Disukai
0
Dilihat
1083
Bergegas Tumbuh
Drama

Terhitung, sudah dua tahun aku tinggal kembali di kota asalku. Awalnya tidak mudah mengembalikkan sepenuh diriku kembali menetap disini. Terlanjur sudah, aku menaruh hati dengan kota rantauku sebelumnya. Kotanya cukup besar, orang-orangnya sama ramahnya dengan di kotaku, hanya saja bahasa mereka sedikit asing di telingaku, dan udaranya sejuk seperti harapan yang kusimpan. Disana, aku bertemu dengan berbagai jenis manusia baru. Beberapa bersikap umum, beberapa lagi bersikap unik. Mereka yang unik inilah yang menarikku, memenuhi diriku dengan segala perasaan pelangi. Mereka pula yang mengajarkanku kecewa sampai aku terpaksa mengasingkan diri dari dunia.

Masa-masa itu telah berlalu. Masaku kini, jauh lebih sulit ternyata. Semakin banyak jalan berdurinya. Semakin sulit dunia untukku cerna baik-baik. Gundahnya makin padat. Sedihnya makin menggunung. Patahnya sudah tak mampu lagi disatukan. Kecewanya akan manusia bumi makin-makin. Baru aku pahami, kecewa yang mereka berikan sebelumnya hanyalah sebuah permulaan agar aku mampu menerima kekecewaan lainnya.

Prestasiku dahulu, rupanya bukan apa-apa untuk saat ini. Keahlianku yang dahulu bertumpah pujian hanyalah sepersekian persen dari milik dunia. Menyadari diriku ini yang kecil menjadikanku semakin sadar, bahwa aku hanyalah seseorang yang angkuh padahal dirinya bukan siapa-siapa. Usahanya dianggap pun tidak.

Berbagai pilihan silih berganti mendatangiku seperti hujan di siang bolong. Kupaksakan diri kecil ini menaruh keputusannya kepada putusan abu-abu. Tidak ada yang bisa menjamin ratusan pilihan itu bisa membuatku benar-benar cemerlang seperti dulu. Karna pada akhirnya keputusan yang datang itu sudah termasuk campur tangan lain, yang katanya lebih mengenal diriku. Mereka begitu yakin aku akan sukses dengan keputusan itu. Sementara lubuk hatiku menaruh hati kepada putusan lain, yang dianggap mereka 'itu nggak mungkin!'.

Mengingat kembali masa kecilku, rupanya dulu aku begitu berani. Kuperjuangkan apa yang benar-benar menjadi inginku. Menjadi bahagiaku. Menjadi aku. Sekarang, aku begitu takut berjuang. Takut gagal, takut dengan omongan orang, takut dengan harapan orang-orang sekitarku, takut dengan ekspektasiku sendiri, takut dengan cara kerja dunia. Lucu ya. Menjadi dewasa itu melelahkan raga dan jiwa ternyata. Tahu begitu dulu aku tidak minta segera menjadi orang dewasa.

Tubuhku ini kecil. Tanganku ini kecil. Kepalaku ini kecil. Tapi, dunia sebegitu menuntutnya ini dan itu. Apa tidak bisa istirahat sebentar saja? Biarkan tubuh kecil ini beristirahat nyaman di tempat yang diimpikannya. Jangan biarkan tangan kecil ini membawa terlalu banyak benda yang bukan inginnya. Dan untuk kepala kecil ini, biarkan ia menurunkan apa yang bukan menjadi harapannya.

Malam semakin dekat dengan pagi. Namun, tetap tidak ada perubahan dengan kegundahan ini. Aku begitu penasaran dengan cara kerjaku semasa kanak-kanak dulu. Bagaimana bisa menjalani hari-harinya dengan begitu ringan? Bagaimana bisa memutuskan sesuatu dengan liar? Dan bagaimana bisa keliaran itulah yang membuatnya bahagia? Apa yang sebetulnya kulakukan betul-betul pada masa itu? Sangat sulit mengingatnya secara utuh. Semua yang sudah berlalu seolah terjadi dalam mimpi belaka. Atau memang aku sedang bermimpi? Ku harap tidak.

Kupandang foto lamaku bersama teman-temanku. Kenangan-kenangan itu kembali bangkit membuatku bersemangat ingin kembali. Di foto itu, kami tersenyum lebar menunjukkan gaya foto pada masa itu. Terlihat cukup menggelikan jika di masa saat ini. Sesekali aku tertawa melihat gaya temanku yang tidak ada malunya. Warung sekolah menjadi latar foto kami. Saat itu, kami tidak terlalu peduli dengan latar foto yang diambil. Terpintas hanya ingin mengabadikan momen kebersamaan kami. Kamera yang digunakan pun hanya satu, dan selalu itu yang digunakan, milik salah seorang temanku yang Handphone-nya memiliki fitur kamera. Nampak canggih pada masanya.

Pernah suatu ketika, aku menjalin hubungan asmara anak belasan tahun. Mulanya ada seorang anak laki-laki mendekatiku, katanya ingin berkenalan. Lalu kami berkenalan, sedikit mengobrol tentang beberapa hal yang tidak begitu aku pahami sebetulnya. Sampai suatu ketika anak laki-laki itu membawakanku sebatang coklat dan beberapa bunga yang dirakit sedemikian cantiknya. Sontak disambut meriah oleh sorakan beberapa mata yang mendapati momen memalukan itu. Baru aku pahami bahwa beberapa hari kemarin aku dan anak laki-laki itu sedang menjalani proses PDKT. Tanpa berpikir panjang aku menolak tawaran menjalin hubungan lawan jenis dengannya. Sorakan bersemangat sebelumnya, berubah menjadi keluhan kekecewaan penonton. Aku tidak tahu apakah yang aku lakukan saat itu betul atau salah.

Keesokannya anak laki-laki kemarin yang menembakku mengobrol akrab dengan seorang anak perempuan cantik kelas sebelah. Sebentar matanya mencuri pandang ke arahku. Namun, sayangnya kuabaikan curi pandangnya itu. Sampai pada akhirnya, ketika pulang sekolah anak laki-laki itu kembali mendatangiku, lalu menawarkan tumpangan gratis sampai rumah. Beberapa mata mulai menangkap interaksi kami. Termasuk anak perempuan yang sebelumnya diajaknya mengobrol. Tatapan-tatapan nakal dari beberapa orang membuatku tidak nyaman.

"Sampai sana saja, ya," pintaku padanya sambil menunjuk tempat yang kutuju.

Di bawah pohon rindang dekat danau, anak laki-laki itu melemparkan tawaran yang sama seperti kemarin.

"Lu mau jadi pacar gue?"

"Oke," Sangat ringan ku jawab tanpa perasaan malu secuil pun.

Sudah berjalan berminggu-minggu aku menjalin hubungan anak belasan tahun dengannya. Begitu berbeda rasanya hidupku. Indah menjadi dominan saat itu. Kedua orang tuaku tidak menahu perihal hubungan ini. Ayahku orang yang keras. Aku sangat khawatir ia akan marah ketika tahu perihal hubungan diam-diam ini.

berjalan tiga bulan, aku jarang mendapat pesan darinya. Di sekolah pun ia menghindar dengan alasan tugasnya sedang banyak. Sampai pada akhirnya, aku mendapatinya sedang bersama seorang perempuan. Ia adalah seorang perempuan cantik kelas sebelah yang sebelumnya mengobrol akrab dengannya. Aku menangis selama beberapa hari. Memblokir nomor telfonnya. Membuang semua barang-barang yang ia berikan percuma kepadaku. Dari sinilah kedua orang tuaku mengetahui hubungan diam-diamku. Anehnya, bukan marah respon ayahku, melainkan, "Cari lagi laki-laki lain yang lebih ganteng dari dia!" Saat itu juga aku tertawa melupakan rasa sedih bodohku.

Masa awal pendewasaanku berada di bangku kuliah. Sebelumnya aku sangat senang menghabiskan banyak waktuku bersama teman-temanku. Namun, di masa awal dewasaku sedikit demi sedikit aku menarik diri dari keramaian. Diri menjadi jauh lebih nyaman tanpa adanya kehadiran orang lain. Aku mulai merasakan banyaknya campur tangan dari luar diriku. Campur tangan yang hanya membuat aku semakin jatuh dalam gundah penemuan diri. Telinga kanan kiri mulai mendapat ocehan-ocehan tak menyenangkan. Kepala kecilku semakin sibuk dalam menjalani harinya, terutama malam.

Satu dua temanku terkadang datang berkunjung mengisi ketenanganku. Kami bertukar cerita. Saling berpendapat. Memberi masukan menenangkan. Tak jarang menguatkan satu sama lain. Harapan akan keistimewaan hubungan pertemanan kami tergambar dalam benakku. Siapa sangka itu hanya dalam benakku. Baru aku ketahui setelah kami dinyatakan lulus dari kampus dan memutuskan kembali ke kota asal kami. Tiba-tiba saja aku merasa kosong. Kegiatan mengirim pesan kami semakin berkurang, hingga akhirnya benar-benar menghilang. Aku semakin kosong. Bingung. Kecewa seolah dimanfaatkan keadaan.

Itu adalah keadaan dua tahun lalu saat aku baru saja dinyatakan lulus. Aku tidak menyangka adaptasi kembali di kota tinggal sebelumnya juga diperlukan. Semuanya benar-benar terasa seperti baru aku jumpai. Dari awal aku mengolah kembali emosi dan keberadaan diriku di kota kelahiranku.

Saat ini, masa-masa itu semakin menjauh. Tersimpan banyak harapan ingin kembali ke masa lalu, meskipun aku sudah tahu dengan jelas jalan akhir ceritaku pada masa itu. Sudah sangat jelas adanya aku yang seperti di masa lalu, tidak akan menjadi aku di masa sekarang. Bahagia, kecewa, sedih, gundah lainnya sudah menunggu demi membentuk pribadi lebih baik.

Kuulang sekali lagi harapanku, aku ingin kembali, jika bisa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi