Melangkah itu maju, jangan menoleh jika tidak perlu. Biar saja segudang kisah di masa lalu terabadikan sebagai kitab tak tertulis. Kitab Kehidupan yang kelak bisa menjadi panduan untuk hidup jauh lebih baik di masa mendatang.
Anggap saja segala rasa yang pernah kita kecap sebagai minuman aneka rasa yang diracik dalam satu cangkir. Sudah tahu bagaimana rasanya, alangkah baik jika cairan keruh dalam cangkir itu bisa kita jadikan cermin.
Jatuh sekali saja menyakitkan, apalagi jatuh berulang kali karena tersandug batu yang sama, lalu tercebur juga ke lubang yang sama. Sakit, bodoh, malu, frustrasi ....
___________________________
Pesta kecil alakadarnya dengan embel-embel pergantian tahun hanya bersama dua sahabatku. Sudah berakhir bahkan sebelum waktu mencapai angka sebelas karena mereka harus menghadiri pesta yang lebih meriah bersama kekasih. Tadi aku mengantar mereka sampai di lobi dan sempat tergelak parah saat melihat mereka yang tomboi, biasa pakai sneakers, tapi gaya-gayaan pakai high heels. Merasa tidak nyaman akhirnya dilepas dan dicangking, lalu berlari-lari keluar.
Menggeleng miris, tanpa sadar aku pun terkekeh lagi. Dasar. Kenapa ribet amat, sih, jadi orang? Mau-maunya menderita hanya demi terlihat sama seperti yang lain. Tidak penting sama sekali.
Kembali sendirian, sepi sekali. Sudah terbiasa, sih. Tapi di saat-saat khusus seperti sekarang ini rasa sepi ini terasa jauh lebih menggigit, mengigatkan bahwa aku masih jomlo di usia dua puluh delapan tahun. Buatku pribadi itu bukan masalah besar, tapi bagi ayah dan ibu .... Yah, tau sendirilah namanya juga orang tua.
Menatap jejak-jejak yang tertinggal setelah keseruan kami barusan, secara alami kotak pandora yang tersegel dalam ruang memoriku pun terbuka. Kilauan warna-warni konfeti yang berserak di lantai mengigatkanku pada masa-masa indah saat masih bersama Kean. Cowok berdarah Belanda, berpacaran dari SMA, tapi putus begitu saja. Putus di saat aku sedang semangat-semangatnya mempersiapkan pernikahan kami.
Ironis sekali. Dia tergoda, jatuh dalam pelukan perempuan lain saat sedang menghadiri pesta ulang tahun seorang teman. Bahkan benihnya sudah berbuah dalam rahim perempuan itu.
Kutatap nyala lilin yang sudah terbakar sebagian dan polaroid---gambar diriku serta kedua teman---yang tertata di lantai, mengingatkanku pada masa dari tahun-tahun yang telah lalu. Masa di mana malam pergantian tahun hanya aku dan Kean rayakan berdua. Kean dengan telaten menata palaroid yang merangkum semua kenangan kami sepanjang tahun, lalu menyalakan lilin dan kami duduk bersila sambil menghitung mundur.
Kean. Sesak sekali rasanya setiap kali teringat kenangan-kenangan manis itu. Sudah bersama selama delapan tahun dan hampir tidak pernah ada perselisihan paham yang serius, aku kira segalanya benar-benar baik-baik saja. Tapi ternyata, kedamaian yang tercipta di antara kami itu adalah, ibarat bom waktu. Menunggu waktu yang tepat untuk meledak.
Tiba-tiba terdengar suara kunci pintu apartemen diputar. Seketika itu juga aku berlari untuk mencegah orang itu masuk, tapi terlambat. Dengan perasaan campur aduk aku menatap sosok yang perlahan muncul dari balik pintu. Tubuhku gemetar dan lutut rasanya lemas.
Dia tersenyum penuh percaya diri, sepertinya sama sekali tidak merasa bersalah. "Hai, Cel."
Aku mengutuk diri sendiri di dalam hati karena bodoh, tidak segera mengganti kunci, juga tidak mengganti kartu pass masuk lobi untuk mencegah Kean datang dan pergi sesuka hati. Setauku dia pergi ke Belanda bersama istri dan anaknya untuk merayakan pergantian tahun di sana. Jadi, aku pun lebih santai.
"Untuk apa kamu ke sini?" Suaraku sinis. Menatap tajam nan dingin, aku ingin dia tau diri. Pergi sebelum diusir.
"Cel, aku ingin tengah malam ini kita duduk bersama seperti malam-malam tahun baru sebelumnya .... Please. Hanya satu kali tengah malam saja setiap tahun, untuk bersama menghitung mudur."
"Tidak, aku mau tidur. Upik abu ini besok banyak kerjaan, Tuan Kean." Acuh tak acuh aku memandangi ruangan yang cukup berantakan. Ada beberapa botol dan kaleng minuman keras berserak di lantai. Bukan aku yang minum, tapi kedua sahabatku tadi.
"Aku akan membersihkan botol-botol itu bersamamu besok. Tapi---"
"Aku bilang tidak, ya, tidak. Masih kurang jelas omonganku waktu itu? Kita harus berhenti, Kean. Harus!" Aku berujar tegas sambil mendorongnya ke pintu, tapi dia malah mencekal pergelangan tanganku.
"Cellin .... Kalau saja aku tau kejadiannya akan seperti itu. Aku pasti menolak pergi ke pesta Doni."
Aku tertawa sarkas. Kalau semua manusia bisa tau apa yang akan terjadi, tidak akan ada penyesalan di dunia ini. Maka aku pun tidak akan pernah kehilangan.
"Kean, dengarkan aku." Aku berbicara dengan nada yang lebih lembut karena tidak ingin menyulut amarah laki-laki yang tampaknya sedang putus asa ini. "Ada orang bijak bilang padaku, jangan punya keinginan untuk membaca halaman terakhir dari kisah perjalananmu. Kamu tau kenapa?"
Bodohnya aku, tentu saja Kean tidak memahami maksudnya. Aku pun segera melanjutkan dengan lebih santai dan mungkin terlihat sok bijak, "Karena sebenarnya di halaman terakhir itu belum tertulis apa-apa. Halaman terakhir dari setiap kisahmu adalah kamu sendiri yang menulisnya. Halaman terakhir itu akan tetap kosong sampai pada akhirnya, dengan sengaja atau tidak, kamu melakukan sesuatu yang memicu sebuah akhir itu terjadi."
Kean berkeras. "Aku tidak mengerti dan tidak peduli! Yang aku mengerti hanya tentang perasaanku padamu! Aku peduli padamu dan sama sekali tidak mencintai Naya! Apa yang terjadi adalah kesalahan! Aku mohon, beri aku kesempatan lagi!"
Tiba-tiba Kean menarikku ke dalam pelukannya. Mengubur wajah di bahuku dan terisak-isak. Ya, Tuhan. Kuatkan hatiku. Aku tidak menyangkal bahwa masih menyimpan rasa pada Kean. Jika, terus seperti ini bukan tidak mungkin aku akan terjerumus lagi.
Dulu dengan segala ketidaktauan, aku tetap bertahan setia saat di luar sana ternyata Kean tersesat dan berkhianat. Aku percaya padanya, terlalu mencintainya dan sangat takut kehilangan. Dan ketika sudah mengetahui pengkhianatannya pun, aku masih tidak bisa move on. Alih-alih mundur, aku malah bertahan. Meski sulit dan rumit, aku rela menjadi simpanan, tinggal bersama tanpa ikatan.
Aku tau itu salah, sangat sadar itu tidak adil untuk Naya istrinya Kean. Tapi hatiku yang marah tidak mau tau. Kean mencintaiku dan seharusnya aku yang menjadi istrinya, bukan perempuan penggoda itu. Selama dua tahun kami menjalin hubungan rahasia, sampai pada akhirnya empat bulan yang lalu aku merasa mendapat karma.
Rumah tangga adikku berantakkan karena suaminya ketahuan berselingkuh. Adikku terpuruk sampai depresi dan sering mencoba mengakhiri hidupnya. Waktu itu, karena merasa berdosa dan ketakutan aku pun meninggalkan Kean tanpa pamit.
Pergi berlibur ke Jepang untuk menenangkan diri selama dua bulan, aku bertemu dua orang malaikat yang menemani hari-hariku di sana. Dari mereka aku belajar bagaimana harus bersikap dan ketika liburan berakhir, aku kembali ke Indonesia dengan satu tekad.
"Jadi, kamu yang namanya Cellin?"
Aku menemui Naya di butiknya dengan niat untuk meminta maaf, tapi sambutannya tidak ramah begitu tau bahwa aku adalah mantan Kean. Kata-katanya ketus dan tersenyum meremehkan, membuat niat baikku sirna seketika.
"Benar, aku Cellin yang pernah hampir menikah dengan Kean." Aku membalas dengan nada yang sama ketus juga tersenyum mencemooh.
Entah apa yang dirasakan Naya saat aku mengatakan itu. Yang aku lihat, dia tampak ingin terlihat baik-baik saja dengan bersikap dingin dan acuh tak acuh. Angkuh, membuatku tergoda untuk memprovokasinya.
"Kean memperlakukanmu dengan baik, kan?"
Naya mendengkus sambil memutar mata bosan. "Apa urusannya denganmu? Aku sibuk, sebaiknya kamu pergi." Dia langsung bangkit dari kursi kebesarannya, menegaskan bahwa kehadiranku tidak diterima.
Aku pun berdiri. Berhadapan saling menatap mengirim sinyal kebencian, aku dengan santai berkata, "Tolong bilangi suamimu, jangan temui aku lagi."
Wajah Naya seketika mengeras, mengupas habis topeng baik-baik saja yang sejak tadi dikenakannya. "Ka-kamu---"
"Layani dia dengan baik supaya tidak mencari kepuasan di luar." Tidak peduli pada Naya yang wajahnya sudah merah padam, sambil memperbaiki tali tas di bahu aku berujar acuh tah acuh. Kemudian kutatap tepat di matanya dan menambahkan, "Butuh saran bagaimana memuaskannya, jangan sungkan menghubungi aku. Ups, sepertinya aku meremehkanmu. Seharusnya aku yang butuh saran darimu. Saran bagaimana cara merangkak ke atas---"
"Keluaaar!"
Akhir pertemuanku dengan Naya tidak sesuai ekspetasi, tidak jadi meminta maaf malah memprovokasi. Saat melihat wajahnya memerah dan seluruh tubuh gemetaran, aku sempat merasa sedikit khawatir bakal terjadi sesuatu yang buruk padanya. Tapi segera setelahnya, sungguh, aku tidak menyesal sama sekali sudah membuatnya sampai seperti itu. Sudah melihat sendiri bagaimana sikapnya, aku justru kasihan pada Kean. Tapi aku tidak boleh membiarkan rasa ini berkembang kalau tidak ingin terjerumus lagi.
Aku menepuk-nepuk lembut punggung Kean. "Berjanjilah satu hal padaku, Kean." Setelah terdiam sekian lama, akhirnya aku pun bersuara.
Kean langsung bersemangat. Melepas pelukan, lalu memegang kedua lenganku dan menatap penuh kelembutan. Hatiku seketika merintih. Ya, Tuhan, jangan biarkan tatapan itu meruntuhkan dinding pertahananku.
"Katakan. Akan aku lakukan apa pun itu asal kamu bahagia."
Akan aku lakukan apa pun itu asal kamu bahagia. Aku lega mendengarnya. Meskipun belum tau apa yang aku minta, dia sudah mau berjanji. Salah satu keistimewaan Kean yang berhasil membuatku terpesona adalah ini. Demi aku, dia benar-benar akan melakukan apa pun. Asal aku suka, dia suka atau tidak, sama sekali tidak penting. Tapi itu dulu.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata untuk menghindari tatapannya. Ketika mata kembali membuka aku berkata tegas, "Ini yang terakhir, di pergantian tahun-tahun yang akan datang jangan pernah datang lagi. Hari-hari lain pun jangan. Pokoknya jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Aku ingin kita benar-benar berakhir. Mengertilah, Kean. Aku mohon mengertilah."
Kean langsung lemas. Perlahan melepaskan lenganku, lalu mundur dan membanting punggung di pintu. Setelah itu, merosot hingga terduduk di lantai. Tanpa malu dia menumpahkan air matanya diiringi suara isak yang membuatku ikut merasa sesak.
Menguatkan hati, aku melangkah meninggalkannya, kembali ke ruang tengah dan duduk mematung di sofa menatap lilin yang masih terus terbakar. Jika ingin melepaskan, aku tidak boleh lemah. Aku tau dia yang waktu itu sedang dalam pengaruh alkohol tidak bisa disalahkan sepenuhnya, tapi apa yang dia lakukan tanpa sengaja telah menciptakan catatan di halaman terkakhir kisah cintanya.
Dia harus membuat lembaran baru yang mana aku tidak akan pernah lagi ada di dalamnya. Aku pun sama. Akan kuciptakan lembaran-lembaran baru untuk menulis kisah yang berbeda. Dia tidak berkeras dan memilih untuk menangis, itu berarti dia masih Kean yang bisa menepati janji.
Kami saling diam cukup lama. Ketika waktu menjelang pergantian tahun hanya tinggal sepuluh menit lagi, Kean menghampiriku.
Melihatnya begitu kacau, hatiku rasanya sakit. Tapi aku tidak boleh lagi berlembut hati. "Duduk saja di sofa. Lantai sudah kotor."
Tanpa kata dia pun duduk di sampingku, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Aku hanya melirik, karena tidak ingin hati ini tersentuh oleh keadaannya yang cukup memprihatinkan.
Kami menunggu menit-menit menjelang pergantian tahun dalam diam. Bahkan juga tidak berani bergerak karena aku takut bersentuhan dengannya. Setelah beberapa menit berlalu, terdengar tarikan napas lembut dan teratur. Perlahan aku menoleh dan mendapati Kean sudah tertidur lelap. Hatiku benar-benar terenyuh saat melihat jejak-jejak air mata yang mengotori wajah putih kemerahannya. Sadar bahwa semakin lama memandang potensi untuk kembali terjerumus juga semakin besar, aku buru-buru masuk ke kamar, tak lupa mematikan lilin terlebih dahulu.
Aku mengunci pintu dan melemparkan anak kuncinya ke kolong tempat tidur, kemudian duduk di tepi pembaringan sembari menepuk-nepuk dada yang terasa sangat sesak. Aku sengaja melempar kunci itu ke tempat yang sulit dijangkau, karena ingin mencegah diri berbuat bodoh. Hanya berdua dengannya, aku tidak tau apa yang akan mungkin terjadi. Yang jelas, aku sangat mengenal diriku sendiri juga sangat mengenal Kean. Hanya satu atau dua jam bertatap muka aku masih mampu bertahan, tapi lebih dari itu .... Aku tidak yakin.
Jantungku berdegup kencang, tangan gemetaran, dan seluruh urat syaraf seperti terjaga dan siaga, membuatku merasa tercekam juga tegang. Sensasi ini mengingatkanku pada saat sedang nonton film horor. Aku bahkan berkeringat dingin.
Aku membanting diri di kasur, menarik selimut, lalu menutup rapat-rapat diri yang meringkuk. Aku memejamkan mata, mencoba untuk relaks. Mengatur napas untuk menenangkan debaran jantung. Malam ini aku tidak akan bisa tidur. Malam pergantian tahun ini akan menjadi malam panjang yang harus aku lalui sebelum pagi menjelang.
Tepat tengah malam, suara kembang api dan terompet seperti saling bersahutan. Aku tidak peduli dengan semua itu karena fokusku tertuju pada pintu. Aku khawatir bahkan takut kalau Kean tiba-tiba mengetuk pintu.
Aku terus mengurung diri di bawah selimut meskipun rasanya pengap dan semakin sesak. Dengan hati tercekam gelisah, menunggu malam yang terasa panjang ini digantikan oleh pagi. Entah berapa lama aku terlelap, ketika bangun keesokan harinya ternyata sudah pukul sebelas siang.
Sempat linglung sejenak sebelum akhirnya teringat bahwa semalam Kean ada di ruang tengah. Rasa cemas pun kembali mencekam hati dan membuatku enggan keluar. Ditambah lagi harus terlebih dahulu mengambil kunci dari kolong. Aku jadi menyesal sudah gegabah, dasar bodoh.
Merasa bodoh juga kesal, aku memukul bantal gemas. Pada saat itulah tanpa sengaja aku melihat selembar kertas di lantai dekat pintu. Aku bergegas turun untuk mengambilnya. Ternyata surat dari Kean.
Selamat tahun baru. Aku pergi, Cel. Aku berjanji tidak akan pernah lagi muncul di hadapanmu, tapi sangat berharap jika suatu saat kita bertemu tanpa sengaja, jangan menjadi asing. Aku hanya butuh waktu untuk membuka hati agar bisa menerima semua ini.
Selamat membuka lembaran-lembaran baru untuk menulis kisah yang baru. Namaku tertulis ataupun tidak tertulis di lembaran baru kisahmu, yang jelas kamu selamanya ada di hatiku.
Selamat tinggal, Cel.
Setelah membaca isi surat aku langsung mengembuskan napas lega dan mengusap mata yang berair, lalu mengucap syukur dalam hati, Tuhan, terima kasih akhirnya aku bisa keluar dari dalam kubangan lumpur.
Meski ada terselip sedikit rasa enggan melepaskan, tetapi sekarang hatiku terasa jauh lebih lega dan ringan. Saking ringannya sampai-sampai seperti melayang dan dengan gampang menyusup ke kolong tempat tidur mengambil kunci.
Sebenarnya, hari ini aku berniat mengurung diri di apartemen, tapi panggilan telepon dari tuan putri kecil memaksaku untuk berkendara sendirian menuju salah satu pusat perbelanjaan.
Selagi aku masih melangkah di koridor mall elit ibukota yang cukup sepi menuju ke tempat kami janji bertemu, tuan putri kecil usia tujuh tahun itu sudah berlari-lari menyongsong.
"Tante Lilin! Tante Lilin!"
"Pelan-pelan, Runi!"
Seorang pria melangkah lebar-lebar mengejar gadis kecil bernama Karunia Dewi Pradana itu.
Melihat mereka, aku merasa seperti melihat cahaya harapan baru datang menghampiri. Kupeluk erat-erat Runi yang sejak pertama bertemu di Jepang memang sudah memikat hati.
"Sejak kapan di Indonesia, Sayang? Kok, tidak kasih tau tante." Gemas dengan pipinya yang tembem, aku pun mencubitnya main-main.
"Runi pengen kasih kejutan buat Tante Lilin." Dia terkikik, lucu dan mengemaskan kucubit lagi pipinya.
"Apa kabar, Cel?"
Aku beralih menatap pria itu. Dia ayahnya Runi. "Kabar baik, Mas. Mas Nathan sendiri gimana?"
"Woiyajelas baik ...."
Aku dan Runi tertawa lepas karena cara bicara Mas Nathan lucu. Dia memang tipe pria dengan selera humor cukup tinggi.
Namanya Jonathan Pradana, usia kisaran tiga puluh lima tahun. Dialah orang bijak yang kemarin malam aku sebutkan di hadapan Kean. Kami bertemu di sebuah taman di Jepang. Berkat Runi juga karena kepribadian Mas Nathan yang hangat, supel, dan humoris, aku jadi merasa sangat nyaman bersama mereka. Merekalah kedua malaikat itu.
Merekalah yang menemani di saat-saat aku sedang dalam kondisi yang benar-benar terpuruk. Orang-orang asing, tetapi sama sekali tidak terasa asing. Merasa begitu nyaman, sampai-sampai aku tidak merasa ragu untuk mencurahkan isi hati pada Mas Nathan.
Dari dia aku belajar untuk menerima kenyataan, berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Mas Nathan pria dan ayah yang sangat baik juga penyanyang, tapi sayang istrinya tidak bisa merasakan kasih sayangnya lebih lama. Perempuan beruntung yang telah berhasil menjadi Nyonya Pradana itu meninggal dunia sesaat setelah melahirkan.
Setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Ada pasang pasti juga ada surut. Mau sampai kapan terus terpuruk dan menangisi masa lalu? Lupakan yang harus dilupakan, tutup buku dan buka lembaran baru.
Akhirnya, di tahun baru ini aku benar-benar bisa merealisasikan apa itu menjadi pribadi baru, membuka lembaran baru, mengijinkan orang-orang baru memasuki kehidupanku dan memulai kisah baru.
Setelah dua tahun berlalu, orang-orang baru yang turut meramaikan perjalanan kisahku, akhirnya benar-benar bisa menjadi keluargaku yang sesungguhnya.
Malam ini adalah malam pergantian tahun pertama kami sebagai pasangan suami istri. Aku berdiri di dekat dinding kaca apartemen menikmati sisa-sisa kemeriahan malam tahun baru di Kota Tokyo ini.
"Bagaimana rasa isi cangkirmu yang sekarang, hum?" Mas Nathan memeluk dari belakang. Sambil bertanya membenamkan wajah di leherku.
"Sama saja, sih. Campur aduk tidak karuan. Tapi, aku lebih bisa menikmati karena ada Mas Nathan dan Runi." Perlahan aku memutar badan, lalu menatapnya lekat. "Kisah yang tertulis dalam lembaran baru tidak mengecewakan."
Mas Nathan terkekeh ringan, membingkai wajahku, menatap lembut dan berkata, "Itu karena kamu memulai kisah baru dengan cara yang tepat. Melepaskan masa lalu ...."
"Dan memilih berpegang pada orang yang tepat." Aku menyambung ucapan Mas Nathan sambil tersenyum lebar.
Sejenak bayang-bayang kegagalan di masa lalu melintas, hatiku pun serasa berdesir. Perlahan aku sandarkan kepala di dada Mas Nathan yang bidang. Nyaman rasanya dan semakin terasa aman saat lengan-lengan kukuh mendekap.
"Kebahagiaan ini mudah-mudahan langgeng. Setelah menjadi keluarga jangan sampai kembali menjadi orang asing." Aku tidak ingin dengan gamblang mengatakan berpisah atau bercerai, rasanya kata-kata itu seperti mantra kutukan.
"Tidak akan. Walaupun akhir perjalanan hidup adalah kematian, tapi aku tidak akan membiarkan kisah kasih kita juga berakhir seperti itu. Raga boleh tanpa sukma, tapi cinta kita akan tetap hidup dan saling menggenggam."
Manis sekali. Kupeluk Mas Nathan erat-erat. Selain humoris, pria yang aku peluk ini juga sangat romantis. Kata-kata cintanya terkadang terlalu berlebihan, seperti anak baru gede yang baru mengenal cinta. Tapi, aku menyukainya.
"Makasih, Mas."
"Kembali kasih, Sayang."
Mas Nathan mencium ubun-ubunku. Setelah itu, tanpa aba-aba mengangkat aku ala pengantin dan melangkah ke tempat tidur.
Perjalanan kisah kami memang belum berakhir, tapi setidaknya, kisah cinta kami sudah sampai pada tujuan. Dulu kami menulis lembaran kisah masing-masing, tapi sekarang, kami bekerja sama untuk menulis di atas lembaran-lembaran yang sama.
Menenggak secangkir minuman dengan banyak rasa mungkin bisa membuat siapa saja keracunan, tapi kalau tau bagaimana cara menikmatinya, tau cara menetralkannya, mengisi diri dengan lebih banyak hal positif, niscaya racun pun tidak akan mampu mencemari darah kita.
Waktu di Jepang Mas Nathan menasihati supaya aku tidak hidup di masa lalu, karena hal itu akan memerangkap dan membuatku semakin enggan melangkah maju.
Memang tidak serta-merta berhasil. Tapi karena telah memutuskan, aku harus konsisten. Aku jadikan Mas Nathan sebagai pegangan dan tempat bersandar sampai pada akhirnya rasa cinta itu pun tumbuh subur. Cinta yang sudah dewasa, cinta yang tau bagaimana menjaga, cinta yang mampu mengenali siapa si pemilik hati.
Sedikit hiperbolis aku bisa mengatakan, dalam dan tulusnya cinta Mas Nathan padaku sudah mencapai tahap; dengan mata tertutup pun dia bisa menemukan di mana aku berada, dalam suasana ingar bingar yang memekakkan telinga pun dia masih bisa mendengar dan mengenali suaraku.
Terima kasih masa lalu, darimu aku bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Cinta luar biasa yang sekarang tengah mencumbuiku, juga hadir karena kamu. Karena kamu telah mengecewakanku.
TAMAT