“Aku sudah mengambil sekeping waktu untuk kau kunjungi. Waktu yang sudah kuambil, tidak akan bisa dikembalikan ke tempat waktu itu seharusnya terjadi. Kau akan menyesal seumur hidupmu jika tidak mengambil kesempatan ini.”
Aku melengos panjang. Sudah seminggu dia berada di sini. Mengganggguku dengan setiap ucapannya seperti seorang penjual yang meyakinkan pembelinya dengan produk dagangannya. Hampir setiap jam aku mendengarkannya mengoceh tentang waktu yang diambilnya untukku. Jujur saja, aku tidak tertarik dengan waktu.
***
Dia membuatku terkejut setengah mati saat pertama kali melihatnya. Berdiri di depan pintu kamarku dengan sepasang sayap emas yang lebarnya bisa untuk menutupi tubuh mungilnya itu. Seakan tidak memberiku kesempatan untuk bernapas setelah terkejut, gadis dengan mata bulat dan hidung bangir itu bertanya, “Apa kau akan pergi ke sekeping waktu yang sudah kuambilkan untukmu?”
Ah, lihatlah dia sekarang. Meringkuk kedinginan duduk di sebelah jendela yang terbuka. Hujan sangat lebat malam ini. Seketika dia terlihat sangat rapuh di mataku. Dengan wajah kecewa karena penolakanku, kedua bola mata bulatnya menghadap ke luar jendela seolah badai yang ada di luar bisa mengobati perasaannya.
“Menjauh dari jendela jika tidak ingin mati beku,” ucapku sambil pura-pura sibuk menatap televisi yang sedang menayangkan berita olahraga. Ekor mataku sedari tadi mengamatinya.
“Seorang peri pengambil waktu tidak akan bisa mati. Mereka sudah tahu dengan takdir mereka sendiri. Karena mereka sudah melihat semua waktu,” jawabnya tanpa melirik ke arahku.
Aku mengambil jaket yang ada di sofa sebelahku, lalu melemparkan ke arahnya. “Aku tidak ingin dihakimi ratumu jika mereka mendapatimu mati membeku di rumahku.”
Dia bergeming. Tidak menghiraukan jaket hitam besar yang kulempar itu, “Peri tidak membutuhkan baju lain selain baju yang dipakainya.”
“Ah, terserah!”
***
“Aku tidak tahu berasal dari tahun kapan, karena aku sudah menjelajahi setiap waktu. Masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Semuanya sudah kulalui. Waktumu, waktuku, waktu hampir semua orang di muka bumi ini sudah kulihat. Datang ke rumahmu adalah tugas pertamaku. Aku perlu untuk memberimu sekeping waktu agar hidupmu tidak selalu begini.”
“Tugas pertamamu? Sekeping waktu? Apa maksudmu? Kau siapa sebenarnya?”
“Aku peri pengambil waktu. Ditugaskan oleh Ratu Waktu untuk memberikan sekeping waktu yang indah untuk orang yang hidupnya sangat menyedihkan. Dan aku sudah mengambil waktu yang paling indah untukmu.”
“Berapa umurmu?”
“Eh? Umurku sembilan belas tahun jika dihiting dari berapa lama aku berkelana waktu. Aku sudah tahu semua tentangmu. Ratu Waktu selalu punya cara untuk membahagiakan manusia. Dan sekarang, maukah kau ikut denganku untuk melihat waktu yang sudah kuambilkan?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena aku benci waktu.”
***
Aku bukan manusia bodoh yang begitu saja percaya pada ceritanya. Tentu saja itu tidak masuk akal bagiku. Tapi, setiap kulihat gadis mungil dengan sayap lebar yang selalu terkembang saat pagi itu, ada perasaan yang mengganjal dalam diriku. Apakah aku mulai mencintainya?
Gadis itu jelas terlihat sempurna. Wajahnya cantik, rambut sebahu yang hitam lebat miliknya sungguh menawan, juga sepasang sayap emas di punggungnya yang menyesakkan ruangan saat pagi hari. Tidak ada yang kurang dari gadis yang hampir setiap hari berceloteh tentang waktu. Dia juga menyiapkan makanan untukku. Dia sudah menjadi bagian dari hidupku sejak seminggu yang lalu.
“Sampai kapan kau akan di sini?” tanyaku saat dia sedang menyisir rambutnya.
“Sampai kau mau ikut untuk melihat sekeping waktu yang sudah kuambil,” sahutnya enteng sambil terus menyisir rambutnya.
Aku berjalan mendekatinya yang sedang duduk di depan cermin besar di kamarku. “Berapa lama aku akan berada di waktu itu?” ah, aku mulai mempertimbangkan untuk ini. Padahal sebelumnya tekadku sangat bulat untuk menolaknya.
“Ah, jadi kau sudah mau untuk melihat waktu bersamaku?” wajahnya berseri.
“Berapa lama?”
Kenapa sekarang aku mulai mempertimbangkannya?
“Satu hari.”
“Baiklah,” jawabku.
Hei! Apa yang baru saja kukatakan? Aku menyetujuinya? Ah, tidak mungkin. Kulihat gadis mungil yang sekarang melompat-lompat kegirangan karena jawabanku. Langsung saja tangannya menyambar lenganku.
“Ayo, sekarang kita pergi.” Dia menjulurkan tangannya ke arahku. Wajahnya mengisyaratkan untuk mengenggamnya.
***
Aku tidak akan percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Aku melihat diriku sendiri dalam balutan pakaian khas seorang pengantin laki-laki—kemeja putih dipadu dengan jas hitam—dengan senyum mengambang di bibir. Sangat berbeda dengan pakaianku sehari-hari—kaos lusuh dan celana jeans kumal.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan besar ini. Gereja. Aku berada di sebuah gereja beraltar panjang dan lebar. Bangku panjang yang berada di sisi kanan dan kiri terisi penuh oleh orang-orang yang tidak kukenal. Jelas saja, aku tinggal sebatang kara setelah orang tua dan adikku meninggal beberapa bulan lalu.
“Apa itu kau?” tanyaku pada peri pengambil waktu yang berdiri di sebelahku.
Dia mengangguk cepat dengan raut wajah bahagai. “Ini hari pernikahanku. Ah, bukan, pernikahan kita maksudku.”
“Hah?! Ki-kita?” tanyaku kaget.
Dia tidak menjawab lagi. Matanya menatap ke arah seorang gadis dengan pakaian pengantin yang sangat indah dan megah yang berjalan di altar dengan sayap emas yang begitu besar dan berkilau. Sama seperti laki-laki yang mirip denganku itu, wajah gadis itu berseri. Berbahagia.
Mereka saling berpandangan dan bertukar senyum. Tidak pernah kulihat senyumku selebar itu. Aku tidak terlihat seperti aku yang sekarang. Sangat berbeda.
“Hei, kemana sayapmu?” tanyaku heran sambil mataku menelisik keanehan di punggung mempelai wanita.
Dia tidak menjawab. Lebih tepatnya tidak menghiraukanku. Matanya asik melihat waktu yang seharusnya aku yang menikmatinya.
Sumpah, itu jelas ucapan sumpah seorang mempelai laki-laki yang baru saja kudengar. Terdengar lantang dan jelas. Tidak salah lagi. Orang itu baru saja menyatakan sumpahnya.
***
“Siapa kau sebenarnya? Kenapa aku bisa menikah denganmu?” masih banyak tanda tanya yang akan kulontarkan padanya setelah melihat sekeping waktu itu.
Kulihat gadis itu tersenyum, “Sebenarnya aku adalah istrimu di tahun dua ribu dua puluh.”
“Kau tidak mungkin jadi istriku. Kau bukan manusia! Atau kau berbohong? Kau sebenarnya bukan peri pengambil waktu, melainkan manusia biasa. Jelaskan semuanya padaku!” hardikku.
Wajahnya yang berseri mulai redup karena ucapanku. Tubuh mungilnya yang dari tadi berputar-putar kegirangan karena baru saja melihat pernikahannya, terduduk di sofa hitam panjang yang menghadap ke arah televisi.
“Baiklah, sebenarnya ada hal yang belum kuceritakan padamu. Tentang kehidupan peri pengambil waktu. Bangsa kami tidak terlalu banyak berada di muka bumi ini. Dalam hidup kami, hanya ada satu tugas yang diberikan oleh Ratu Waktu. Aku sudah pernah mengatakannya bahwa ratu akan memberi tugas kepada kami untuk memberi sekeping waktu untuk orang yang hidupnya sangat menyedihkan. Dan kau perlu tahu, tugas itu diberikan sekali seumur hidup. Dan sekeping waktu yang kami ambil harus dari waktu orang yang akan menjadi suami kami. Dan aku memilihmu,” terangnya.
“Kenapa aku?”
“Karena aku yakin, aku bisa membuatmu bahagia.”
“Caranya?” tanyaku tidak sabar.
Dia tersenyum. Hambar. Menyakitkan melihat wajah pilunya seperti itu. Untuk pertama kalinya aku melihatnya sesendu itu. “Ratu sudah mengaturnya. Semuanya akan berakhir bahagia jika orang yang hidupnya menyedihkan itu mau melihat waktu yang sudah kami ambil.”
Aku terdiam lama. Selama ini—setidaknya sejak aku hidup sebatang kara—aku tidak pernah lagi memikirkan tetang waktu, apalagi kebahagiaan. Bagiku, kebahagiaanku sudah lenyap, dibawa oleh kedua orang tua dan adikku ke kuburan mereka. Namun sekarang seorang gadis entah dari mana yang menamai dirinya sebagai peri pengambil waktu datang memberikan kebahagian hanya dengan melihat sekeping waktu yang sudah diambilnya. Ah, hidup ini benar-benar gila.
“Tapi, kau pernah mengatakan bahwa waktu yang sudah kau ambil tidak bisa dikembalikan lagi. Jadi, kapan aku akan menikah? Apa di dunia nyata aku akan melewatkan hari itu?”
“Kau tidak perlu khawatir. kita baru saja melakukannya.” Diangkatnya telapak tangannya, memamerkan jari-jarinya yang lentik. Dan…, sesuatu yang berkilau di sana. Cincin berlian!
Masih segar diingatanku, cincin itu adalah cincin yang dipasangkan sepasang mempelai yang menikah di gereja besar yang tadi kulihat. Dan cincin itu sekarang melingkar di jari manis gadis itu. Cepat-cepat aku melihat telapak tangan kananku. Cincin yang sama melingkar di jari manisku.
“A-apa maksudnya ini?”
“Waktu selalu memiliki misteri, Sayang.”
Perlahan sayap di punggungnya menghilang.
***