Disukai
0
Dilihat
3
DIA DISAMPINGMU
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tatapan kosong itu seolah sudah menjadi ciri khas Aldy sejak lama. Sebagian orang yang mengenalnya menyebut aldy sebagai pria pendiam, sulit ditebak, dan seolah hidup dalam dunianya sendiri. Tidak sedikit juga yang salah paham dengan perilaku Aldy, banyak orang yang menganggap Aldy Orang yang tidak pedulian, Orang yang cuek, atau bahkan dicap sombong. Padahal sebenarnya Aldy hanya tidak pandai menyusun kata-kata untuk terutama kepada orang yang tidak begitu akrab dan apalagi orang tersebut merupakan orang yang tidak memberinya rasa aman.

Aldy bukan tipe pria yang bisa dengan mudah berkata, “Halo, apa kabar?” Ia bukan orang yang bisa berbasa-basi tentang cuaca, pekerjaan, atau hal-hal kecil yang biasanya menjadi awal percakapan. Semua itu terasa seperti tugas berat yang menguras energi. Aldy lebih nyaman dengan keheningan—dengan suara detak jam, suara langkah kaki, atau suara halus lembaran buku. Bahkan untuk memilih teman dekat pun yang bisa membuat dirinya pun aldy sangat selektif, dia cenderung berhati-hati untuk terbuka kepada orang.

Namun di balik sikap dinginnya, Aldy mempunyai hati yang lembut, setia kawan dan mempunyai pemikiran yang dalam. Ia jarang membagikannya, sehingga banyak yang tidak tahu bahwa di balik tatapan kosong dari matanya itu ada lautan yang luas, penuh kerumitan tapi juga penuh keindahan.

Sore itu di pertengahan bulan januari tahun 2008, disebuah perpustakaan di kota bandung terasa lebih hangat dari biasanya. Langit pagi menjelang siang saat itu tiba-tiba bersinar cerah yang sinarnya menembus jendela perpustakaan, dan cahayanya jatuh tepat ke meja tempat Aldy duduk yang pada saat itu sehabis pulang kuliah kebetulan pada hari itu jadwal kuliah Aldy hanya 1 mata kuliah sehingga sehabis selesai kuliah Aldy pun memanfaatkannya ke perpustakaan daerah. Ia membuka bukunya, mencoba menenggelamkan diri dalam dunia fiksi yang selalu memberinya rasa aman.

Saat ia hendak membalik halaman, kursi di sebelahnya digeser perlahan. Tatapan aldy tiba-tiba berpaling kearah meja sosok perempuan dengan rambut panjang yang diikat longgar duduk di meja sebelah. Wajahnya teduh, matanya penuh ketenangan, rambutnya lurus warna hitam terurai panjang dengan bando kupu-kupu dan senyumnya tidak dibuat-buat.

Itulah pertama kalinya Karin muncul dalam hidup Aldy.

Ia membawa sebuah buku yang sama tebalnya dengan milik Aldy. Saat melihat judul buku yang sedang Aldy baca, Karin tersenyum kecil.

Tanpa sungkan karin langsung berkata kepada Aldy “Bagian pertengahan bukunya yang paling aku suka,” katanya pelan.

Aldy hampir menjatuhkan bukunya. Ia tidak siap untuk meneruskan percakapan. Suaranya tercekat. “Iya…” jawabnya singkat.

Biasanya, orang akan menganggap jawabannya sebagai tanda tidak ingin berbicara lalu pergi. Tapi berbeda dengan Karin. Ia tidak mencoba menambah topik, tidak memaksa Aldy untuk bicara lebih banyak. Ia hanya membuka bukunya sendiri dan mulai membaca.

Waktu demi waktu terus terus berjalan, sementara itu dari awal sapaan karin kepada aldy sampai beberapa jam berlalu hanya ada Keheningan di antara mereka, tidak adanya rasa canggung itu yang membuat Aldy bingung. Keheningan biasanya membuat orang resah, tetapi tidak bagi Karin. Seakan ia memahami bahasa diam yang selama ini hanya dimengerti Aldy seorang.

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Aldy merasa nyaman di dekat seseorang yang tidak ia kenal.

Sampai dengan perpustakaan tutup dan terpaksa mereka harus meninggalkan perpustakaan, tetap tidak ada lagi obrolan dari mereka seolah karin sudah kenal lama dan memaklumi aldy dan faham sifat dan karakter aldy.

Beberapa hari kemudian, setelah pertemuan pertama Aldy dan karin ada suatu“kebetulan” itu terulang. Karin kembali ke perpustakaan duduk di meja sebelah aldy, membuka bukunya, lalu membaca tanpa banyak bicara.

Tiba tiba dengan keberaniannya aldy mulai menyapa dan bertanya

“Kamu kenapa selalu duduk di sini?”

tanya Aldy pada pertemuan kedua dengan karin. Itu hal besar baginya. Biasanya ia yang ditanya, bukan bertanya duluan.

Lalu Karin tersenyum lembut lalu menjawab

 “Enggak selalu. Tapi kayaknya aku mulai betah di sini.”

“Kenapa?”

“Aku merasa Ada suasana yang bikin tenang.”

Karin mengangguk pelan,

tapi dalam hati Aldy bertanya-tanya:

Suasana apa? Mejanya ? Lampunya? Atau… seseorang di sini?

Aldy mencoba mengusir pikiran itu sebelum membuatnya kewalahan.

Hari pun berlalu, dan semakin sering mereka bertemu dan mereka sudah berkenalan itupun yang memulai percakapan karin, akhirnya mereka semakin dalam rasa nyaman itu terbentuk. Aldy yang biasanya menghindari kontak mata perlahan mulai berani menatap Karin lebih lama. Karin yang biasanya membaca tanpa bicara mulai sesekali berbagi cerita.

Karin lalu tiba-tiba nyeletuk

“Kadang aku iri sama orang-orang yang gampang dekat dengan siapa saja,”

kata Karin suatu sore, sambil mengikat rambut panjangnya.

“Aku sendiri… nggak selalu bisa begitu.”

Aldy menoleh, dan menjawab :

“Aku… lebih nggak bisa lagi.”

Lalu karin bertanya

“Kenapa?”

Aldy mencoba menarik napas panjang, mencoba menyusun kata. Ini bukan hal yang biasa ia ceritakan. Lalu aldy mencoba meneruskan jawaban dari Karin :

“ Justru kalau Aku selalu takut salah. Takut ngomong hal yang bikin orang salah paham. Takut kalau aku buka diri terlalu banyak, orangnya pergi.”

Karin menatapnya, lembut. Dan berkata

 “Aldy… semua orang punya rasa takutnya sendiri.”

“Kalau kamu takut apa?” Aldy balik bertanya kepada karin.

“Sama seperti kamu,” jawab Karin dengan nada lembut dan pelan.

“Takut ketika aku percaya sama seseorang… ternyata dia cuma singgah.” Jawab karin.

Kata-kata itu membuat dada Aldy terasa hangat. Ia merasa menemukan seseorang yang memahami luka dalam dirinya tanpa harus menjelaskan banyak hal.

Hubungan mereka pun tumbuh perlahan, seperti bunga yang mekar tanpa suara. Saling meminta nomor handphone, saling berkomunikasi secara intens melalui SMS atau pesan singkat (pada waktu itu), Tidak ada pernyataan cinta tiba-tiba, tidak ada drama besar. Hanya percakapan kecil, tawa lirih, dan keheningan yang kini terasa penuh makna.

Aldy mulai berubah, sedikit demi sedikit.

Ia selalu memulai percakapan singkat, mengirim pesan singkat, seperti :

“Sudah sampai rumah?”

Aldy mulai menawarkan hal yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.

“Karin, Mau bareng ke perpustakaannya?”

Baginya, itu langkah besar.

Dan Karin tidak pernah menuntut lebih dari yang Aldy bisa. Karin tahu Aldy bukan pria yang fasih bicara jika tidak mulai dipancing. Ia bukan pria yang akan mengirim paragraf panjang atau kata-kata manis setiap hari. Tapi sekali Karin mengatakan sesuatu, itu selalu tulus.

Suatu malam, saat mereka berjalan pulang, Karin tiba-tiba berkata pelan,

“Aku suka caramu memperhatikan hal-hal kecil.”

Aldy pun menunduk, malu dan menjawab: “Aku cuma… nggak bisa ngomong banyak.”

“Tapi kamu nunjukin lewat tindakan. Itu lebih berarti buat aku.” Ungkap karin.

Aldy pun menelan ludah karena terpaku dan gemetar. Didalam hati aldy bergumam “ Ini mungkin saat yang tepat”. Jantungnya berdetak tak beraturan.

“Karin…” Aldy berkata pelan. “Sama kamu… aku nggak merasa harus pura-pura.”

Karin kemudian berhenti berjalan. Ia menatap Aldy dengan senyum lembut yang membuat pria itu merasa seluruh dunianya berhenti. Dan menjawab ungkapan Aldy :

“Aku juga, dy,” .

“Kamu bikin aku ngerasa… pulang.” Ungkap Karin.

Aldypun tiba-tiba merasakan sesuatu menghangat di dadanya—perasaan yang selama ini ia tahan, ia hindari, dan ia takuti.

Malam itu, mereka duduk di bangku dekat taman kota yang sepi. Langit cerah, bintang terlihat, dan angin berhembus pelan.

“Aku tau aku banyak kekurangannya,” Aldy mulai bicara. Suaranya bergetar sedikit.

“Aku susah dekat sama orang. Aku sering hilang dalam pikiranku sendiri. Aku takut banyak hal…”Ucap Aldy.

Lalu tiba-tiba karin menggenggam tangan Aldy. Aldypun tersentak pelan, bukan karena terkejut, tapi karena tidak pernah menyangka ada seseorang yang berani menyentuh dinding yang ia bangun begitu lama.

Lalu Aldy kembali berkata : “Tapi kamu tetap di sini,” lanjutnya. “Dan aku… nggak tau gimana harus ngungkapinnya.”

Kemudian Karin mendekat sedikit. “Kamu nggak perlu sempurna buat aku.” Ucap karin

Keheningan menyelimuti mereka sejenak sebelum akhirnya Aldy berkata dengan suara pelan namun jelas:

“Karin, dari pertama kita kenal dan dari caramu yang mau mengenalku, dari mulai setiap obrolan, kamu yang selalu mulai menyapa, dan mulai dari situlah Aku mulai merasa nyaman sama kamu… dengan cara yang belum pernah aku rasain sebelumnya.” Ucap Aldy merangkai kalimat.

Itu bukan sekadar kalimat. Itu pengakuan yang datang dari bagian terdalam dari diri Aldy.

Karin kemudian menatapnya, dan tanpa kata-kata, ia menyandarkan kepala di bahu Aldy.

“Terima kasih karena sudah biarin aku masuk,” Ucap karin dengan nada pelan.

Aldy kemudian memejamkan mata sejenak, meresapi momen itu. Untuk pertama kalinya, tatapan kosongnya tidak lagi kosong. Ia menemukan seseorang yang mengisi ruang itu secara perlahan, lembut, tanpa memaksa. Sambil terdengar dari kejauhan musik “Ternyata Cinta”yang dari Padi Band terdengar, karena taman kota tempat mereka mengobrol tidak jauh dari Café yang selalu menampilkan Live Music.

Aldy tidak pernah tahu bagaimana masa depan mereka. Ia tidak pernah pandai membayangkan jauh ke depan. Tapi malam itu, satu hal ia tahu pasti:

Dalam keheningan, Karin telah menjadi suara yang ia ingin dengar.

Dalam kesendiriannya, Karin sudah menjadi tempat yang ia rindukan.

Dan dalam tatapan kosongnya, Karin menjadi alasan untuk melihat dunia sedikit lebih cerah.

Aldy membuka mata. Ia menatap langit, lalu menatap Karin.

Dan dengan suara hampir berbisik, ia berkata:

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Kemudian Karin tersenyum, hangat, tulus, penuh cinta.

“Aku nggak akan pergi, dy,” jawabnya. “Selama kamu masih butuhin seseorang yang ngerti diammu… aku di sini.”

Malam itu, tanpa pelukan dramatis atau kata-kata puitis yang berlebihan, sesuatu berubah. Hubungan mereka tidak menjadi sempurna, tapi menjadi nyata. Dan untuk dua orang yang pernah takut terbuka, itu adalah bentuk cinta paling indah yang bisa mereka miliki.

Dan begitulah…

Tatapan kosong itu perlahan berubah menjadi tatapan yang menemukan rumahnya.

Ternyata orang asing yang berada disampingnya ketika diperpustakaan adalah orang yang kemudian pada akhirnya mengisi hati dan hari harinya.

_____________________________SEKIAN______________________________________

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi