Disukai
0
Dilihat
94
MENJADI KETUA RT DAN HIKMAH-HIKMAHNYA
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Ayah, bangun, yah! Ayah jadi RT!”

Suara itu masih sering terngiang-ngiang di kepala, bahkan sampai setengah masa jabatan itu aku terima. Cerita ini adalah kisah tentang bagaimana jabatan itu bermula, bagaimana aku menjalani, dan bagaimana aku mencoba mengambil hikmah-hikmahnya.

Kalian harus tahu, di lingkungan bisnis seperti pasar, pertokoan, pabrik, atau perkantoran, jabatan RT memang sering jadi incaran para pengangguran atau pensiunan yang ingin punya penghasilan. Tapi di lingkungan perumahan, jabatan RT adalah beban yang selalu dihindari warga agar hidupnya tetap bahagia.

Seperti di perumahan tempat aku tinggal. Sudah jadi tradisi bahwa setiap Ketua RT yang menjabat adalah mereka yang menjadi korban konspirasi.

Berbeda dengan pilkada yang marak usaha mempromosikan diri, di pemilihan RT setiap warga sibuk menyamarkan potensi diri, mengutarakan sibuknya agenda pribadi, usia yang sudah tak muda lagi, sampai bersembunyi ketika pemilihan terjadi. Semua itu agar dirinya tidak terpilih jadi Ketua RT.

Dahulu kala ada satu masa ketika seorang warga yang mencoba menjerumuskan satu nama untuk menjadi pilihan bersama, yang tragisnya, malah membuat dia terpilih. Ada pula masa ketika pemilihan hanya berlangsung lima menit karena warga kompak aklamasi untuk menjadikan petahana menjabat untuk kedua kali. Perpanjangan jabatan tanpa perhitungan.

Oleh karenanya, jelang pemilihan RT adalah masa-masa waspada para warga untuk tidak salah melangkah. Semua warga berhati-hati dalam memilih sekutu, karena teman bisa menjadi lawan yang mencoblosmu dari belakang.

Sial bagiku yang mengira pengabdian sebagai Sekretaris RT di rezim petahana sudah cukup bagi warga dan segera berlalu, dengan sangkaan Pak RT bakal menjabat kembali, dan paling banter aku jadi sekretaris lagi. Tapi ternyata jabatan yang lebih tinggi itu jatuh menimpaku yang sedang terlelap menutup mata.

Ketika pemungutan suara terjadi, keadaan sedang luar biasa karena pandemi Corona. Panitia pemilihan pun mengambil suara dari pintu ke pintu. Aku merasa kurang peka terhadap pontesi konspirasi yang membuatku sengaja tak dilibatkan agar bisa dikorbankan. Sosok pemungut suara dengan leluasa mendatangi rumah-rumah warga sambil mengembuskan satu nama yang adalah: aku. Parahnya lagi, aku tidak ikut memilih karena belum pulang kerja. Sebangun tidur esok harinyanya, sayup-sayup aku mendengar anakku berkata,

“Ayah, bangun, yah! Ayah jadi RT!”

Aku tidur lagi berharap semua hanya mimpi. Tapi ketika sore terjaga aku pastikan bahwa terpilih menjadi Ketua RT adalah nyata. Sirna sudah harapan kebebasan untuk berwisata kapan saja, berganti dengan keharusan janjian dengan warga dan hadir di rapat-rapat lingkungan. Perlu waktu lama untukku menerima kenyataan.

“Te.”.

“Pak RT.”

Panggilan-panggilan baru itu terasa asing dan menggatalkan telingaku. Perlu waktu dua minggu untuk membiasakan diri bahwa itu adalah panggilan untukku.

Mungkin tidak ada Pak RT yang lebih canggung dariku, karena di antara wargaku ada orang tua dan mertua. Itu karena aku menikah dengan ‘orang dekat’ dan kami mengontrak rumah di sekitar agar anak-anak kami terpantau ketika kami sama-sama keluar untuk bekerja. Ternyata aku malah jadi Pak RT dari ayah, ibu, dan mertua. Untungnya aku tidak sampai menjadikan mereka sekretaris dan bendahara. Sebuah nepotisme yang mungkin memecahkan rekor dunia.

Ada-ada saja nasibku. Setelah membentuk kepengurusan dengan tiga anggota, semuanya pergi meninggalkanku. Yang bendahara mengundurkan diri karena merasa tak punya waktu dengan berkata, “Urusan kantor susah ditinggal, Pak RT.” ujarnya beralasan.

Yang menjadi humas dan biasa memungut iuran warga melakukan korupsi dan melarikan diri meninggalkan anak-istri. Ketika kasus menyeruak seorang warga berkata, “Pantesan aneh, kok mencatat iuran pakai pensil?”, karena ternyata itu agar Mas Humas bisa merrekayasa data, sampai-sampai warga yang kaya raya pun tercatat sebagai penunggak. Jumlah kecil memang tidak bisa membenarkan korupsi, tapi apa yang Mas Humas ambil sungguh jauh dari sepadan dibanding jalan hidup yang harus menjadi pelarian. Harga yang terlampau murah dibanding keluarga, kehormatan dan kepercayaan.

Nasib sekretaris tak kalah miris. Tidak mengundurkan diri dan tidak korupsi tapi harus menghilang bersembunyi. Ia terlilit hutang yang membuat rumahnya sering didatangi. Tak mau merepotkan keluarga, ia pergi tanpa memberi tahu alamat tinggal pasti. Rumahku pun menerima tamu silih berganti, yang datang untuk minta izin menagih utang, dari mulai debt collector, pegawai bank, sampai pengacara.

“Pak RT, rumah saya dikepung debt collector!” kata adik sekretaris RT lewat telepon ketika itu. “Anak-anak saya pada nangis ketakutan!”

“Jangan terlihat panik, karena itu yang mereka inginkan.” ujarku. “Bilang saja Masnya nggak ada, duitnya nggak ada. Selama mereka nggak masuk wilayah pribadi, cuekin saja.”

Aku tidak bisa melarang para penagih utang datang, karena profesi mereka legal. Aku hanya bisa memberi mereka penekanan untuk prosedural dan tetap di luar rumah. Hasilnya cukup beres. Mereka jadi jarang datang, dan tidak ada lagi kepanikan.

“Semoga masalahnya cepat beres, Ji.” pesanku lewat Whatsapp ketika tahu apa yang terjadi. Bagimana mungkin aku marah pada orang yang sedang susah? Aku harus merelakan diri ditinggal sendiri dan sibuk mencari para pengganti. Saking susahnya mencari warga yang mau membantu, yang seringnya menjawab, “Jangan saya, Pak RT.”, aku akhirnya meminta tolong teman sepermain zaman dulu, yang secara KTP masih beralamat di lingkungan, walaupun tinggalnya sudah bukan.

“Atas nama saja.” rayuku hampir putus asa. Untungnya rayuan itu berhasil, walaupun mengambil iuran RT jadinya dibantu oleh Bu RT.

Setelah belum lima bulan menjabat dan sudah ada ressufle kabinet, masalah-masalah eksternal mulai mengemuka. Yang paling awal adalah soal wabah pandemi yang menjangkit sebagian warga.

"Saya sudah betah kerja di sini, Pak RT. Saya nggak mau diPHK. Kalau saya dipecat apa pemerintah mau menjamin?" kata Mas Upi, seorang warga yang seharusnya isolasi mandiri karena mertuanya terjangit covid. Mereka tinggal serumah, dan seharusnya tidak ada yang boleh keluar selama 14 hari. Tapi, diam-diam Mas Upi tetap berangkat kerja. Seorang warga yang menjadi tetangganya mengadu kepadaku dengan ketakutan karena rumah mereka berhadap-hadapan.

"Saya cuma menjalankan kewajiban, Mas Upi. Kalau Mas Upi tetap memutuskan kerja, saya harus melapor ke RW, dan khawatir nanti tempat kerja Mas Upi yang kena sanksi.". Aku terpaksa menakut-nakuti dengan sesuatu yang memang mungkin terjadi.

"Kalau begitu saya nggak akan pulang dulu, Pak RT." katanya mengambil keputusan. Entah dia benar-benar tidak pernah pulang selama 14 hari, atau mencoba membuat saya senang dan tenang saja. Setidaknya, saya dan dia sudah sama-sama bergerak ke titik tengah. Tetangga beliau pun sudah tidak memberi laporan lagi. Tapi kalimat Mas Upi soal tak mau diPHK dan mempertanyakan jaminan pemerintah membuat saya berpikir, betapa dalam pandemi ini banyak orang yang hidup bukan hanya dalam keterpaksaan, tapi juga pertaruhan.

Menjadi Pak RT banyak membuka mata aku. Ternyata banyak masalah dan banyak warga bermasalah yang selama ini tidak aku ketahui. Ada pula masalah yang memang sudah ada namun tadinya tidak memerlukan campur tanganku. Dengan menjadi Pak RT, mau tak mau aku jadi tahu dan harus ikut campur urusan orang. Dengan menjadi RT aku jadi tahu ternyata begini dan begitu. Hal itulah yang membuatku sadar, ternyata salah satu fitur yang harus dimiliki oleh Pak RT adalah: bisa menjaga rahasia. Bagaimanapun juga, beberapa masalah warga memang berhubungan dengan nama baik dan kehormatan.

Salah satunya soal perekonomian warga. Menjadi RT membuat aku tahu bahwa rumah yang megah tak menjamin bahwa penghuninya mampu. Beberapa dari mereka memintaku untuk mendaftarkan mereka sebagai penerima bansos.

“Bansos dong, Pak RT.” kata salah satu dari mereka.

Bagi Ketua RT, yang seperti ini menimbulkan dilema. Kalau tidak didaftarkan, dikira tidak peduli warga. Kalau didaftrakan, bakal membuat petugas survey geleng-geleng kepala dan berkata “Yang begini mengajukan bansos, Pak?” ketika melihat rumah berlantai dua dengan outdoor AC di kedua lantainya.

Tapi itulah dinamika warga. Lebih luas lagi, dinamika kehidupan. Ada rumah megah yang faktanya rumah peninggalan orang tua dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, dengan kepala keluarga yang kesulitan mendapat kerja. Ada juga rumah layak namun penghuninya pensiunan tua yang sakit-sakitan. Ada pula rumah yang punya usaha namun sedikit penghasilannya. ‘Jangan menilai buku dari sampulnya’ sangat pas dengan fenomena ini.

Perihal bansos itu bukan masalah jika semua pasti dapat. Masalahnya, tidak semua bisa dapat, dan bukan cuma pemilik rumah megah yang mengajukan diri. Ketika ada pemilik rumah megah dapat, sementara pemilik rumah sederhana tidak, tentu itu jadi pertanyaan warga, “Kok saya nggak dapat, Pak RT?”

Semua pengurus lingkungan senasib sepenanggungan sudah menyiapkan template jawaban untuk pertanyaan itu. “Bukan kami yang menentukan. Kami hanya bisa mengajukan.”

Sejauh ini, aku bersyukur, protes atas pembagian bansos bukan terjadi di RT-ku, melainkan di RT tetangga. Pak RT tetangga sampai mengajukan pembatalan satu warga yang dapat bansos, gara-gara tak ada yang dapat selain dirinya.

“Pak, RT, saya mau minta tolong soal motor-motor yang parkir di luar” keluhnya. “Masa tiap lewat saya harus turun terus ngetok satu-satu?”

Itulah awal dialog dari seorang warga pemilik mobil yang membuat saya terlibat dalam masalah lain berupa perparkiran. Warga yang memiliki mobil mengeluh karena warga banyak yang memarkir motor di luar sehingga ‘makan jalan’, membuatnya sulit lewat. Dia mengaku selama ini warga pemilik mobil lain pun kerepotan, tapi tidak berani ngomong.

Aku pun membuat kebijakan yang aku bagikan di grup Whatsapp RT. “Yang boleh parkir di luar cuma kalau pemiliknya lagi di luar atau di teras, jadi kalau ada mobil lewat bisa tau. Kalau lagi di dalam masukan motornya.”

Kebijakan itu bisa diterima semua warga. Masalahnya, jalur lewat mobil wargaku beririsan pula dengan jalan di depan rumah-rumah warga di RT lain, sehingga warga pemilik mobil memintaku menyampaikan ke RT sebelah, yang sayangnya berbeda RW. Ketika aku berhasil berbicara dengannya, Pak RT dari RW sebelah malah berkata, “Biasanya juga nggak ada apa-apa.”

Ya bagaimana tidak ada apa-apa, wong ketika ada keluhan tidak ditindaklanjuti.

Waktu menerima tanggapan itu aku perlu banyak waktu buat menerima kenyataan. Kok bisa seorang Ketua RT bilang begitu? Aku pun mengingatkan diri, bahwa tidak semua orang memiliki kepekaan dan kesungguhan dalam mengemban jabatan. Karena itu, aku menaikan pembahasan itu ke tingkat RW, agar Ketua RW-ku bisa menyampaikan ke Ketua RW sebelah, untuk kemudian menyampaikan ke Ketua RT yang bersangkutan. Hasilnya, wargaku tidak lagi mengeluh. Tapi bukan karena keluhan tersampaikan dan teratasi, melainkan karena warga-warga yang sering memarkir motor sudah pada pindah dari kontrakan mereka karena masalah sulitnya air. Ya. Rumah-rumah yang beririsan itu memang jajaran kontrakan yang sekarang menjadi sepi. Lumayan, lah, pegurangan masalah. Dari situ aku sadar, bahwa menjadi pemilik kontrakan itu perlu membuat aturan yang harus dipatuhi para pengontraknya. Tapi itu belum bisa aku praktikkan, karena akunya saja masih berperan sebagai pengontrak.

Menjadi Pak RT juga membuat aku tahu siapa tidak suka pada siapa, siapa bermusuhan dengan siapa, siapa bermasalah dengan siapa. Aku jadi menerima ungkapan-ungkapan lewat japri soal kejelekan-kejelakan warga yang dinilai oleh warga lainnya.

“Parah itu, orang! Semoga cepat laku rumahnya, biar cepat pindah!” kata Pak Udan, warga yang tak suka pada Pak Arlin, karena mobilnya pernah parkir di luar. Ajakan halus Pak Udan untuk berpihak itu selalu aku abaikan, karena aku harus objektif dan tidak berpihak tanpa tahu detail kasusnya. Sayangnya, harapan cepat lakunya tidak beriringan dengan bantuan menjadi broker dari penjualan rumah itu. Padahal kan lumayan kalau berhasil menjual. Komisi dapat, musuh pun pergi.

Dari kasus itu dan kasus selanjutnya aku mendapat hikmah yang unik. Satu warga bisa bergeser perannya di kasus lain. dari protagonis ke antagonis. Pak Udan, yang mengeluhkan Pak Arlin soal parkiran pun ternyata dikeluhkan oleh warga lain yang merupakan tetangga lainnya yang sudah tidak tinggal di sana, sehingga rumahnya kosong. Rumah kosong itulah yang sering dijadikan parkiran oleh Pak Udan jika ada acara keluarga. Mas Is, pemilik rumah kosong pernah memergoki, dan akhirnya membuat coreta besar di tembok rumahnya, 'MASUK RUMAH ORANG TANPA IZIN BISA DIPIDANA!'

Mas Is pernah mengirim pesan kepadaku untuk menyampaikan ke warga agar tidak menggunakan rumahnya tanpa izin. Sebenarnya saya sepakat dengan Mas Is, karena itu memang benar dan menjadi haknya. Tapi saya tidak memenuhi permintaannya. Itu karena cara yang dipilih Mas Is dengan membuat coretan besar di tembok rumannya lebih megah ketimbang menjapri warga atau mengumumkan di grup. Bahkan saya menolak permintaan warga yang meminta Mas Is menghapus coretan di tembok rumahnya, karena terlihat kumuh.

"Itu properti pribadinya." kata saya. "Jadi itu hak dia."

Sampai sekarang, yang berarti sudah lebih dari setahun, coretan itu masih ada. Berdampingan dengan coreta lain yang berbunyi 'RUMAH INI DIJUAL' beserta nomor telepon Mas Is. Entah Mas Is merasa atau tidak, tapi bagi saya, tulisan soal masuk tanpa dan pidanizina itu mungkin mengurangi kemungkinan rumah itu dilirik oleh calon pembeli.

"Rumah saya diteror, Pak RT!" ujar warga yang sudah pindah lainnya. Kali ini konflik terjadi antara pemilik kontrakan yang sudah tidak tinggal di sini, dengan mantan pengontrak rumahnya.

"Dia nggak bayar tiga bulan, ya sudah saya suruh pergi." cerita Ibu Eni tentang teror itu. "Dia kerja di Layada." katanya menyebut sebuah market place. "Sekarang saya ditelepon terus sama kurir Layada, katanya ini semua paket pesanan ibu dengan cara bayar COD." tambahnya sambil menyertakan video tumpukan paket lebih dari sepuluh atas namanya di dalam mobil Layada.

"Kalau memang cukup bukti, laporkan saja ke polisi." saranku. Kasus ini memberi hikmah kepadaku betapa pentingnya data warga pengontrak baru. Semua warga baru harus melapor ke RT agar hal-hal berpotensi konflik bisa ditelusuri di kemudian hari. Pun hikmah tentang perlunya menjaga hubungan baik antar pengontrak dengan pemilik kontrakan.

Selain konflik antar warga, juga ada konflik antar keluarga. Yang paling parah adalah kasus KDRT. Waktu konflik suami-istri itu belum sampai KDRT aku berpesan, “Urusan kenapa berantem, saya nggak mau ikut campur, tapi karena berantemnya berisik dan menggangu warga, saya harus ikutan.”

Tak selang lama, bukan cuma berisik lagi, tapi sampai pemukulan suami kepada istrinya. Saat itu pula aku tawarkan sang istri untuk melapor polisi. Tapi sebagaimana statistik berkata, sang istri masih memberi suaminya kesempatan, namun dengan membuat surat perjanjian yang aku dan Pak RW tanda-tangani, jika terjadi lagi, kasusnya akan dilimpahkan ke polisi. Di sisi lain, aku meminta Bu RT untuk menyampaikan kepada sang istri, untuk tidak segan teriak minta tolong kalau kekerasan terjadi lagi.

Ngeri memang KDRT ini. Korbannya bukan cuma suami atau istri, tapi juga anak-anak. Aku melihat sendiri tangisan dua anak kecil yang terpaksa menyaksikan kekerasan sang ayah pada sang ibu. Waktu aku tanya sang suami, “Kenapa sampai begini?”

Dia menjawab, “Sepele, Pak, saya minta bikinin makan, tapi dia ngomongnya nggak enak.”

Aku bilang, “Kalau sepele kenapa sampai begini?” lalu melanjutkan “Masalah besar itu biasanya karena masalah penting yang disepelekan. Jangan menganggap sepele, karena jelas-jelas dampaknya parah. Kalau nggak suka, bilang baik-baik.”

Untungnya sekarang ini di depan jalan rumah mereka ada warga kontrakan baru yang buka warung, sehingga jadi titik nongkrong warga yang hobi gaple. Itu sepertinya cukup berdampak untuk menekan kemungkinan konflik keluarga terjadi lagi, karena aku dan warga tidak pernah mendengar teriakan-teriakan itu berulang.

Konflik antar warga kategori dewasa memang mendominasi. Tapi itu bukan satu-satunya. Konflik antar anak-anak juga bukan hal yang tidak terjadi. Ngerinya, konflik antar anak-anak ini bisa meramba ke konflik orang tuanya, dan itu terjadi di lingkungan saya. Anak-anak kecil di bawah sepuluh tahun sering bermain bersama, lalu suatu ketika salah satunya ada yang terluka karena jatuh, yang katanya didorong oleh anak kecil lainnya. Selayaknya anak kecil, dia mengadu pada ibunya. Ibunya lalu protes pada ibu anak yang tertuduh mendorong. Ibunya yang tertuduh tidak terima karena meragukan persaksian korban dan persaksian anak-anak yang dianggapnya belum bisa dipercaya. Saling sindir pun terjadi. Anak mereka sudah main sama-sama lagi, sementara orang tuanya masih marahan. Kabaranya, itu adalah hal klasik yang terjadi di perumahan maupun sekolah. Konflik yang berusaha saya ambil hikmahnya dengan sebuah kesimpulan bahwa memiliki CCTV untuk lingkungan sepertinya sebuah keniscayaan.

Kesimpulan soal CCTV itu pernah aku ajukan di pertemuan pertama sejak pandemi. Kebetulan, lingkungan RW-ku mendapat uang konpensasi pemasangan tiang kabel internet dari sebuah provider. Uangnya disimpan oleh pengurus RW. Sayangnya, uang itu terpakai oleh Karang Taruna untuk menggelar acara 17an, yang sampai sekarang belum juga terganti. Untuk sementara, harapanku agar kejadian-kejadian di lingkungan memiliki wujud berupa bukti, sepertinya masih tertunda dan masih akan menggunakan saksi-saksi. Yah, semoga saja tidak ada konflik-konflik yang melibatkan anak kecil lagi.

Keluhan warga yang berhubungan dengan instansi pelayanan publik juga banyak mengemuka.

"Pipa air PAM depan rumah saya bocor Pak RT. Bikin jalanan ambles." ujar warga yang di jalanan depan rumahnya ada bolongan paving block karena bocoran air PAM. Malam-malam saya datangi TKP dan merekam video untuk menjadikannya laporan. Untungnya Bu RT punya saudara yang bekerja di instansi terkait, jadi penanganannya cukup cepat.

"Saya sudah pernah menyampaikan ini ke pengurus sebelumnya." kata seorang bapak yang termasuk sesepuh, menyampaikan kekecewaannya atas tanggapan Ketua RT sebelumnya. "Tapi tidak ditindaklanjuti." Aku pun merasa terbebani untuk mengurusnya lebih baik lagi. Ternyata yang satu ini soal tiang listrik yang sudah lapuk.

"Tiangnya sudah saya topang pakai tembok rumah. Tapi saya takut suatu saat roboh."

Setelah saya coba melapor PLN123 lewat Twitter, adminnya mengarahkan saya untuk menelepon. Sayapun memberi alamat rumah warga tadi karena petugas penerima aduan mengatakan akan ada petugas lapangan yang mengecek lokasi.

Beberapa jam setelah itu, petugas lapangan PLN menelpon saya sambil marah-marah. "Pak, ini kata ibu yang punya rumah tidak ada laporan. Saya malah diomel-omelin."

Ternyata si bapak sedang keluar dan belum memberitahu ibunya soal laporannya kepadaku tentang tiang listrik. Kesempatan adanya kemajuan yang ditunggu bertahun-tahun pun menguap begitu saja, gara-gara kurang kordinasi di tingkat keluarga. Ketika itu aku merasa, setidaknya sudah memberi contoh bagaimana cara menyampaikan laporan. Sayangnyaa, ternyata, itu tidak dianggap demikian oleh bapak sesepuh. Tiga bulan kemudian aku baru tahu kalau beliau tidak pernah meniru cara itu. Aku pun mesti melapor lagi. Meminta petugas datang lagi. Untungnya petugas PLN tidak trauma.

"Terima kasih, Pak RT, petugas sudah datang ke rumah saya."

Ada rasa lega dan bangga ketika pesan itu sku terima. Membuatku merasa berguna.

"Pak RT, kemanan kita kok nggak pernah mukul tiang listrik." kata warga yang berharap agar petugas keamanan RW membunyikan tiang listrik setiap satu jam agar mereka merasakan manfaat keberadaan petugas keamanan. Karena petugas kemanan dikoordinasi di tingkat RW, saya pun menyampaikan aspirasi itu di rapat RW. Lucunya, dari rapat itusaya jadi tahu kalau ternyata petugas keamanan sendiri pernah dikomplain warga yang keberisikan ketika tiang listrik di depan rumahnya dipukul-pukul. Ternyata, petugas keamanan pun tak luput dari dilema. Maka dari itu aku menyampaikan ke Pak RW agar petugas keamanan pilih-pilih tiang listrik.

Terlepas dari berbagai konflik yang terjadi di lingkungan, syukurnya, wargaku tidak enggan datang ke pertemuan warga yang baru terjadi sekali semenjak pandemi. Aku memberi pesan yang aku niatkan sebagai template kepada warga yang membuatku merasa ‘sok tua’, karena ada ayah dan mertua berupa,

“RT itu R-nya ‘rukun’. Karena itu marilah kita tingkatkan kesadaran dampak perilaku biar bisa rukun. Kita tidak boleh cuma sampai di ‘punya saya’, tapi harus pikirkan juga apakah ‘punya saya’ itu berdampak kepada orang lain? Dengan begitu kita tidak sembarangan ganti knalpot, tidak sembarangan bakar sampah, tidak sembarangan parkir, karena itu berdampak juga ke orang lain.”

Dengan semua kasus-kasus yang ada, aku jadi sadar betapa mengurus lingkungan sekecil RT pun bukan perkara mudah. Menjadi Pak RT itu seperti trias politica dalah satu tubuh. Eksekutif iya, legislatif iya, yudikatif pun iya. Sepertinya, malah, tugas presiden tak seberat menjadi Ketua RT, karena kami tak punya aparatur yang digaji.

"Gung, jadi RT digaji, nggak?" tanya seorang teman ketika tahu aku terpilih. Itu mungkin juga pertanyaan banyak orang.

"Digaji." jawabku. "300 ribu perbulan, dibayar tiap tiga bulan."

Karena menjadi Ketua RT adalah pengabdian, gaji segitupun patut aku syukuri.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi