Disukai
2
Dilihat
1,267
Cinta Dalam Secangkir Kopi
Romantis

Kami bertemu di suatu senja yang gerimis. Pada sebuah kafe di sudut Jakarta. Kami sama-sama menyukai kopi dan kami mengibaratkan diri seperti kopi dan gula. Dia dengan kulit gelapnya dan segurat senyum manisnya duduk menyeberangiku.

"Aku kan berkulit gelap, jadi aku adalah kopi bagimu," katanya dengan tatapan jenaka.

Aku membalas senyumnya, "Ya, tapi kamu jadi terlihat manis karena aku adalah gula bagimu."

Senyumnya kian rekah. Aku suka.

"Kamu tahu, baju hitam itu membuatmu kian jadi kopi bagiku," kataku lagi dengan kerjapan kecil. Ya, dia suka pakai baju hitam, aku memperhatikan itu dari dulu. Dan aku suka melihatnya memakai baju hitam. Terlihat sangat lelaki bagiku.

Dia memandangku lama. Senyumnya selalu manis. Ya Tuhan, aku tak pernah berhenti mengaguminya. Sejak dulu. Tapi aku selalu menjaga jarak dengannya, aku takut terlalu mencintainya. Tatapannya kian tajam dan garis senyumnya memudar. Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu yang penting, paling penting dari segala basa-basi. Aku tertunduk memandang kopi di gelasku, seakan sudah menduga apa yang ada di pikirannya.

"Tapi kenapa Tuhan tidak menakdirkan kita bersama ya? Bukankah kopi dan gula harus bertemu dalam satu cangkir?" Benar saja, dia mengucapkannya. Tepat saat kurasakan ada yang menghangat di sudut mataku. Ya, kenapa selama ini kami seakan berpura-pura tak punya rasa satu sama lain? Kenapa dulu kami seakan tak peduli, padahal hati kami begitu kuat ingin memiliki. Itu sangat bisa dibaca dari tatapan kami tiap kali bertemu. Kebodohan macam apa ini?

"Mungkin kopinya kopi pahit," jawabku pelan, sangat pelan. Dia hanya diam, dengan senyum bergaris getir.

"Mungkin bukan sekarang..., mungkin nanti," kataku lagi, tapi dalam hati.

 

***

 

"Apakah kamu sering ke sini?" Lelaki berkulit gelap itu bertanya saat kami kembali bertemu di tempat yang sama.

Aku tersenyum sambil mengangguk ragu. Wow, aku telah berbohong demi pertemuan dengannya. Berharap dia juga akan sering ke sini, menikmati kopi bersama meskipun aku tahu ada tembok tinggi di antara kami.

"Selalu sendiri?" tanyanya lagi dengan alis terangkat. Senyumnya masih jenaka, senyum yang kusuka. Aku mengangguk, membalas senyumnya.

"Dia tidak pernah menemanimu?" selidiknya dengan agak menyipitkan mata jenakanya yang memukau. Aku menatapnya jengah, salah tingkah. Apa yang harus kujawab?

"Oh maaf, kurasa itu gak perlu dijawab. Terkadang kopi lupa bahwa gula masih belum masuk ke dalam cangkir. Masih kopi pahit," ujarnya dengan senyum lebar. Aku ikut tersenyum, berusaha tenang.

"Sejak mengenalmu puluhan tahun lalu, aku gak pernah melihatmu bermuka cemberut, masam, marah atau sedih. Ekspresimu selalu ceria, jenaka, penuh senyum dan tawa. Kenapa?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

Dia kembali mengangkat alis, membetulkan gulungan lengan kemeja hitamnya sebelum menjawab, "Kamu begitu perhatian. Kenapa aku gak menyadari itu dari dulu?"

Mendadak aku kembali salah tingkah.

"Wajahmu selalu memerah tiap kali salah tingkah. Kurasa itu yang paling kusuka darimu sejak dulu," katanya lagi membuatku kian jengah.

"Jadi, kamu juga begitu perhatian sama aku?" Aku balik bertanya. Dia hanya tersenyum penuh arti, tak menjawab pertanyaanku.

Lama dia diam, menikmati tegukan kopinya sambil sesekali memandangku yang entah kenapa kali ini begitu salah tingkah. Duh, aku benci ini. Benci kenapa sejak dulu aku sering salah tingkah di depannya hingga memilih menjauh daripada aku lupa cara bernafas di depannya.

"Aku pulang duluan ya. Kamu gak dijemput?" Dia pamit, meraih kunci kendaraannya di tengah meja yang jadi pembatas kami. Aku menggeleng. Sesaat kami bertukar senyum sebelum dia beranjak menjauh.

Ohmaigat! Tidak adakah cara pamit yang lebih indah? Setidaknya menawarkan diri mengantar aku pulang. Ups!

 

***

 

"Apa filosofi tentang kopi yang kamu suka?" tanyaku saat kami kembali duduk berseberangan di meja yang sama. Di luar hujan turun perlahan.

Dia seperti berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sepahit apapun kopi, tetap manis jika minumnya bersama kamu."

Mataku membundar. Ya Tuhan, kalimat itu sebenarnya biasa saja tapi terdengar begitu manis saat dia mengucapkan, semanis senyumnya yang mengembang penuh arti. Damn! Kumaki mataku yang hampir lupa berkedip.

"Kamu? Apa filosofi kesukaanmu?" tanyanya dengan tatapan penasaran.

Aku berpikir sejenak, kurasa semua filosofi tentang kopi menarik dan indah. "Kopiku kali ini lebih pekat seperti matamu, hangat seperti ingatanku terhadapmu dan... pahit seperti kenyataan," jawabku dengan senyum kecut.

Giliran matanya yang membulat, "Jadi kamu minum kopi hitam tanpa gula kali ini?"

Aku mengangguk, "Ya, kurasa aku perlu tahu pahitnya ketika gula belum masuk ke dalam cangkir menemani kopi. Tapi sejatinya nikmat kopi tak kan pernah hilang meskipun tanpa gula karena gula hanyalah pelengkap."

"Tapi kamu tahu kan, saling melengkapi itulah kesempurnaan hidup." Dia menatap kepulan asap di atas cangkir kopinya sambil merapatkan jaket hitamnya.

Di luar hujan mulai reda. Aku menarik nafas dalam. "Tapi minum kopi tanpa gula lebih sehat untuk kita saat ini."

"Karena ada dia?" Matanya menyipit membuatku jengah. Ingin kujawab,

"Bukan, tapi karena ada dia di sisimu." Namun kalimat itu aku tahan. Aku hanya diam. Buat apa? Untuk memamerkan bahwa kini aku sendiri? Lalu apa untungnya mengakui fakta itu pada lelaki yang punya pasangan? Sekuat apapun perasaanku terhadapnya, aku tak kan pernah jadi orang ketiga. Bagiku menikmati kopi pahit itu lebih baik daripada memaksakan gula sebagai pemanisnya dengan resiko penyakit di belakangnya.

 

Dia memandangku, lama. Tanpa senyum. Akupun merasakan senyumku memudar. Lama kami terdiam, menikmati kopi masing-masing. Entah apa kecamuk di benaknya tapi yang pasti kulihat bibirnya mulai hendak berkata-kata lagi.

"Meskipun kamu tidak menjawab, aku paham kondisi kita. Rasa kadang memang tumbuh di tempat yang gak semestinya. Tapi aku percaya rasa gak pernah salah. Dia tahu siapa yang layak untuk dicintainya, walau mungkin tidak untuk dimiliknya. Maafkan aku untuk semua pengakuanku. Karena kopi tak pernah berbohong soal rasa." Senyumnya begitu tipis.

"Kenapa kamu minta maaf?" tanyaku berusaha menahan agar suaraku tidak bergetar akibat jantungku yang berdetak dua kali lipat. Beruntung aku sudah terlatih untuk tegar hingga cukup siap jika dia mengucapkan selamat berpisah pada pertemuan-pertemuan kami di tempat ini.

"Aku takut telah mengusikmu. Mengusik kamu dan dia. Aku gak pernah bermaksud mengganggu. Semua terjadi begitu saja. Kita bertemu di sini pertama kali tanpa rencana. Aku hanya kebetulan mampir karena gerimis lumayan rapat waktu itu. Lalu selanjutnya aku selalu berusaha datang kesini, bukan karena gerimis tapi karena harapan bisa bertemu kamu," jawabnya dengan wajah sangat serius.

Jadi sebenarnya pertemuan kami pertama itu sama-sama kedatangan pertama kami ke tempat ini? Nafasku terasa begitu berat. Aku diam, tetap diam hingga dia berlalu.

Kopiku terlihat kian pekat, kian pahit. Itulah fakta. Dan aku sudah biasa menerima fakta paling pahit sekalipun. Aku ragu, apakah besok-besok aku masih akan datang ke tempat ini. Entahlah...

 

***

 

Meja ini terasa sunyi. Lelaki berkulit gelap itu tak ada lagi di seberangnya. Aku sudah menduga, senja kali ini akan berbeda. Asap kopiku mengepul, mengembun di wajahku. Di luar jendela gerimis turun halus, sehalus rasa kehilangan yang coba kusembunyikan.

Aku sudah terbiasa dengan kepahitan, ini bukan apa-apa. Hanya sebuah kehilangan biasa. Ada yang datang dan ada yang pergi. Itulah hidup. Aku tak perlu berlebihan menyikapinya. Bukankah selama ini hidupku terus berjalan meskipun tanpa dia? Sekali lagi, jangan berlebihan! Kuingatkan diriku berulang kali agar tegar. Aku tidak suka terlihat lemah.

Tapi kenapa ini? Kenapa sulit sekali menganggap ini kehilangan biasa? Kenapa sulit sekali menahan diri untuk tidak menangis? Sejak kapan aku jadi perempuan cengeng? Harusnya tidak seberat ini seandainya tak pernah ada pertemuan-pertemuan kemarin. Harusnya aku tidak merasa sesesak ini seandainya dia tidak membuat pengakuan itu.

Mataku terasa berkabut menatap selembar kertas di meja. Ucapan perpisahan. Tulisannya, masih bagus seperti dulu. Aku bahkan tahu bentuk tulisannya karena diam-diam suka mengintip bukunya yang dipinjam temanku dulu.

"Maafkan aku. Maafkan untuk semua pengakuanku. Aku salah. Aku hanya berpikir dari sisi diriku, lupa berpikir dari sisi kamu. Aku hanya ingat bahwa aku sekarang sendiri, sedangkan kamu punya pasangan. Aku menghormati pernikahanmu, maka biarlah kopiku tetap pahit tanpa gula. Itu lebih sehat seperti katamu. Aku pamit. Terimakasih untuk pertemuan kemarin, itu semua tak terlupakan. Aku tidak pernah menyesali perasaanku, yang kusesali hanyalah kenapa semua terlambat aku sadari. Sekali lagi maafkan aku. Semoga jika kelak bertemu lagi, kita sudah bisa menikmati kopi dengan gula dalam satu cangkir yang sama."

Tanganku mengepal. Emosiku mendadak meletup. Inilah yang membuat mataku berembun kali ini. Ternyata dia sudah sendiri. Kenapa kemarin-kemarin aku tidak bertanya tentang statusnya, apakah dia sedang sendiri atau berdua? Dan kenapa dia juga tidak bertanya tentang statusku? Atau kenapa dia tidak bercerita saja tentang statusnya saat ini hingga akupun tak perlu ragu untuk menjelaskan statusku.

Sungguh gila! Kami sama-sama sedang sendiri tapi saling menduga yang sebaliknya. Lalu sekarang kemana aku akan mencarinya sedangkan kami tak bertukar nomor ponsel sama sekali? Sungguh seperti sinetron Indonesia!

Apakah dia tahu bahwa semalaman aku mencari namanya di semua platform media sosial? Dan tak satupun namanya kutemukan. Lelaki aneh, hidup di zaman now tapi tak punya akses ke media sosial. Perasaanku mulai bercampur kesal luar biasa. Kenapa harus sedramatis ini?

Di luar langit mulai gelap. Aku masih enggan untuk pulang. Terbayang bagaimana dulu dia sering melempar senyum padaku tiap kali kami berpapasan. Meskipun tidak pernah ngobrol tapi kami selalu saling tersenyum tiap kali berpapasan. Mata memang sulit berbohong tapi mulut kami tetap bungkam. Dia terlalu canggung untuk menyapaku dan aku terlalu gugup untuk ngobrol dengannya.

Aku melihat jam di layar ponselku, sudah semakin malam. Aku masih berharap dia tiba-tiba muncul seperti biasa. Duduk di depanku dengan kemeja hitamnya yang khas. Tapi aku sadar itu sia-sia. Ah, sudahlah. Dan ketika gerimis memudar, aku bangkit bersiap pulang.

"Mbak, maaf. Ini nomor telepon Abang yang menitipkan surat tadi," kata pelayan kafe tergopoh. Dia yang tadi menyerahkan surat itu padaku.

Aku menatapnya tak berkedip. Lalu beralih menatap kertas kecil di tanganku yang berisi sebuah nomor telepon. Ya Tuhan, apakah aku harus bersorak norak menerima surprise ini? Kuhempaskan nafas yang mendadak terasa begitu lapang. Pandanganku terasa jernih, seperti orang yang baru saja keluar dari sebuah labirin.

"Katanya disuruh kasih kalau Mbak sudah mau pulang. Dan Abang itu berpesan, cukup hubungi dia kalau ada hal penting saja." Pelayan itu menjelaskan sambil tersenyum sopan.

"Oya, katanya dia tidak punya Whatsapp, hanya telepon dan SMS saja," sambungnya.

Apa? Aku melongo. Lelaki purba! Tapi demi Tuhan aku tetap cinta.

Kembali kutatap pelayan pria itu dengan tajam. Dia terlihat agak kikuk karena aku masih terus memandangnya tanpa berkata-kata. Dengan menarik nafas panjang aku sampaikan terima kasihku atas titipan yang sudah diserahkannya. Kupandangi ruangan kafe itu berkeliling. Sepi, tak ada tamu lain.

"Mas, tempatmu ini adalah tempat paling indah yang pernah aku kunjungi. Di tempat inilah aku percaya bahwa keajaiban itu ada. Di tempatmu ini juga aku jatuh cinta untuk kedua kalinya pada lelaki yang sama. Terimakasih ya. Nomor ini sangat berarti buat aku. Kopimu adalah yang paling enak di dunia karena di dalamnya ada cinta," kataku sambil tersenyum. Rasanya belum pernah senyumku seringan ini.

Aku melangkah keluar sambil menarik tutup kepala jaketku. Aku ingin berjalan kaki, menikmati sisa gerimis yang mengembun. Sekalian ingin mampir sejenak ke mushala di ujung jalan, mengucapkan terimakasih pada-Nya atas keajaiban hari ini.

 ***

 “Aku merasa skenario takdir begitu unik dan indah untuk kita,” katanya sambil menatap langit yang menyemburat jingga. Senja selalu indah untuk dinikmati, terlebih bersamanya. Mata kelamnya terlihat begitu tajam. Ah, dia selalu mempesona sejak dulu. Setidaknya di mataku.

“Aku tak pernah membayangkan akan sanggup berkata jujur padamu. Aku sebenarnya begitu gugup bicara denganmu, bahkan untuk sekadar menatap matamu. Dan kamu tahu, matamu sangat aku suka. Mata yang selalu tersenyum, tapi selalu membuatku kelu,” ujarnya lagi dengan senyum dikulum.

“Mungkin secangkir kopi yang kita minum waktu itu membuatku begitu berani bicara apa adanya padamu. Entahlah, mungkin sudah takdirnya semua terungkap. Aku merasa itu adalah pertemuan yang luar biasa,” gumamnya dengan tatapan takjub.

Aku ikut tersenyum. Ini memang seperti sebuah keajaiban. Keajaiban bisa bertemu lagi dengannya dalam kondisi perasaan yang tak pernah berubah dari dulu. Inikah cinta yang tak lekang oleh waktu? Kami akhirnya dipertemuakan dalam mahligai kedua ini dengan rasa yang tak berkurang sama sekali. Bahkan terasa semakin bermakna dalam.

“Waktu aku menitipkan kertas dan nomor telepon pada pelayan kafe itu, aku telah menyerahkan nasibku sepenuhnya pada takdir. Nasib untuk tidak pernah bertemu lagi denganmu. Dan sakitnya, aku seperti kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Saat itu aku berpikir, meskipun hanya tersisa satu hari untuk bisa bahagia bersamamu, maka aku akan menunggu hari itu tiba. Namun ketika tiba-tiba kamu menelepon dan kita bicara lama malam itu, aku seperti orang yang dibangkitkan dari tidur panjangku,” ujarnya dengan mata mengerjap kejora.

Sampai di titik ini, aku pun percaya bahwa kadang kita akan dipertemukan dulu dengan pasangan yang salah sebelum akhirnya bertemu pasangan sejati kita. Dan dia adalah orang yang benar-benar aku cintai sepenuh hati. Kehadirannya bagiku seperti obat luka paling sempurna setelah dikhianati. 

“Kamu tidak ingin bicara apa-apa?” tanyanya mengerutkan dahi.

Aku mengangkat bahu. “Aku harus bicara apa? Semua yang kamu ungkapkan adalah sama dengan apa yang aku rasakan. Jadi untuk apa lagi aku bicara? Aku cukup mendengarkanmu karena aku suka mendengar semua ceritamu,” jawabku tersenyum.

Kami saling bertatapan, sebelum sama-sama diam memandang kaki langit yang tembaga. Rona jingga begitu nyata memantul di wajahnya. Aku seakan tak ingin senja menghilang. Senja terlalu cantik untuk pergi menjauh. Tapi aku tahu, meskipun sebentar lagi malam akan datang menyelimuti, semoga itu tak menyurutkan niatku untuk selalu melewati hari bersamanya. Entah dengan tangis ataupun tawa, aku berjanji akan terus menggenggamnya hingga akhir usia.

Cukuplah kalimatnya yang menggetarkan kujadikan penguat hatiku, “Aku akan terus jatuh cinta padamu sesering yang aku inginkan. Karena kamulah orang yang tak pernah berhenti membuatku jatuh cinta. Setiap hari, setiap saat. Semoga Tuhan memaafkan atas cintaku yang terlalu dan menjaga pernikahan ini hingga akhir hayat.” (NSR)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@kanayaputi : Sudah ada novelnya kak, lagi berlangsung. Sudah sampai chapter 6 hehe.
Ini kalau dibikin novel bagus nih.
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi