. Hati dan pikirannya hanya tertuju pada cara untuk memisahkan Emily dari Adnan.

Sampai Emil memberitahu tentang kehamilannya, kemarahan Oma Mir semakin menjadi-jadi.

“Kalian memang telah menikah siri, tapi apa kata orang nanti? Apa kata keluarga besar kita nanti? Orang-orang akan menuduhmu hamil di luar nikah! Ditaruh di mana muka mama?” Raungnya ketika itu.

“Aku tak hamil di luar nikah, Ma. Aku menikah resmi di depan Tuhan,” bela Emily.

Oma Mir tak peduli dengan berbagai alasan. Kemarahannya sekarang berubah menjadi tindakan. Dia menyuruh banyak kenalan dan relasinya untuk memisahkan Adnan dan Emil. Dia juga menyewa banyak orang suruhan untuk membuat hidup Adnan berantakan.

Bhiru menjadi korban pertamanya. Dia memaksa Emily dan sang cucu untuk kembali ke rumahnya dan menjaga mereka sepanjang waktu. Tak ada celah bagi Adnan untuk berkunjung dan bertemu. Emily mengambil cuti kuliah ketika itu.

Sampai pada suatu malam, oma Mir mendapati Emily menangis diam-diam. Oma Mir tahu, sesuatu sedang terjadi tetapi dia enggan menanyakannya.

“Entah apa yang telah mama lakukan, Adnan telah pergi,” kata Emily. Suara tenangnya terdengar dingin. Tak ada emosi, tak ada kemarahan. Oma Mir mengingat bulu kuduknya berdiri oleh ketenangan sikap Emily, ada ketakutan yang tiba-tiba datang padanya. Ada penyesalan yang tiba-tiba disadarinya.

Di antara derasnya air mata, sikap tenang Emily membuatnya sadar. Kemarahan telah membutakan banyak akal sehatnya sebagai orang tua.

ooOOoo

BAWA AKU KE TENGAH HUJAN, AJAK AKU MENARI TANPA HENTI

Malam hari di warung rawon mbok Rah. Meja kecilnya masih seperti dulu, guratan kayu dan bekas tumpahan bumbu seolah menjadi daya pikat dan isyarat datangnya rasa nikmat. Ada aroma sedap berusia puluhan tahun, sejak warung itu buka dan mbok Rah masih remaja.

Adnan duduk berseberangan di depan Emily. Meja kecil di antara mereka tak mampu memisahkan keduanya. Ada buncah rindu yang jelas terlihat di antara tatapan mata dan gerak tubuh mereka. Ujung jemari Adnan sesekali menyentuh jemari Emily. Setiap kali itu terjadi, dunia Emily seolah meredup menyisakan hanya dirinya dan Adnan. Degup di hati Emily pada Adnan tak pernah mati.

“Kau rindu Surabaya, Mas?” Tanya Emily. Kali ini matanya telah memiliki keberanian menatap tepat ke mata Adnan. Dia mencari tatapan sayang yang telah lama dia rindukan.

“Aku rindu setiap kelokan dan jalan lurusnya, Mil. Indah oleh kenangan. Aku terikat oleh setiap jengkal jalan yang dilewati roda vespaku.” Jawab Adnan. Jemarinya memainkan jemari Emily, “Kaki dan hatiku tertambat di sini, ikut kemanapun kakimu pergi,” lanjutnya.

"Aku ada di dalamnya?" Kata Emily menggoda.

"Selalu ... " Sahut Adnan tanpa ragu.

Emily selalu suka dengan pujian Adnan, ada ketulusan yang tak tertutupi oleh omong kosong dan rayuan gombal. Emily berusaha menutupi rona merah yang mulai merayap di pipinya, dia menyapukan pandangan ke arah luar.

“Mendung sejak sore, Mas. Sekarang, uap dingin air hujan mulai terasa. Sebentar lagi hujan akan turun,” kata Emily.

Adnan melihat ke arah luar, uap air hujan masuk terbawa angin ke dalam warung, tipis menyapu kulit tangannya.

“Kita bungkus saja rawonnya, kita makan di rumahmu? Sebelum hujan turun”

“Aku menunggu datangnya hujan, Mas. Aku ingin menari-nari di bawah derasnya … “ Bisik Emily lirih.

“Di malam hari?” Kata Adnan setengah bertanya. Menari di bawah derasnya hujan, mereka sering melakukannya dulu. Ketika masa muda masih menjadi milik mereka.

“Aku tak peduli siang atau malam. Aku ingin menari-nari lagi bersamamu,” kata Emily tanpa ragu.

Adnan mengalihkan tangannya, menggenggam erat tangan Emily.

“Emily - kupu-kupu mungilku – lima belas tahun telah membekukan masa muda kita, kita tak menua. Rindu yang aku endapkan keras seperti batu, kian lama kian membesar. Sekarang aku ingin melepaskan beban rinduku.”

“Kita menari-nari lagi, Mas.” Kata Emily, sekarang dia menemukan tatapan sayang di mata Adnan. Lima belas tahun dia menunggu tatapan mata itu.

“Kita menari-nari lagi. Apapun yang kau mau … “ Balas Adnan.

Adnan melepaskan pegangannya dari tangan Emily ketika mbok Rah datang dengan nampan-nampan berisi pesanan. Adnan dan Emily segera menghabiskan dengan selingan berupa candaan dan sesekali saling bersentuhan. Tepat setelah Adnan membayar, hujan besar datang. Suaranya seperti tetabuhan menghantam atap seng warung mbok Rah.

“Lepas jaketmu, mas. Bawa aku keliling Surabaya sambil hujan-hujan,” kata Emily setengah berteriak, berusaha mengalahkan kerasnya dentuman suara hujan.

Adnan melepas jaket jeans-nya dan menalikannya di pinggang. Dia menarik tangan Emily dan keduanya segera berlari ke arah parkiran menuju vespa biru muda yang setia menunggu.

Adnan menstarter si biru muda dan Emily hapal apa yang harus dilakukannya, naik di boncengannya. Tangannya erat memeluk pinggang Adnan. Adnan menarik tangan Emily ke arah depan membuat tubuh mereka seolah menyatu, semakin rapat diikat oleh rasa rindu. Perlahan-lahan, vespa yang mereka kendarai melaju menuju jalan raya, di bawah siraman hujan Surabaya.

Bulan sedang berada di puncak purnama, segaris sinarnya menembus hujan dan menimpa bagian tengah jalan raya, membentuk garis lurus berwarna kuning emas. Seolah menjadi penanda arah bagi masa depan mereka.

Memang benar, waktu telah membekukan masa muda keduanya. Di tengah derasnya hujan, keduanya menyusuri jalanan Surabaya. Sesekali berhenti lalu menari-nari di bawahnya.

ooOOoo

COKLAT UNTUK BHIRU

Bhiru mengamati kotak kotak coklat berbentuk segi empat memanjang pemberian mamanya. Bentuknya cantik, diikat dengan pita panjang yang dibentuk saling menyilang, dan ujung-ujungnya diikat menyerupai bentuk kupu-kupu. Bhiru menyukai warnanya: biru.

Dulu kau pernah menanyakan kenapa mama makan coklat di gelas gula-gula pelan-pelan?” Tanya mamanya kemarin sore.

Karena mama menyukai kenangan yang dibawa setiap saripatinya," kata mamanya. "Buatmu, Kak. Kau memiliki masa depan untuk tiap coklat yang kau kunyah. Dulu kau selalu menanyakan tentang papa yang tak kunjung pulang. Sekarang, setiap kali kau merindukan kedatangan papamu, kunyahlah barang sebatang. Papamu akan segera datang.

Di usianya yang sekarang, Bhiru telah memiliki kepekaan dan pikiran menjelang dewasa. Ucapan mamanya dia hubungkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya.

Tentang papanya, Bhiru teringat pada teman mama yang memberinya coklat yang sekarang dikunyahnya. Omongan mama menguatkan dugaan di pikiran remaja ini.

Dia teringat tatap mata dan senyum lelaki itu. Bhiru tak asing dengannya, dia melihatnya setiap hari ketika bercermin. Senyum dan tatapan teduh lelaki itu seperti miliknya. Tak kurang tak lebih. Di bilik hati terdalamnya, Bhiru menebak hubungan antara dirinya dan om Adnan.

ooOOoo

Surabaya - Pernah diguyur hujan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Makasih, Nur
Suka sama cerpenya👍💕
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi