Nina kembali membuka lembar kertas yang kali pertama ia baca sebulan lalu. Surat itu berasal dari sahabat pena yang hampir setahun penuh ini rutin bertukar kabar dengannya. Baris kata tersusun rapi dalam dua lembar kertas folio, huruf sambung dengan gaya tegak lurus dan ramping berderet-deret dari sisi kiri ke sisi kanan, menyusun paragraf demi paragraf yang telah Nina baca berulang kali. Isi dalam surat sebagian besar menjabarkan petunjuk waktu dan tempat, Nina mendekatkan kertas berwarna putih tulang itu hingga setinggi matanya, dari dekat samar-samar ia dapat mencium wangi bunga mawar dari kertas yang telah dibuka dan dilipatnya berulang kali hingga kertas itu tidak terasa kaku lagi. Nina menengok jam tangan tua di pergelangan tangannya, masih ada waktu sepuluh menit sebelum angka bergeser menuju waktu janji temu mereka.
Bryant Park selalu ramai, Manhattan selalu sibuk dan New York tak perlu ditanya, tidak ada yang benar-benar pernah beristirahat di kota besar ini. Nina menempuh perjalanan dengan kereta api sekitar empat jam dari kota tempatnya hidup sekarang, ia senang setelah sekian lama akhirnya ia dapat mengunjungi New York kembali, terlebih lagi kali ini ia akan berjumpa dengan sahabat pena yang belum pernah ia jumpai. Di balik kertas yang masih ia genggam dengan erat terdapat sebuah foto yang menampilkan wajah seorang perempuan sedang tersenyum dengan riang, matanya biru dengan rambut berwarna gandum. Nina melipat kertas surat yang telah mantap dibacanya, ia menyelipkan foto dengan hati-hati di antara lipatan kertas lalu memasukannya ke bagian dalam mantelnya.
Lampu dari gedung-gedung tinggi menghiasi pemandangan langit malam, Nina duduk di salah satu bangku yang tersebar dan berleret-leret di sisi kiri-kanan taman, mengitari sebuah tanah lapang berbentuk persegi yang sudah disulap menjadi lapangan seluncur es, orang-orang bermain seluncur es dengan beragam ekspresi, ada yang riang gembira dan ada juga yang menampilkan ekspresi murung atau datar, ada yang sangat handal bak atlet seluncur indah dan ada juga yang kaku seperti robot. Sebentar lagi Natal tiba, sebuah pohon raksasa tinggi dan menjulang dipasang dekat lapangan seluncur es, ornamennya sangat meriah dan juga serba warna-warni menarik hati. Nina duduk membelakangi sebuah patung baru yang menampilkan wajah Gertrude Stein tua duduk bersila tanpa rasa pegal. Udara terasa lebih dingin malam ini, bila sahabat penanya sudah datang pasti ia akan segera mengajaknya pergi menuju salah satu kios yang menjual coklat hangat, sekali lagi Nina memeriksa jam tangannya setelah itu kepalanya menoleh ke kiri-kanan-depan-belakang dari kejauhan matanya yang sehat dapat melihat bangunan hitam gosong yang dikenal sebagai American Standard Building, bangunan itu bergaya gothic dengan sentuhan art-deco yang menawan. Nina menengadah menatap cahaya kota yang selalu terang dan menggoda setiap insan untuk dapat menakhlukannya. Nina jadi teringat akan masa kecilnya.
Nina pindah ke Amerika saat ia masih berada di sekolah dasar, orang tuanya dengan seluruh simpanan harta yang mereka miliki dengan tergesa-gesa pergi meninggalkan negara tempat kelahiran mereka ketika perang saudara tidak dapat terhindarkan lagi. Menjadi imigran atau memilih menjadi imigran bukanlah hal yang mudah, bahkan bagi Nina yang kala itu gigi susunya belum tanggal semua. Mungkin bagi orang dewasa menjadi imigran adalah persoalan perjuangan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, tapi bagi Nina kecil menjadi imigran adalah persoalan menghadapi kenyataan bahwa ia akan tubuh di tempat yang akan selalu menganggapnya berbeda, baik karena bentuk matanya yang berbeda, warna kulit dan rambutnya yang memiliki kilau berbeda, cara bicaranya saat berbicara broken English dengan aksen yang sangat kental atau karena cara bersikap keluarganya yang masih memegang teguh adat leluhur mereka bahkan di tanah asing ini.
Di negara asalnya setiap orang diajarkan untuk memuja dewa-dewi yang memiliki berbagai nama dan wajah yang berbeda, setiap orang harus belajar mencintai dan memuja dewa-dewi sejak dini, termasuk juga Nina diajari untuk turut begitu. Tapi, di negara baru ini wajah dewa-dewi yang dipujanya begitu asing bahkan tak ada yang mengenalinya, ketika ia menceritakan tentang dewa-dewi pada suatu pelajaran di muka kelas ia ditertawakan oleh setiap mulut di dalam kelas. Nina mengalami kesulitan dalam mencari kawan baik untuk sekedar berbincang ataupun untuk bermain. Di sekolah kawan-kawannya lebih senang mengolok-olok bentuk matanya yang memiliki bentuk seperti bulan sabit daripada menyapanya dengan ramah. Di rumah ia juga lebih sering sendiri, Papa perlu melakukan tiga jenis pekerjaan yang berbeda agar mereka dapat bertahan hidup dan Mama juga harus melakukan pekerjaan seharian penuh agar mereka dapat hidup layak di negeri yang terasa asing dan dingin, Nina kecil sudah mengerti betapa beruntungnya anak-anak yang tidak perlu kabur dari negara kelahiran mereka sendiri.
Nina tak pernah menceritakan kesulitannya pada Papa atau Mama, ia memilih untuk menyimpan pengalaman yang tidak mengenakan itu untuk dirinya sendiri. Pada suatu sore saat ia begitu kesepian dan bosan ia tak sengaja melihat iklan mengenai korespondensi sahabat pena untuk anak sekolah di sebuah surat kabar, ia mengatakan kepada Papa dan Mama bahwa ia ingin mencobanya dan orang tuanya pun menyetujuinya. Awalnya Nina hanya mempunyai seorang sahabat pena namun lama kelamaan dengan semakin baiknya cara ia menulis dan berbahasa Inggris maka sahabat penanya semakin bertambah banyak. Nina memiliki beberapa sahabat pena yang senasib dengannya, anak-anak yang berasal dari tanah jauh, tetapi ia juga banyak menemukan anak-anak Amerika atau setidaknya mereka yang dari lahir tumbuh dan besar di negeri Paman Sam, mereka menulis dengan sangat baik kepadanya dan bahkan mereka juga sangat tertarik dengan dewa-dewi yang ia sayangi, Nina jadi paham bahwa tidak semua anak di negeri ini akan merundungnya seperti di sekolah. Sejak itu Nina tidak pernah berhenti menulis, bahkan sekarang ketika ia telah tumbuh dewasa dan bekerja sebagai seorang peneliti ia terus menulis surat pena baik kepada sahabat penanya yang lama maupun yang baru dan penting baginya untuk dapat berjumpa secara langsung dengan sahabat-sahabat penanya.
Sebuah gelas kertas beraroma coklat panas hadir di hadapan Nina yang masih asyik melamunkan sahabat-sahabat penanya. Gelas itu hadir melalui sebuah tangan terbungkus sarung tangan kulit berwarna hitam, Nina menoleh ke atas untuk melihat tangan milik siapa itu. Wajah jenaka dengan mata biru dan rambut warna gandum berdiri di hadapannya, tangannya masing-masing memegang sebuah gelas kertas. Nina mengenali ciri yang ada di wajah jenaka itu tapi ia tak mengenali nama orang yang berdiri di hadapannya, ia teringat banyak kasus penyerangan yang terjadi di kota New York tapi ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin.
“Betul Nina?” pupil mata Nina membesar, dia bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan pria di hadapannya ini. “Saya Paul Hambert.”
Gelas kertas yang masih belum diterima oleh tangan Nina masih menanti dengan sabar untuk berpindah tangan.
“Di mana Larissa?”
Nina yakin pria itu pasti sanak saudaranya Larissa, sahabat penanya. Tapi ia tak mengerti mengapa bukan Larissa yang sekarang dijumpainya.
“Boleh saya duduk?”
Nina menggeser banyak pantatnya, memberi ruang lebar antara dirinya dan Paul.
“Silahkan.”
“Silahkan, ini coklat panas untukmu, saya dengar salju akan turun malam ini dan benar juga agaknya udara semakin bertambah dingin.”
Nina tidak dapat menolak segelas coklat panas di udara yang membuat kulitnya keriput. Ada jeda panjang, untung segelas coklat panas dapat mengisi jeda yang terasa canggung di antara mereka.
“Terima kasih coklatnya, enak sekali.”
“Ya coklat hangat di seberang sana terkenal sangat enak.”
Paul menuju ke arah seberang, memang ada beberapa kios kecil, Nina tak tahu mana kios yang menjual coklat hangat yang telah habis ia minum.
“Biasanya lebih ramai daripada itu.”
Nina tak tahu apakah ia ingin menjawab penjelasan itu atau mengulang pertanyaannya mengenai Larissa yang barangkali tidak di dengar dengan jelas oleh Paul tadi.
“Anu, Larissa berkata ingin berjumpa dengan saya di taman ini pada hari ini dan waktu ini tetapi saya tidak melihat bahwa ia akan segera hadir di sini.”
“Begini saya datang kesini juga atas keinginan Larissa.”
Paul mengeluarkan dua buah amplop dari bagian dalam mantelnya, Nina mengenali salah satu amplop tersebut tetapi Paul justru memberikan sebuah amplop berwarna putih yang tak dikenali Nina.
“Larissa mengirim surat ini kepada saya dua minggu yang lalu.”
Nina meraih amplop putih yang tidak dikenalnya tapi dengan cepat ia langsung dapat mengenali tulisan tangan di bagian belakang amplop yang telah terbuka dengan robekan sangat rapi di ujungnya. Nina menduga Paul adalah orang yang cenderung bersikap rapi dan telaten maka Nina pun membuka isi amplop dengan sangat berhati-hati.
Surat itu sendiri berisi banyak kata hangat yang sering diucapkan seorang adik kepada seorang kakak. Nina memicingkan matanya ketika melihat namanya ditulis dengan begitu rapi dan diikuti dengan kalimat-kalimat penyerta yang memuja-muji dirinya, pipi Nina terasa panas di tengah udara dingin.
“Larissa juga menyertakan potret ini dalam suratnya.”
Paul mengeluarkan sebuah potret yang dikirim Nina sebulan lalu dalam suratnya untuk Larissa.
“Apa maksudnya ini?”
Paul memberikan sebuah amplop lagi, amplop yang dikirim oleh Nina sebulan yang lalu. Amplop itu terlihat begitu kumal.
“Apa Larissa yang memberikan surat ku ini padamu?”
Paul menggeleng, “Bukan Larissa yang memberikannya padaku.”
“Lalu kenapa ada padamu?”
Paul meneggak habis seluruh coklat dalam gelas kertas yang sudah tak terasa hangat lagi.
“Seminggu yang lalu terjadi kecelakaan pesawat di Colorado, apakah kamu mendengar beritanya?”
Nina mengingat-ingat kembali berbagai macam berita yang didengarnya selama seminggu kebelakang.
“Ya saya mendengarnya di radio. Kecelakaan yang sangat parah.”
“Kami lahir dan tumbuh besar di Aspen. Saya dan Larissa hanya terpisah waktu kelahiran selama sepuluh menit tapi waktu sepuluh menit itu sudah cukup lama untuk menjadikan saya sebagai seorang kakak.”
Nina terkejut selama ini Larissa belum pernah memberitahunya bahwa ia memiliki seorang saudara kembar.
“Oh, Larissa tidak pernah memberitahu saya perihal itu.”
“Larissa memang jarang membahas hal tersebut dengan orang lain, mungkin karena kami kembar fraternal, dibandingkan saudara kembar ia lebih menganggapku sebagai seorang kakak.”
“Sejujurnya saya pun tidak melihat banyak kemiripan selain warna mata dan rambut kalian, tapi sekali lihat jelas bahwa kalian memang bersaudara.”
“Sejujurnya saya pun sering mendengar komentar seperti itu,” Paul memberi jeda dan seperti menarik napas yang teramat panjang dan berat sebelum ia melanjutkan kalimatnya. “Setelah dewasa Larissa memilih untuk memulai hidupnya di New York, saya cukup sering mengunjunginya namun beberapa bulan ini penelitian saya di Baltimore memakan banyak waktu, sehingga saya jarang berkomunikasi dengannya, terakhir surat yang dikirimnya untuk saya belum sempat saya balas. Seminggu yang lalu saya mendapat telefon dari keluarga saya di Colorado mengenai kecelakaan pesawat, saya bahkan tidak sempat mendengar beritanya di radio. Saya baru tau Larissa menjadi salah satu penumpang dalam pesawat nahas tersebut.”
Nina berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Paul dengan tenang dan setabah mungkin. Sebutir salju jatuh di atas surat Larissa untuk Paul yang masih dipegang Nina.
“Apa maksudmu Larissa...”
“Pemakamannya baru diadakan tadi pagi.”
Air mata Nina terus turun dengan deras bersamaan dengan butiran salju yang turun dari langit malam dan terus turun jatuh menyelimuti aspal kota. Paul memberikan sapu tangannya yang bersih kepada Nina.
Waktu berlalu, sapu tangan Paul sudah hampir penuh dengan butiran air mata. Nina kembali melipat surat Larissa untuk Paul dengan rapi dan memberikannya kembali pada Paul.
“Saya turut berduka cita.”
Paul membalasnya dengan sebuah anggukan singkat dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan dengan suaranya yang malu-malu.
“Anu, sebetulnya sejak melihat potret dirimu saya penasaran dengan sesuatu dan bolehkan saya bertanya mengenai sesuatu?”
“Tentu.”
“Apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?”
Nina terdiam selama beberapa saat.
“Saya juga berpikir begitu, engkau tadi menyebutkan mengenai penelitian dan Baltimore apakah engkau bekerja untuk Dr. Lucas Arnold?”
“Iya betul, dan rasanya saya juga pernah sekilas melihat engkau di basemen..., apakah engkau salah satu asisten peneliti dokter patologi yang ternama itu? Di Boston?”
“Ya betul saya asistennya!”
Nina dan Paul sama-sama tercengang bahwa mereka sedang mengerjakan sebuah proyek penelitian yang sama, ternyata mereka secara tidak langsung saling terhubung, meski terpisah negara bagian tapi mereka mulai dapat mengerti kemana arah surat Larissa yang sesungguhnya. Lapangan seluncur es sudah hampir kosong. Dua orang lewat dan berjalan dengan rapat, salah seorang dari mereka membawa seikat bunga. Ah! Memang orang-orang di New York sangat gemar dengan bunga, di musim apapun bunga-bunga indah dapat ditemukan di berbagai sudut kios bunga yang selalu tampak indah. Baik Nina maupun Paul sama-sama tersenyum dalam hati dan bibir mereka, teringat akan wajah Larissa yang mungkin sedang mengamati mereka dari sisi kehidupan yang lain.
“Mari saya tahu coffee shop yang nyaman di sekitar sini.”
Paul kembali memasukan kedua surat beserta potret Nina yang dikeluarkannya tadi masuk ke dalam mantelnya yang hangat dan aman. Nina dan Paul berjalan beriringan menerjang salju dan orang-orang yang berlalu lalang di Bryant Park.