Disukai
0
Dilihat
1,566
Lestari Pedagang
Komedi


Sepeda motor warna merah, itulah milikku. Terkadang ada yang menjulukinya Si Jago Merah. Kunikmati perjalanan hari ini dengan keadaan bahagia. Hari lain pun berwarna-warni. Kadang kesepian, marah, tidak enak badan, dan keadaan lainnya.

Namaku Nahwa Wulan. Bukan Nawang Wulan yang seperti di legenda Jaka Tarub. Keseharianku jalan-jalan. Lebih tepatnya berpindah dari rumah ke rumah. Lantas, apakah aku seperti penagih hutang? Atau tukang sales?

Dengan membawa totbag berisi buku tulis, buku jilid, buku penilaian, dan buku cerita. Tidak lupa juga bolpoin warna hitam dan merah. Tugasku adalah mengajar dari rumah ke rumah biasanya dijuluki dengan guru privat. Anggap saja seperti jalan-jalan. Terkadang aku mengantuk berat. Mataku terpejam dengan sepeda motor yang masih kukemudi. Untung saja mengantuknya sebentar. Tidak berlarut. Seandainya berlarut, kemungkinan aku akan jatuh ke got milik penduduk desa yang biasa kulewati. Tidak bisa kubayangkan kalau aku benar-benar jatuh ke dalam got.

Sampai rumah yang pertama, rumah seorang ibu yang mempunyai katering makanan. Dialah ibunya Andrian dan adiknya si kembar yang bernama Lala dan Lili. Mereka bertiga mempunyai sifat yang berbeda. Yang Andrian jail, Lala cuek, Lili lucu, dan sering menangis. Tapi mereka mampu memberikan warna dalam pembelajaran. Terkadang ketika Lili mau menulis bukunya disembunyikan kakaknya Andrian dan Lala yang cuek hanya diam. Sedangkan Lili mencarinya dan menuduh kedua kakaknya. Setelah di cari tidak ada, Lili pun menangis dan mengadu pada ibunya. Sang ibu pun tahu siapa yang jail. Dipanggillah Andrian, dan dibisiki sang ibu. Kemudian Andrian memberikan bukunya pada adiknya.

Di rumah yang kedua, rumah saudarku sendiri. Namanya Farel. Farel tidak tahu kalau aku saudaranya. Kalau dia tahu aku saudaranya, pasti dia tidak mau belajar. Sambil mengajar, aku juga berjualan Suding (susu puding) online. Sekalian COD.

Terkadang COD di alun-alun kota, di perempatan desa, depan Indomaret, dan terkadang langsung ke rumah pembeli. Beginilah jadi pedagang, harus legawa.

Di tengah perjalanan, terasa sepeda motorku tidak nyaman. sepuluh detik kemudian matilah mesin sepeda motorku.

“Duh, kenapa kamu wahai Si Jago?”

Kucoba berkali-kali untuk menghidupkan mesin. Baru teringat, kalau aku belum mengecek bensin. Prasangkaku benar, sepeda motor mati karena bensin yang sudah habis. Untungnya di depan tinggal menghitung langkah, ada toko yang jualan bensin. Ada seorang ibu-ibu sedang duduk di kursi. Sepertinya itu pemilik toko.

“Buk, beli bensin.”

Ibu itu tersenyum dan menuangkan bensin. Kemudian ibu itu basa-basi. “Tadi kehabisan bensin di mana, Nduk?”

“Hampir dekat sini, Bu.”

“Syukurlah dekat.”

Kuulurkan uangku kepada ibu pemilik toko sembari mengatakan terima kasih.

 Rumah ke tiga tempatku mengajar, sudah menginjak malam. Setelah habis maghrib tepatnya. Namanya Megan. Dia putra dari penjual sayur. Setiap aku habis mengajar di rumahnya, ibunya memberikanku bingkisan sayur mayur. Sampai rumah, ibuku senang sekali kubawakan oleh-oleh. Walaupun ibuku tidak berharap aku dikasih. Ibu menyuruhku menolak. Tapi aku tidak bisa menolak. Kalau menolak aku yang dimarahin ibunya Megan.

Keseharianku berputar begini-begini saja. Terkadang menarik, terkadang membosankan, dan terkadang menjengkelkan. Inilah hidup. Ayolah bersyukur diriku, jangan cepat mengeluh. Hanya orang-orang mengeluh yang tidak mempunyai prinsip. Begitulah yang kuucapkan sebelum tidur dengan menatap atap-atap genteng kamarku.

Dua hari kemudian aku pergi dengan temanku yang bernama Umi, aku tidak ingin bensinku yang tiba-tiba habis. Sebelum pergi aku harus mengecek dulu. Ternyata masih sedikit, cukuplah sampai pom bensin. Karena di siang hari, jadi pom bensinnya tidak seramai di pagi hari dan sore hari. Kulihat dari kejauhan mbak-mbak pekerja pom bensin sedang berbincang. Sesampainya di depan, mbak pekerja tersebut masih berbincang dengan temannya. Karena memang di hari Jumat pada siang hari, jadi wajar kalau sepi. Setelah melihatku, mbak pekerja tersebut menghampiriku dengan wajah yang cemberut dan perkataan yang kasar. Di mana perkataan tersebut tidak pantas diucapkan oleh seorang penjual ataupun pelayan.

Rasanya ingin kabur. Kalau tahu begini melayaninya dengan kata kasar, tadi kabur saja. Untungnya pom bensin tidak milikmu, Mbak. Seorang pedagang seharusnya melayani pembeli dengan rendah hati ataupun ramah. Aku serasa sakit hati gara-gara kejadian ini. semoga tidak terulang kembali. Umi pun merasakan hal yang sama sepertiku. 

Di jalan, hatiku masih tidak nyaman gara-gara kejadian tadi. Astaghfirullah, mungkin harus berprasangka baik saja sama mbaknya. Memori ini harus segera terhapus, sebagai pembelajaran saja.

Kutenangkan hatiku dengan meneguk satu gelas es teh dengan keindahan pantai yang ada di depanku dan Umi. Aku dan Umi punya agenda untuk membahas proyek terbaru. yaitu berdagang. Dengan berdagang dapat menghasilkan uang untuk segala kebutuhan. Aku dan Umi berdagang hasilnya untuk kita pergi jalan-jalan. Supaya uang hasil pribadi tidak terbuang sia-sia karena jalan-jalan. Dan kemungkinan kalau dagangan kita dilancarkan, insyaallah kita gunakan untuk berbagi pada yang membutuhkan.

Uang gajiku dan uang gaji Umi selain berdagang saja sudah mencukupi. Apalagi dengan berdagangnya kita berdua. Di situlah ada hak milik orang lain. Dengan cara bersedekahlah kami berdua sepakat.

Kita berdua sepulang dari pantai, Umi ingin membeli boneka untuk adiknya. Kita pun pergi ke toko boneka. Di mana toko ini, belum pernah aku kunjungi. Cuma penasaran saja. Siapa tahu ada yang cocok. Dalam kejauhan tempat kami parkir, terlihatlah tulisan open yang menempel di pintu kaca toko boneka tersebut. Terlihat dari kejauhan boneka taddy bear besar beserta kawan-kawannya. Aku dan Umi sangat bersemangat berjalan dari tempat parkir sepeda.

Mendekatlah kami berdua di pintu. Umi mendorong pintu untuk masuk. Anehnya pintu tersebut terkunci. Jelas-jelas ada tulisan open. Lalu penjualnya di mana? tiba-tiba ada yang muncul dari dalam. Ternyata mbaknya duduk di belakang boneka. Pantesan tidak kelihatan. Anehnya, ketika Mbak pelayan toko boneka membuka pintu dengan kunci. Aku pun melihat satu keanehan itu. Aku dan Umi berjalan dengan melihat-lihat boneka. Termasuk harganya. Keanehan yang kedua yang kurasakan serasa diikuti. Entah Umi menyadarinya atau tidak, aku tidak tahu. Kulihat ke belakang, ternyata Mbak pelayan toko boneka tadi membuntuti dan mengawasi kami berdua. Semakin aku berjalan, menyisiri rak-rak yang ada boneka, rasanya tidak nyaman kalau diikuti seperti ini. Dalam hatiku “Tenang Mbak, kami tidak pencuri kok.”

Umi pun tidak tertarik boneka-boneka yang ada di toko tersebut. Walaupun kualitasnya sudah bagus, akhirnya tidak ada yang diminati. Umi mengajak aku keluar dari toko boneka tersebut. Mbak pelayan tersebut mengucapkan “Terimakasih telah berkunjung.”

Setelah sampai parkiran sepeda motor, mata kami saling menatap. Sepertinya Umi juga merasakan tidak nyaman. Sambil mengendarai motor, Umi menceritakan kegelisahan dan keanehan di toko boneka tersebut.

Duh, Wa tidak mau lagi aku ke tempat itu. Emangnya tadi tidak ada CCTV nya, ya? Kok. kita setiap memilih diikutin terus. Pokoknya sangat tidak nyaman.”

Haha, aku mengajak kamu ke situ cuma penasaran saja sama isinya dan harganya. Benar si, tempat sebagus itu hanya ada satu pelayan. Kenapa juga tidak dipasang CCTV ya.”

“Tak tahu ya, Wa. Sudah, cari toko boneka yang lain saja.”

Akhirnya kami berdua memutuskan untuk ke toko boneka langganannya Umi. Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke toko boneka langganan.

Toko boneka langganan keluarganya Umi dari kecil sampai sekarang. Sekarang sudah direnovasi menjadi lebih besar. Setelah masuk, Umi langsung tertarik dengan boneka monyet. Aku heran dengan Umi, kenapa harus boneka monyet yang dipilih?

Dibawalah boneka monyet ke kasir. Pelayanannya ramah, bahkan tersenyum lebar. Jadi ingat kejadian dua tempat tadi. Emangnya tadi malam aku mimpi apa, ya. Aneh banget hari ini.

Di perjalanan kami pulang Umi bercerita. Kalau dia pernah beli kosmetik di toko kosmetik terlengkap di kota. Sayangnya pelayan dan kastir tidak ramah. Cuma ekspresi cuek saja pada pembeli. Sampai sekarang, Umi tidak pernah lagi beli kosmetik di toko tersebut.

Aku bertanya pada Umi, “Apakah pelayan-pelayan tokoh yang tidak ramah gajinya sedikit, ya?”

Umi pun menjawab dengan semangat. “Mungkin saja itu.”

Aku dan Umi hanya berkata bercanda. Berharap antara penjual dan pembeli mempunyai etika dalam jual beli yang baik. Bukan menyakitkan.

 

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi