Pertama, aku jomblo seumur hidup dan tentu saja banyak yang tidak percaya. Alasan mereka beragam, namun suara terbanyak adalah karena aku cantik. Memang. Jujur saja. Kadang aku pun kagum dengan komponen wajahku yang tidak bisa dihujat sama sekali. Banyak yang mengakui kecantikanku dengan pujian langsung atau sekedar tersenyum setiap kali berpapasan. Kecuali satu orang, dia adalah Zico. Hobinya adalah mencuri pandang, tanpa bicara apa pun.
"Aku kira Zico pacaran sama Kayla. Ternyata dia suka sama kamu, Al."
Satu pernyataan dari Ghea itu membuatku ingin tahu siapa yang dia dimaksud. Aku tahu Kayla, dia adalah salah satu siswi teladan kebanggan sekolah yang sudah bolak-balik ke luar kota untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Namun Zico, aku baru mendengar namanya.
"Al, nih buat kamu. Semangat ya belajarnya."
Itu adalah awalnya. Tepatnya saat kami duduk di kelas sebelas SMA. Saat aku dipilih untuk mewakili sekolah mengikuti lomba cerdas cermat Fisika se-Yogyakarta. Dia memberiku coklat, berharap aku luluh? Bahkan aku baru benar-benar menyadari kehadirannya selama ini. Ternyata ada orang seperti dia di sekolah. Dan benar saja. Karena dia telah hadir, di mana dia berada, mata ini langsung tertuju padanya, sekedar memastikan memang benar itu dia. Seperti saat dia di kantin, di lapangan basket, di parkiran, dan lain-lain. Seolah ada bisikan yang membuatku menoleh kepadanya.
Naasnya lagi kami dipertemukan di kelas dua belas. Di kelas yang sama. Dia cukup tampan. Tinggi dan berkulit putih. Jika dia terjun ke dunia permodelan, dia pasti akan sukses. Dia juga baik dan berani. Saking beraninya, sikapnya yang terang-terangan mendekatiku itu seolah menyihir semua anak kelas 12 untuk merestui hubungan tanpa status ini. Apa satu tahun cukup untuk PDKT? Bagiku yang newbie dalam dunia percintaan ini tentu terpengaruh oleh semua sikap hangatnya padaku. Jika kuingat-ingat lagi, ternyata di sanalah kebodohanku. Aku gila karenanya.
Seakan dia adalah alasanku berangkat sekolah, setiap hari aku mempercepat jalanku ke sekolah untuk menunggunya, meski pada kenyataannya dialah yang pasti sudah menunggu lama di mejaku dalam keadaan tidur dan berakhir aku yang harus membangunkannya. Aku ingat tentang dia yang selalu tidak bisa tidur malam dan berakhir tidur di sepertiganya. Aku pun masih ingat tentang dia yang selalu mamakai jaket denim karena udara yang sangat dingin di pagi hari. Pernah sekali dia rela melepas jaketnya untukku karena sore itu hujan cukup lebat. Meskipun cukup waktu untukku menunggu hujan reda, dia tetap bersikeras memberinya padaku dan keesokan harinya dia jatuh sakit. Anehnya, dia tetap masuk sekolah dan seharian tidur di kelas karena tidak suka bau dan suasana UKS.
"Aku nggak mau ke UKS Al!" rengeknya kemudian menenggelamkan kembali wajahnya di lipatan blazer biru yang kupakai sedari pagi. Aku pun menyerah. Dia memang keras kepala, begitu kata ayahnya saat kami tidak sengaja bertemu di salah satu acara sekolah. Bahkan guru-guru yang mengajar pun meminta dia untuk ke UKS tapi sia-sia saja.
"Co, aku udah minta Viken buat nganter kamu," tuturku pelan padanya setelah bunyi bel pulang berbunyi lima menit lalu.
"Kamu mau pulang?" tanyanya seketika memperlihatkan wajahnya yang sudah lebih cerah dari sebelumnya.
"Aku harus pulang. Malam ini ada acara di rumah jadi banyak yang harus dipersiapkan. Kamu juga pulang ya."
Kutumpuk kedua tanganku di atas meja, berhadapan dengannya yang baru mengumpulkan nyawa untuk bangun. Senyumnya tiba-tiba terukir lemah di sana. Aku memperhatikannya sampai aku berpikir bahwa mungkin saja aku terobsesi dengan senyumnya yang tipis itu. Terlebih lesung pipinya sangat manis.
"Makasih ya Al udah perhatian sama aku," katanya dengan nada serak sembari mengusap lembut puncak kepalaku. Sebut saja itu kebiasaannya.
"Hm. Ya sudah. Aku pulang dulu boleh? Viken lagi ke kantin sebentar, ada yang ketinggalan katanya," kataku membuat kursi berdecit. Aku berdiri dan merapikan tas.
"Al." Zico meraih pergelangan tanganku yang dingin. "Jangan sampai sakit ya," pesannya terdengar tulus. Kemudian dia melanjutkan, "Tidak apa-apa jika aku sakit. Aku laki-laki, lebih kuat dari perempuan. Demam ini bukan masalah besar bagiku. Tapi kalau aku lihat kamu terluka atau sakit sedikit saja, itu lebih menyakitiku. Kamu paham kan?"
Bukan rekaan, bukan drama remaja. Perilakunya kepadaku sungguh tidak terduga dan setiap aku menyadarinya, aku pun merasakan ketulusannya. Aku sampai bertanya, apakah dia sering menonton drama Korea atau Cina sampai fasih melakukan ini dan itu. Pun dia hanya tertawa dan berakhir mengacak rambutku. Tentang luka, terakhir kali aku sempat melukai jari telunjukku sendiri saat menajamkan pensil dengan cutter.
"Al!" Zico sontak berlari dan menarikku keluar kelas. Dia membuka keran air dan mengalirkannya ke lukaku agar terhindar dari infeksi.
"Perih," rengekku spontan di tengah sepinya koridor yang tidak sedang absen dari kata ramai. Hanya ada kita berdua karena memang jam pelajaran kedua sedang berlangsung.
"Tahan ya Al." Zico menghisap darahku di tempat yang terluka. Pikirnya itu cara yang efektif untuk mencegah infeksi meskipun cutter yang gunakan sebenarnya tidak berkarat. Sejauh itulah kekhawatirannya padaku. Aku sampai tidak habis pikir dan takut apa yang dia lakukan sejauh ini adalah hanya karena obsesi, bukan berlandaskan cinta. Menurut artikel yang aku baca di salah satu web, di sana tertulis bahwa orang yang terobsesi pada sesuatu akan melakukan apa pun untuknya. Dia cenderung berlebihan dalam bertindak dan posesif.
"Alena, kamu ada masalah di sekolah?"
Orang tuaku sampai pernah menanyakan itu karena khawatir dengan nilaiku yang terus menurun. Nilai rata-rata yang biasanya mencapai poin 8, berubah hingga tak mencapai angka 7. Itu saat awal aku benar-benar terpengaruh olehnya hingga mengenyampingkan kewajibaku sebagai pelajar. Namun setelah Zico tahu, dia sangat berambisi membantuku untuk menaikkan nilai itu. Orang tuaku pun kembali tenang dan aku tidak perlu khawatir lagi dengan hubungan kami yang mungkin saja bisa disalahkan.
Hampir satu tahun kedekatan kami semakin mengikis jarak dan baik mama ataupun papa pun sudah tahu seperti apa sosok Zico. Ya, dia orang yang sangat baik dan sopan. Itulah kenapa dia dikelilingi orang baik pula. Kata mama, dia orang yang tidak banyak tingkah namun memiliki sisi yang menarik hanya dengan melihatnya. Aku pun berakhir memperhatikannya.
"Apa iya?"
"Al, bangunin aku sepuluh menit lagi ya!" pintanya di sela waktu menunggu jam les di kelas. Aku pun hanya diam. Duduk di depannya yang berjarak meja kayu. Blazer berwarna mocca milikku dia gunakan sebagai bantalan dengan melipat dan memeluknya.
Sesekali kuamati laki-laki yang tengah mempermainkan perasanku ini. Dia menutup matanya dengan sangat tenang. Bagaimana bisa? Hampir selama satu tahun kami bahkan bisa dibilang sebagai pasangan paling romantis menurut siswa bucin (budak cinta) kelas 12. Namun nyatanya tidak ada hubungan spesial di antara kami. Dan sejujurnya aku pun tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja ada satu hal yang mengganjal. Sebenarnya untuk apa status itu?
"Sebagai tanda kepemilikan Al," Sara, sahabat baruku di kuliah. Entah bagaimana alur percakapan kami sampai di titik aku terpaksa menceritakan alasan mengapa aku lebih nyaman sendiri setelah lulus SMA.
"Hanya butuh satu luka saja untukku memilih jalan hidup yang tenang selama ini, Sa."
Sara menatapku lamat-lamat selama tiga detik, lalu dia lanjutkan lagi kegiatannya mencari sesuatu di dalam tas.
"Pisau yang berkarat tanpa hak milik memang lebih menyakitkan ketika melukai," sahut Sara membuatku tersenyum hambar. Kulanjutkan lagi aktivitasku memasukkan buku beserta barang-barang lain ke dalam tas. Dan sepertinya Sara masih tertarik dengan sesuatu yang kusebut masa lalu itu.
"Al. Aku pikir kamu harus secepatnya membuat keputusan."
"Semacam?"
"Aku pikir kamu harus memilih antara mencarinya atau benar-benar menghilangkannya. Setiap perpisahan juga butuh ending, Al. Dari yang aku pahami, kamu itu masih terjebak dengan masa-masa indah bersamanya padahal itu sudah dua tahun lalu dan selama dua tahun itu pula dia sama sekali tidak menampilkan dirinya. Jangan sampai kenangan indah itu mengendap di otakmu dan menghalangimu untuk menerima orang baru di hatimu, Al. Mungkin dia memang bukan jodohmu. Mudahnya, jangan halangi takdirmu yang sebenarnya karena dia yang seharusnya kamu singkirkan dari jauh hari. Itu hanya saran. Aku pun tidak punya pengalaman, tapi aku mengerti yang mana yang lebih baik, terlebih ini buat kamu. Aku pikir sebagai sahabat, tidak apa-apa untuk mengutarakan hal ini. Aku hanya menginginkan kebaikan bagimu. Itu saja."
Goresan warna abu yang menodai langit biru dengan gumpalan-gumpalan besar itu sudah menyebar di langit tanpa dirasa. Hujan deras seketika datang dengan alunan melodi yang datar namun menenangkan. Di tengah mahasiswa yang berbaris menunggu hujan di teras perpustakaan, sedikit melamun aku teringat ucapan Sara tentang sebuah keputusan. Keputusan yang umumnya tidak diperlukan karena sebenarnya waktu telah membuatnya kadaluarsa. Namun keputusan itulah yang sebenarnya berfungsi untuk memperjelas apa yang seharusnya dipertahankan dan tidak. Lamunan berakhir saat aku merasakan getaran dari handphone di sakuku.
"Ken, ada apa?"
"Kumpul alumni Al. Dateng ya!"
Di seberang sana Viken terdengar sangat bersemangat mengajakku. Maklum, setelah lulus SMA dua tahun lalu, tidak pernah sekali pun aku ikut acara alumni atau sejenisnya. Viken pasti sudah sangat bekerja keras untuk mengumpulkan anak-anak seangkatan yang memang sudah memiliki jalan yang sama sekali berbeda.
"Sorry Ken. Aku mau pulang kampung. Mumpung kuliah mau libur akhir semester," alasanku jujur. Aku pun bersyukur karena Viken mengajak di saat yang sangat tepat, jadi aku tidak perlu menghadiri acara itu.
Seketika tak ada respon. Mungkin Viken tengah memikirkan sesuatu. Mungkin dia juga berpikir aku terlalu banyak alasan karena selalu menolak kegiatan seperti itu.
"Al, kamu nggak sengaja menghindar kan?"
Pertanyaan itu sudah kudengar hampir sepuluh kali. Mereka yang mengetahui kisahku dan Zico hingga akhir pasti menanyakan hal itu. Beberapa dari mereka, yang entah terlalu peduli atau hanya ingin tahu.
"Nggak Ken. Aku memang mau pulang. Udah hubungin keluarga juga di rumah."
"Naik kereta?"
"Ya. Seperti biasanya."
"Perlu diantar?"
"Eh? Sejak kapan kamu jadi perhatian gini Ken?" Aku tertawa renyah.
"Kali-kali jadi temen yang baik Al. O iya, jangan lupa pilih nomor seat genap biar keretanya nggak mundur!"
Aku tertawa kecil di balik sambungan telepon. Semburat senyum yang tersimpan dari tersangkanya itu mengingatkanku pada sudah sejauh ini langkahku sendiri. Bagi beberapa orang mungkin tidak bisa menikmati hidup tanpa pasangan yang katanya di sanalah asupan bahagia setiap waktu. Namun aku?
"Apakah hidupku hampa?"
Tidak. Lebih tepatnya mulus. Bagian hidupku setelah kisah SMA yang membuatku bahkan sempat menangis beberapa kali secara sembunyi-sembunyi di kamar agar orang tuaku tidak khawatir itu cukup membuatku tidak ingin lagi berhubungan lebih jauh dengan seorang laki-laki. Bukan. Lebih tepatnya tidak mudah jatuh pada perhatian manusia yang disebut laki-laki. Dari sana juga aku mulai mengenal cara mencintai diri sendiri, mengobati hati yang tergores, dan mencari kembali senyum cantik seperti yang sering mereka jadikan pujian untukku dulu.
"Mungkin lain kali, Ken." Aku menutup panggilan dan menyadari hujan sedikit mereda. Saat itu hawa dingin mulai terasa menusuk kulit, membuatku merinding saat memaksa diri menerobos rintikan gerimis dari langit yang semakin menunjukkan kesuramannya. Aku lupa bawa jas hujan. Sayang sekali. Dan saat itu pun aku masih sibuk mencari kunci motor.
"Ini dia!"
Masih dalam keadaan gerimis, kutancap gas motor yang sudah menemaniku dua tahun terakhir ini. Buramnya kaca helm cukup menghalangi penglihatanku. Rintikan yang berisik menghantam helm semakin rapat membuat berat kepalaku. Dan saat itulah aku sadar. Ah, ini pertama kalinya aku menyetir di tengah hujan.
Perjalananku berlajut setelah melewati macetnya jalan di lampu merah di perempatan tugu Jogja. Sekilas aku bisa merasakan sendunya bangunan setinggi 15 cm itu di bawah langit yang muram. Warna Jogja sedikit tidak cerah. Dominan warna monokrom dan beberapa cahaya merah dari bagian belakang motor di depanku. Tapi bukankah suasana seperti itulah Jogja? Suasana Rindu. Yang ada hanya senyum tipis dan memori polaroid yang menumpuk.
"Ati-ati Mbak!"
Teriakan seorang pria yang melesat dari dari belakang cukup membuatku oleng meskipun suaranya sedikit teredam gerimis yang entah sejak kapan sudah berubah kembali menjadi hujan. Cipratan air dari motor pria itu berhasil membasahi kakiku yang hanya tertutup flatshoes. Dingin. Aku meringis untuk mengekspresikannya.
"Menepi dulu deh."
Motor kuparkirkan di teras sebuah toko yang bertuliskan "closed" di permukaan pintunya. Beberapa orang pun berhenti, sekedar memakai jas hujan lalu melanjutkan perjalanannya kembali. Hingga satu orang tersisa. Dia sudah basah kuyup, hampir sama sepertiku. Awalnya aku mencoba untuk tidak peduli, tapi sebuah aroma huzelnut bercampur kayu manis dan mint itu menarik perhatianku pada pria jenjang yang kini berdiri di samping kiriku. Serasa tak asing. Tingginya sama.
"Halo Sa?"
Panggilan dari Sara mengalihkan perhatianku. Aku melangkah ke sisi kanan, sedikit membuat jarak dengan pria itu.
"Kamu di mana?"
"Aku masih di jalan. Kenapa?"
"Kamu kenal orang namanya Zico?"
"Hah? Zico? Iya, kenapa sama Zico?"
"Tadi dia ke kampus nyariin kamu."
Otakku serasa berhenti berfungsi. Entah kenapa hari ini seakan Zico dibawa kembali dari masa lalu. Walaupun hanya namanya yang disebut, tapi secara tidak langsung itu membangkitkan memoriku yang sudah terkubur dua tahun lamanya.
"Sara ya?"
"Hah?"
Sontak aku melihat ke arah sumber suara. Dia Zico, pria yang tengah dibicarakan di telepon, yang sedang kupikirkan, dan sedari tadi kami berteduh dari hujan di bawah atap yang sama.
"Zico?"
Pria blasteran Indonesia-Belanda itu benar-benar sedang berdiri di depanku dengan tatapan mata hazelnya yang khas. Apa aku terhipnotis? Bahkan saat dia melepas helmku, aku tidak melakukan apa pun.
"Lepas dulu. Berat kan? Nanti pusing," katanya dengan suara yang lebih berat dibanding dulu. Lalu dia letakkan helmku di samping helm miliknya. Dirinya lalu mendekat ke arahku. Selangkah lebih dekat hingga aku harus lebih menaikkan dagu untuk melihatnya karena aku hanya setinggi bahunya.
"Apa ini kebetulan? Atau takdir? Tapi karena kita sudah bertemu lagi setelah sekian lama.... Al." Dia mengulurkan tangannya, "apa kabar?"
Untuk sekian detik mataku masih terpana dengan situasi yang sangat tidak terduga ini. Memang Yogyakarta tidak seluas itu, tapi bagaimana kami bisa bertemu? Dan apa maksud Sara mengatakan bahwa Zico mencariku?
"Hai." Tanganku kukaitkan dengannya. "Aku baik," jawabku tentu saja tanpa senyuman, karena tidak ada alasan untuk itu.
Dia masih mempertahankan senyum layaknya hubungan kami baik-baik saja. Memang, aku tidak bisa menyebut hubungan antara kami rusak. Hanya saja...berkarat? Seperti yang dikatakan Sara. Dan seperti apa pun hubungan ini tidak akan bisa kembali.
"Boleh aku mengatakan satu hal?" tanyanya yang entah bagaimana mampu menarikku untuk menghiraukannya.
"Alena. Aku tidak akan mengatakan bahwa aku hilang. Karena memang itu bukan kuasaku. Tapi selama ini aku merasa kehilangan Al."
Dia masih menggenggam tanganku, lengkap dengan caranya menatapku dan suaranya yang terdengar tulus. Sedangkan aku masih mencerna, bagaimana bisa orang ini kembali ke dalam hidupku?
"Al. Apa masih ada sisa untukku?"
Cinta? Sejauh aku berpikir, sebenarnya aku belum paham betul apa makna cinta dan bagaimana cara kerjanya. Jika cinta membuat orang bahagia, kenapa cinta membuatku sengsara hingga satu tahun lamanya hidupku hanya menjadikan orang tua sebagai alasannya. Setiap hari aku tidak absen memikirkannya karena aku terus membandingkan saat ada dan tidak ada dirimu di sebagian besar waktu di setiap harinya. Bahkan aku hampir membakar semua barang yang berhubungan dengannya. Gelang, foto, boneka, tiket nonton, semuanya. Bahkan tanganku yang selalu dingin ini masih ada jejak darinya. Rambutku yang selalu dia usap dan cium ini pun masih ada bayangan samar saat aku berkaca di cermin. Seolah rekaan ulang terjadi di dalam kaca datar itu. Dan setelah dia meninggalkan sekian jejak itu, dia bertanya masih ada sisa? Jika aku boleh jujur, mungkin aku akan menjawab bahwa dia sepenuhnya masih ada di dalam ruang hati yang entah kapan akan tergantikan. Jika begini, apa makna cinta bagiku adalah menerima? Diriku yang enggan melepaskannya ini adalah keegoisan yang sebenarnya menjadi alasan aku terluka selama ini, dan satu-satunya jalan adalah menyalahkannya.
"Sekarang kamu mengemis padaku?" tanyaku kasar, namun tidak menggoyahkannya sedikit pun. Justru sekarang dia menggenggam kedua tanganku, menyatukannya dan dia selimuti dengan kedua tangannya yang besar.
"Tidak. Aku tidak mengemis. Aku meminta. Aku minta, jangan buang apa yang masih kamu sayang."
"Tau apa kamu?" Kucoba melepas tanganku tapi tak bisa.
"Al."
Sebuah gerakan tiba-tiba menarikku ke dalam satu tempat yang sangat hangat. Awalnya aku diam, menarik napas, menikmati, dan menyebarkan aroma khas parfum yang dia gunakan sedari dulu di seisi kepalaku. Sungguh, meskipun terkadang bayangan wajahnya hilang, namun memori tentang aroma itu masih membuatku memburu saat aku menciumnya, di mana pun, dan siapa pun pemilik parfum itu selain dia.
"Zico. Kamu tau?"
"Apa Al?"
Masih di dalam pelukannya, aku mengalihkan perhatian dan menatap hujan yang debitnya perlahan melemah.
"Aku belajar banyak darimu. Dengan kamu hilang, jujur saja awalnya aku kehilangan. Setelah itu aku sadar bahwa sesuatu yang hilang 99 persen tidak akan kembali. Dan hidupku pun berubah. Aku bukan Alena yang dulu, yang tidak bisa menolak permintaan orang. Aku bukan Alena yang dulu, yang selalu tersenyum dengan semua ketidakjelasan perasaanku yang sesungguhnya. Dua tahun aku hanya fokus pada diriku sendiri."
Aku menarik napas, menenangkan diri.
"And losing you was a good part of my life."
Aku melepas pelukan hangat itu. Mata hazelnya masih memperhatikanku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Hanya saja kali ini serasa sayu. Bahkan aku menemukan kristal-kristal yang membuat netranya itu berkilau.
"Aku tahu kamu tidak berubah. Tapi waktu yang membuat hubungan kita berubah. Jangan mencariku lagi, Zico. Karena keputusanku tetap sama. Aku tidak akan menanyakan alasan, karena bagian itu sudah terlewat dan terlalu jauh untukku kembali ke sana."
"Al."
"Zico. Hidup ini adalah tentang bertemu dan berpisah. Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu, dan aku akan mengingat hari ini sebagai hari terakhir kita bertemu."
Hujan mulai reda, seolah menyuruhku untuk segera pergi dari tempat yang mungkin akan selalu kuingat sebagai pertemuan pertama dan terakhir kami setelah dua tahun lamanya. Sebuah toko bernama "Look@Me", salah satu toko di sebelah barat tugu Jogja. Aku pasti akan tertarik untuk melihatnya setiap kali aku melewati jalan ini. Hingga bayangan itu bukan lagi menjadi masalah bagiku, aku akan menganggap saat itu aku telah benar-benar melepaskannya dari kehidupanku.
Jadi lihatlah! Aku telah berubah menjadi orang yang sangat berbeda. Di setiap langkahku meninggalkannya pikiranku sampai pada "Jadi seperti ini, makna dewasa adalah berani melepaskan apa yang memang harus dilepaskan tanpa memberinya izin lagi untuk menyakiti."
Liburan akhir semester.
"Mbak, kopi susu panas satu," pintaku pada seorang wanita yang tengah menawarkan makanan di dalam kereta. Di belakangnya seolah pria membawa satu nampan dengan cup berwarna kecoklatan berjejeran di atasnya. Senyumnya sangat manis seolah terlepas dari segala jenis beban hidup.
"Terima kasih."
Kuletakkan satu cup kopi di dekat jendela yang seluruh gordennya kubuka. Wangi kopi bercampur manisnya susu membuatku berpikir, memang, hidup yang pahit akan selamanya pahit jika dirasa pahit. Namun jika orang menikmati hidupnya, sepahit apa pun dia akan bahagia karena semesta tidak seburuk yang disangka.
"Ah, akhirnya aku paham. I am the good part with all my weakness." Aku sendiri adalah bagian yang baik dengan semua kekuranganku. Tidak ada jalan terbaik dalam menjalani hidup kecuali menerima diri sendiri.