Disukai
0
Dilihat
31
Cerita Tentang Hantu Gentayangan
Horor

Bagaimana jika setelah mati nanti, seperti dalam film-film, kita menjadi hantu gentayangan. Jika memang demikian, ketimbang membayangkannya sebagai hantu, membayangkannya sebagai makhluk yang tak pernah berhenti mencari sesuatu akan jauh lebih menakutkan, bukan? Jika hidup beranjak dari kegelisahan ke arah ketenangan, lalu beranjak lagi ke arah kegelisahan dan ke arah ketenangan berikutnya saja sudah mengerikan, bagaimana jika mati malah membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan kegelisahan?

Itulah yang terjadi padaku. Bisa kau bayangkan? Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku inginkan, tapi dalam diriku, aku selalu merasa ada yang kurang. Aku tak bisa berdiam diri seperti dulu. Mengurung diri dalam kamar dan tak melakukan sesuatu apapun. Memang aku tak menangis atau terlalu bahagia dengan kehidupanku sebelumnya, tapi dulu, aku tahu apa yang aku inginkan, bahkan jika keinginan itu adalah sebuah ketidakinginan.

Dulu, aku memang lebih sering tak menginginkan sesuatu ketimbang menginginkannya. Meski demikian aku kadang bermimpi tentang banyak hal. Dan mimpi adalah sesuatu yang tak harus diwujudkan.

"Mimpi hanya akan jadi mimpi ketika ia telah diusahakan!" kata seseorang.

Tidak, aku tak setuju. Mimpi biarlah jadi mimpi. Tak usah kau ributkan kosakata itu, lalu, kau sanggah dengan kata angan-angan atau khayalan. Bagiku, mimpi berada dalam dunia yang berbeda. Aku tak pernah ingin mewujudkan mimpiku. Lagipula, mimpi, tanpa harus kita ketahui ia bisa terwujud atau tidak, akan menjadi sesuatu yang lebih indah ketimbang ia menjadi nyata. Lagipula, ketidaktahuan dan pengetahuan toh akan saling mengisi dengan sendirinya.

Sampai suatu saat, tiba untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa harus mewujudkan mimpi itu. Mimpi yang aku sendiri tak tahu mengapa aku harus mewujudkannya. Ketidaktahuan macam apa yang membuatku seakan-akan tahu dan yakin bahwa aku bisa mewujudkannya? Atau, iblis dari mana yang telah menyesatkan pikiranku terlampau jauh hingga Tuhan membenci dan menghukumku menjadi seperti sekarang ini? Hingga kini aku tak diperkenakan tahu jawabannya.

***

"Sudah 3 hari kau tak keluar kamar!"

"Ya." Jawabku pendek. Tentu saja aku masih hidup. Aku masih bisa mendengar suaranya. Dan tanpa perlu bertanya lagi, aku tahu siapa orang itu. Barangkali dia adalah satu-satunya orang yang mau berteman denganku. Pernah suatu kali aku tanyakan alasan itu padanya, katanya: "Justru aku mau berteman denganmu agar aku tak perlu mendengarkan suaramu. Kau tahu, di luar sana, dunia sudah terlalu bising dengan suara-suara. Sebagai sebuah komunitas mereka tak bisa diharapkan sama sekali."

"Kau juga ada di antaranya," tuduhku.

"Ya, tapi aku berbeda. Apa yang aku suarakan hanya soal kebenaran semata. Lebih lagi, kebenaran yang hakiki."

"Semua orang bersuara karena mereka yakin apa yang mereka suarakan itu benar, bukan? Bahkan bising ribut yang keluar dari mulut knalpot itu tak akan pernah mengaku bahwa ia telah begitu bersalah." Aku tidak ingat ia membalasku lagi. Barangkali ia tahu bahwa aku sesungguhnya tak pernah peduli pada ceritanya. Timbal balik, pikirku. Sebab ia adalah satu-satunya orang yang pernah mendengar mimpiku, dan kemudian aku menjadi bulan-bulanan olehnya, dan sejak saat itu, aku tak mau peduli lagi pada ceritanya.

Mungkin ia tak salah. Tapi, bagaimana kalau selama hidupku, entah di kehidupan masa lalu atau kehidupan reinkarnasiku, di usia yang ke-17, aku masuk dalam tim sepakbola yang bermain di liga utama Korea Selatan? Karierku terus melejit dan setiap tahun aku berpindah tim, berpindah negara, lalu mengelilingi Eropa sampai puncaknya aku bermain di liga Inggris pada usiaku yang ke-24. Di sela-sela perpindahan itu, aku belajar bahasa, sejarah, tradisi, musik, sastra, politik, dan kebudayaan masing-masing negara yang aku tinggali. Di puncak karierku itu, tiba-tiba aku terlibat perang dingin dengan Presiden Amerika Serikat. Musababnya, Presiden Amerika Serikat itu, dalam kicauannya di X, menyebutku sebagai pendukung teroris setelah aku mengibarkan bendera Palestina dalam perayaan gol yang kucetak dan menjadi kunci kemenangan Manchester United: timku, dalam pertandingan final liga champion melawan Real Madrid. Orang-orang menyanjungku, tapi perseteruanku dengan Presiden Amerika Serikat tak padam. Aku yang tak terima dengan ucapan Bapak Paman Sam itu menulis lirik lagu untuk dia dan para pendukungnya yang bodoh. Lalu, terciptalah lagu American Idiot yang sebetulnya milik Green Day, yang sebetulnya aku tak tahu betul apa isinya, yang kugubah liriknya agar pas dengan situasiku saat ini.

Di usiaku yang ke 25, aku menjadi pemain terbaik di dunia. Tapi, karena perseteruanku dengan seorang presiden itu, aku tak bisa melanjutkan karierku. Tak ada tim yang berani mengambil resiko merekrut pemain dengan label teroris sepertiku. Aku muak. Aku tinggalkan dunia sepakbola untuk selama-lamanya. Tapi aku tak berhenti mengguncang dunia.

Lagu American Idiot adalah awal karierku menjadi seorang musisi. Dunia sepakbola mungkin telah mencampakkanku, tapi dunia musik membawaku lebih jauh mengelilingi dunia dan membuat suaraku jauh lebih keras. Aku menjadi selebriti dunia, menjadi bintang iklan merek-merek ternama, menghadiri berbagai acara penting dengan tokoh-tokoh penting, dan menerima penghargaan bergengsi sebagai seorang musisi. Pada suatu hari, dalam sebuah acara yang dipandu oleh seorang komedian, aku berujar, "Kau tak cukup lucu, kawan! Jika kau terus mengikutiku, kau akan tahu bahwa akulah pencipta komedi terbaik di dunia." Seluruh tamu undangan, termasuk sang komedian itu tertawa.

Setelah acara itu, aku umumkan pada dunia bahwa aku undur diri dari dunia musik. Semua orang heran dan tak percaya dengan keputusanku. Majalah, koran, radio, televisi dan seluruh platform berita mengabarkannya. Desas-desus muncul mengabarkan bahwa aku-sang bintang-mendapat ancaman dari agen rahasia Amerika Serikat sebab konon, aku tengah membangun organisasi jahat yang akan mengancam kedaulatan sebuah negara. Aku hanya tertawa dari balik panggung. Menjauh dari hiruk pikuk dan gemerlap industri hiburan itu, menyepi, jauh di pedalaman Papua Barat sana, kemudian menjadi seorang penulis yang diliputi hanya oleh kesunyian.

Dari tangan dinginku terlahir karya-karya hebat yang sekali lagi mengguncang dunia. Tidak berlebihan, sebab di usiaku yang ke-45 aku mendapat penghargaan nobel sastra. Lagi-lagi orang pada ribut. Kritik dan bermacam-macam spekulasi menyerang ke alamat kesunyianku. "Terlalu aneh!" kata mereka. Aku hanya tertawa dari balik panggung. Tak lama, aku memutuskan untuk berhenti menulis setelah 4 bukuku: Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca lahir menjadi warisan pamungkas yang aku tinggalkan. Setelah itu, kabar tentangku benar-benar tak terdengar selama 10 tahun. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya aku lakukan selama 10 tahun itu. Hingga suatu saat, Papua Barat pecah. Tentara, polisi, media, pejabat tinggi, intelektual, mahasiswa, dan seluruh elemen masyarakat dari kota sampai pedalaman menyatakan diri untuk merdeka dari cengkeraman Sang Garuda. Pada saat itu juga, aku muncul ke hadapan dunia dengan gagah berani dan teks proklamasi di kedua tanganku.

"Bahkan terlalu tolol untuk sebuah mimpi!" katanya. Sejujurnya aku ingin menambahi bahwa Papua Barat yang aku pimpin kelak menjadi negara yang lebih maju dari Indonesia. Tapi dia memotongnya dengan sangat tidak hormat. Aku muntab. Dan sejak saat itu aku tak mau peduli lagi pada cerita-ceritanya.

Sebetulnya, aku mencoba untuk tidak peduli pada segala hal yang terjadi di dunia ini, bahkan di sekitarku sendiri. Tapi itu tidak efektif. Sepertinya, otak manusia tidak dirancang untuk tidak peduli pada suatu hal. Ia akan terus bekerja selama ia masih dinyatakan hidup, bahkan ketika manusia tengah tertidur. Maka aku berhenti bekerja. Dunia kerja selalu menggangguku. Ia membangunkanku di tengah tidur dan menguras tenagaku saat terjaga. Dan itu, seperti dugaanku, juga tak membantu. Barangkali aku akan terjebak dalam lingkaran kelam ini selamanya. Barangkali aku tidak sendiri. Barangkali ada jutaan manusia yang tak tahu apa lagi tujuan hidupnya, seperti diriku.

"Buka pintunya, Ya!" Aku buka pintu kamarku. Ia nampak cukup terkejut melihat panorama dalam kamarku. Ia segera masuk dan menutup pintu seperti pemilik, sambil menutup lubang hidungnya.

"Siapa yang sudah memindahkan Bantar Gebang ini ke dalam kamarmu?"

"Ada apa?"

"Apa aku mengganggumu?"

"Tentu saja." Perlahan-lahan, tangan di hidungnya mulai ia lepaskan.

"Perusahaan akan mengeluarkanmu jika kau masih berniat alpa besok pagi."

"Aku sudah keluar."

"Sejak kapan?"

"Sejak aku tak berangkat di hari pertama sampai hari ini. Ini juga tertulis dalam peraturan yang sudah kita tandatangani sebelum bekerja pada perusahaan korup itu." Ia memandangiku dengan heran.

"Sejak kapan kau peduli pada lingkungan perusahaan?"

"Aku tak pernah peduli." Ia menghela napas panjang, kemudian terdiam. Seperti memikirkan sesuatu, dengan senyum yang mencurigakan.

***

Sebagai hantu, aku tak berhak memunculkan wujudku. Aku tak berhak menakut-nakuti atau merasuki seseorang. Bahkan menyentuh benda dalam dunia ini aku tak diizinkan. Ini sungguh kejam, tapi ini adalah hukuman atas perilakuku di kehidupanku sebelumnya. Aku juga tak punya nafsu. Sudah kutelusuri tiap tempat paling kotor di dunia ini. Tak ada. Tak kutemukan perubahan apapun dalam tubuh yang menerawang ini.

Aku juga tak bisa berhenti berjalan. Sebab tujuan dalam hidupku telah Tuhan hapuskan. Suatu kali, Malaikat menunjukkan catatannya padaku. Di sana namaku tertera dengan tinta tanpa warna, dengan huruf yang tak pernah aku lihat selama hidupku. Aku tak tahu bagaimana aku bisa membacanya. Ia ada, tapi seperti tak ada. Kehidupanku yang sekarang memang penuh dengan ketidaktahuan dan pengetahuan yang membingungkan. Setelah namaku, dalam catatan yang seharusnya rahasia itu, yang ada hanyalah kehampaan. Aku tak bisa menjelaskannya dengan baik. Sebab kehampaan itu tak pernah aku temui sebelumnya. Aku tidak ada di bumi, namun tak ada di langit. Tak ada di keramaian, tapi tak pernah tahu hakikat kesunyian. Aku tak ada di mana-mana, tapi aku ada di mana-mana. Lalu, aku tanyakan itu pada Malaikat pembawa catatan. "Mengapa aku menjadi seperti ini, ya, Cahaya Tuhan?" Dia menjawab dengan bahasa yang tak aku ketahui sebelumnya. Tapi aku tahu apa yang ia katakan. Lihat, bahkan bahasa telah Tuhan kaburkan dari ingatanku. Namun, meski aku tahu apa yang ia katakan, aku masih tak mengerti di mana letak kekhilafanku. Tapi biarlah, biar aku ceritakan semampuku, dengan bahasaku:

Setelah berhenti bekerja, aku dilanda kegalauan yang semakin menjadi-jadi. Hari-hariku dipenuhi dengan kecemasan dan kegelisahan. Aku ingin keluar dari situasi seperti ini, tapi...

"Kehidupan!" katanya. "Kau sedang dilanda masalah kehidupan." Entah mengapa aku mendengarkan ucapannya kali ini.

"Aku butuh solusi."

"Tak ada solusi," ia biarkan kalimatnya menggantung seperti sengaja menungguku. Aku yang sedikit kebingungan masuk dalam genggamannya, lalu ia meneruskan ceramahnya.

"Solusi atas kehidupan, jika ia kau paksakan sebagai sebuah persoalan, hanyalah kematian." Aku semakin kebingungan.

"Apa aku salah?" tanyanya hati-hati.

"Tidak, sejauh yang bisa aku pikirkan."

"Lalu?" Aku yang tak mengerti maksud pertanyaan itu hanya bisa diam. Sebelum bisa mengurai guncangan atas pertanyaan itu, ia kembali mengguncang pikiranku.

"Kau tak pernah takut dengan kematian, bukan?" Aku mengangguk. "Di lain sisi, kau ragu karena kau pikir kehidupan bukan ditujukan untuk kematian semata. Maka, kau tak pernah mengakhiri hidupmu." Lagi-lagi aku mengangguk. "Kalau begitu, kami tahu apa yang kau butuhkan."

Kejadian itu terasa begitu cepat. Beberapa bulan setelah percakapan itu, setelah melewati fase yang cukup mengerikan, pelatihan yang dinilai telah matang, serta pemahaman yang begitu meyakinkan, sebuah bar hancur dan terbakar. Ratusan orang meninggal dan terluka sebab bom yang menempel di tubuhku meledak dengan begitu hebat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi