Sudah setahun berlalu, tetapi bau melati dan bangkai masih sesekali muncul di kepalaku. Rasanya, aku belum benar-benar keluar dari tempat itu. Tempat pertama yang jadi rumah tugasku di luar pulau, dan mungkin satu-satunya yang masih tertinggal di ingatan.
Sebagai pengumpul data atau enumerator, berpindah dari satu daerah ke daerah lain bisa menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Menelusuri lorong-lorong kearifan lokal, merekam kehidupan masyarakat, lalu merangkumnya ke dalam kuesioner dan narasi untuk menjadi dasar kebijakan negara merupakan kebanggaanku. Hidup kaya akan cerita. Penuh warna di setiap langkah.
Namun, warna itu tak selamanya cerah. Kadang justru pekat, seperti kabut yang menyelimuti kisah-kisah yang tak ingin diungkap.
Bukan nama. Bukan angka. Bukan data.
***
Aku berangkat dari Bandara Soekarno–Hatta pagi hari. Tiba di Sultan Hasanuddin sekitar pukul 10:00 WITA. Di pintu keluar, sudah ada yang menyambut, sopir mobil sewaan yang akan mengantarku ke tujuan. Ia menyapaku ramah, lalu mengingatkan perjalanan memakan waktu hampir delapan jam. Cukup lama dan mungkin membosankan.
Mobil melaju meninggalkan kota, melewati jalan raya yang ramai. Perlahan, suasana berubah. Deretan r...