Konon katanya, sebelum dilahirkan ke dunia, kita ditanya sebanyak tujuh puluh tujuh kali hingga akhirnya mantap mengatakan ”Iya” untuk dilahirkan. Namun, pernahkan kamu berpikir, apa yang berhasil meyakinkanmu untuk mau lahir ke dunia ini?
Suraloka, adalah sebuah tempat indah dimana jiwa-jiwa menunggu giliran untuk lahir dan hidup sebagai manusia. Padang rumput hijau yang menghampar luas dikelilingi sungai biru yang mengalirkan air paling jernih, sebuah gubuk-gubuk kecil beratapkan jerami yang berbaris dengan rapih, dan juga awan putih yang bergerak tertiup angin di langit biru yang luas. Di tempat itu, tidak ada kejahatan, tidak ada rasa iri dengki antar jiwa, dan tidak ada perselisihan. Semua jiwa hidup dalam rukun, damai, dan berkecukupan.
Semua jiwa hidup dalam keseragaman. Pakaian, makanan, bahkan identitas. Sebutan mereka adalah Atma untuk para jiwa yang nantinya akan lahir sebagai laki-laki dan Jivana bagi jiwa yang akan lahir sebagai perempuan. Yang membedakan mereka adalah ciri-ciri fisik seperti wajah dan perawakan. Wajah dan perawakan itu adalah hal yang melekat pada mereka, bahkan hingga nantinya mereka lahir ke dunia dan hidup sebagai manusia.
“Setelah aku lahir, aku akan mencoba menjadi seorang juru masak!” ujar Atma Gemuk Banyak Bicara yang akan dilahirkan ke dunia esok hari dalam upacara pelepasan yang dilakukan setiap bulan. “Ku dengar, keluarga yang sedang menungguku akan melakukan apapun yang aku mau.”
Ya, janji-janji seperti itu memang akan diberikan oleh para pengawas mereka, Irawari. Irawari yang terlihat lebih dewasa, memiliki tugas untuk mengawasi dan menanyakan kesiapan mereka sebanyak tujuh puluh tujuh kali sebelum lahir ke dunia. Mereka baik hati dan senang berbagi cerita keindahan dunia.
“Ku dengar, dunia adalah tempat penuh harapan dan kita bisa menjadi apapun yang kita mau,” ujar Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat. “ku ingin cepat-cepat dilahirkan ke dunia.”
Malam itu, sekitar ratusan bahkan ribuan jiwa dipersiapkan untuk lahir ke dunia. Acara pelepasan yang dilakukan pada malam hari itu dibuat sangat meriah. Meja perjamuan dipenuhi dengan makanan yang menumpuk dan terus berganti. Semua orang gembira dan mengucapkan perpisahan satu sama lain.
“Semoga kita bisa bertemu di dunia! Aku tahu pasti kau tidak mengingatku, tapi paling tidak, kau bisa merasakan bahwa kita pernah bertemu!” ucap Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat pada Jivana Rambut Keriting. Mereka berdua adalah teman yang sejak awal selalu bersama.
“Tentu! Kalau suatu saat nanti kita bertemu, aku harap kita bisa sama-sama saling merasakan bahwa kita pernah hidup bersama di sini!” Balas Jivana Rambut Keriting sambil memeluk Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat.
Malam itu, setelah acara pelepasan, semua jiwa yang akan lahir ke dunia melewati sebuah pintu besar pembatas antara dunia dan Suraloka. Pintu itu hanya muncul ketika acara pelepasan jiwa untuk mengantarkan jiwa-jiwa tersebut ke tempatnya masing-masing. Jivana Rambut Keriting melambaikan tangan kepada Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat sebelum melewati pintu itu. Sedangkan mereka yang ada di Suraloka hanya bisa melambaikan tangan dengan penuh sukacita sampai akhirnya pintu itu tertutup rapat dan menghilang.
Keesokan harinya, ketika ia bangun dari tidur, Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat menghadap Irawari dengan penuh semangat. Seperti biasa, setelah mengirimkan para jiwa ke dunia, Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat langsung mengajukan diri untuk bertanya ke Irawari. Ia selalu mempersiapkan dirinya dengan sangat antusias karena ingin cepat-cepat menyusul Jivana Rambut Keriting dan bertemu di dunia.
“Irawari! Tolong tanya aku sekarang!”
“Kali ini, bukan aku yang akan memberikan pertanyaan. Sekarang saatnya kau yang memberikan aku pertanyaan,” ucap Irawari.
“Baiklah.” Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat berpikir pertanyaan apa yang akan diajukannya. Rasa penasaran itu membuatnya menanyakan sebuah pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan sebelumnya. “Bisakah kau memperlihatkan kehidupanku di dunia?”
“Ya? Bukankah aku telah menceritakan tentang dunia kepadamu?”
“Iya, aku tahu. Tapi, dunia yang digambarkan olehmu tidak menjawab rasa penasaranku.”
“Apa kau benar-benar sudah siap?”
“Ya, tentu saja!”
Irawari mengabulkan permohonan Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat. Bayangan tentang hidup bahagia di dunia seketika hilang ketika ia melihat kehidupan yang akan dijalaninya di dunia. Tidak ada tempat yang indah seperti Suraloka. Tidak ada perasaan nyaman dan tidak ada senyum yang muncul di wajahnya sepanjang ia melihat kehidupan itu. Hidupnya berat dan penuh cobaan. Tidak ada manusia yang bisa dijadikan sandaran.
Manusia yang disebut ayah adalah seorang pemabuk dan pejudi. Ia juga melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Hampir setiap hari, orang yang dipanggil ayah itu akan memukulinya dan manusia yang dipanggil Ibu. Ayah yang seharusnya menjadi pelindung malah menjadi seorang penyerang. Tidak ada sosok pelindung yang selama ini dibicarakan para Irawari dalam sosok manusia yang sedang dilihat Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat.
Manusia yang dipanggil ibu itu juga tidak lebih baik dari manusia yang dipanggil ayah. Ibu, yang katanya adalah sosok yang penuh kasih sayang bagi anak-anaknya, nyatanya berbanding terbalik dengan ibu yang sedang ia lihat. Wanita itu terlihat sebagai sosok yang tamak dan tidak memiliki kasih sayang. Yang dipikirannya hanyalah uang, uang, dan uang. Karena ketamakannya itulah, kini Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat melihat dirinya harus bekerja sedari kecil hingga dewasa.
“Hentikan! Apa-apaan ini!” teriak Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat dengan kesal. “Kupikir, kehidupan di dunia sangat menyenangkan! Tapi, hidup macam apa in!”
“Kau yakin tidak mau melihat semuanya?”
“Untuk apa aku melihat semuanya? Bukankah sudah jelas kalau kehidupan di sana sangat tidak menyenangkan?”
“Menurutku tidak. Aku yakin akan ada hal baik yang terjadi di sana.”
“Omong kosong! Tapi, tunggu dulu, apa teman-temanku tahu mereka akan dilahirkan di tempat seperti itu?”
“Iya. Hampir semua jiwa yang akan dilahirkan memiliki permintaan yang sama sepertimu. Nasibnya juga berbeda-beda. Ada yang bernasib baik, ada juga yang bernasib lebih buruk darimu. Tapi semuanya memutuskan untuk lahir ke dunia”
“Bodoh! Lebih baik tetap tinggal dan hangus di sini saja daripada lahir dan tinggal di tempat seperti itu!”
“Jadi, apa kau mau dilahirkan ke dunia?”
“Tentu saja tidak! Aku lebih memilih untuk hidup di sini sampai aku hangus! Dilahirkan di tempat seperti itu hanya merugikanku. Tidak ada yang mendapat keuntungan dari hal itu!”
Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat pergi meninggalkan Irawari dengan kesal. Baru pertama kali ia merasakan kemarahan. Tubuhnya menjadi sangat panas yang tidak diketahui datang dari mana. Dadanya terasa sesak meskipun kini ia ada di tempat yang luas dan bersama dengan angin yang bertiup pelan. Tangannya mengepal, berusaha meninju sebuah pohon besar yang kini ada di hadapannya.
“Jangan meninju pohon itu, dia tidak salah apa-apa,” suara Atma Jangkung memecah konsentrasi Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat. Kini, Atma Jangkung berdiri di hadapan Jivana dan menatapnya dengan dalam dan penuh kasih sayang.
“Diam. Kau tidak tahu apa-apa.”
“Benarkah? Beri tahu sekarang agar aku bisa menghiburmu.”
“Kau tidak akan pernah tahu rasanya melihat kehidupan di dunia. Kau tidak akan tahu rasanya sudah melihat bahwa dunia adalah temapt yang buruk. Kau tidak tahu kalau...”
“Aku tahu,” potong Atma Jangkung. “Aku sudah melihat semuanya.”
“Kau melihat semuanya? Bagaimana kehidupanmu di dunia? Baik-baik saja atau buruk?”
“Ya, begitulah.”
“Lalu apa keputusanmu?”
“Sepertinya aku akan tetap lahir ke dunia.”
“Kenapa? Karena hidupmu akan menyenangkan?”
“Tidak juga, hidupku di sana sangat menyedihkan.”
“Dasar bodoh! Apa alasanmu tetap mau lahir ke dunia? Bukankah tempat ini lebih baik?”
“Hmm.... Dibalik kehidupanku yang akan menyedihkan itu, aku sempat melihat sesuatu yang membuatku senang dan bersemangat.”
“Apa itu?”
“Rahasia. Nanti akan aku beri tahu. Tapi, bukankah sebaiknya sekarang kau mencari alasan lain untuk dilahirkan ke dunia?”
“Tidak perlu, aku lebih baik hangus di sini. Hangus di tempat yang indah lebih baik dibanding mati di tempat yang menyedihkan.”
“Benarkah? Ku pikir, lebih baik sedikit merasakan hidup di dunia. Lagipula hidup di sana hanya sebentar dan tidak selamanya. Kalau kau berbuat baik, kau bisa ke tempat yang lebih baik dari tempat ini. Kalau kau berbuat buruk, ya kau tahu kau akan pergi ke mana.”
Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat terdiam. Benar juga apa yang diucapkan Atma Jangkung. Ia hanya perlu hidup di sana sebentar, berbuat baik, dan mendapatkan tempat yang lebih baik dari Suraloka jika sudah waktunya. Tapi apakah ia kuat berlama-lama hidup di dunia yang tidak bersahabat?
“Kalau kau merasa tidak sanggup tinggal di sana, cari manusia yang bisa menghiburmu. Kalau kau tidak punya manusia yang bisa menghiburmu, carilah hewan yang bisa menemanimu. Kalau kau tidak punya manusia ataupun hewan, carilah kegiatan yang bisa membuatmu melupakan kesusahanmu. Kalau kau tidak punya semuanya, percayalah pada dirimu sendiri kalau kau punya tujuan untuk dilahirkan,” ucap Atma Jangkung. “Oh iya, Upacara pelepasanku akan terjadi bulan depan. Ku harap kita bisa dilahirkan bersama,” tambah Atma Jangkung sebelum meninggalkan Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat.
Selama satu bulan, Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat mencari alasan untuk dilahirkan. Semua jiwa yang ditanyainya memiliki pendapat yang sama setelah melihat kehidupannya yang menyedihkan. Tapi semua jiwa mengatakan bahwa kesempatan untuk dilahirkan harus digunakan untuk melakukan kebaikan, walaupun dunia itu tempat yang kejam.
Sehari sebelum hari pelepasan, Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat bertemu dengan Atma Jangkung. Mereka duduk di pinggir tebing yang langsung menghadap laut luas yang tidak bertepi. Hanya ada mereka berdua di sana, ditemani oleh semilir angin yang menenagkan. Hati Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat sudah sedikit melunak dengan konsep kehidupan di dunia. Namun ia masih belum menemukan alasan kenapa ia harus meninggalkan Suraloka.
“Jadi, kau sudah memutuskan?”
“Hampir. Tapi aku masih tidak menemukan kenapa aku harus dilahirkan ke dunia. Kata mereka, kalau aku tidak lahir, kehidupan di dunia bisa tidak seimbang. Omong kosong. Memangnya aku akan terlahir sebagai apa. Hanya manusia lemah yang dikelilingi kesialan.”
“Hmm, begitu. Kau masih belum menemukan alasan kenapa kau harus lahir ke dunia.” Atma Jangkung berdiri dari duduknya dan menatap lurus lautan yang tidak bertepi itu.
“Hei kenapa kau berdiri? Duduklah.”
“Hei, kau mau tau alasannya kenapa aku tetap mau dilahirkan ke dunia?”
“Apa itu?”
“Karena aku melihatmu di sana. Dan aku juga melihat kau bersandar kepadaku di tengah lelahnya hidupmu. Kurasa, itu adalah alasan yang bagus untuk lahir ke dunia.”
“Omong kosong. Kau tahu kan kalau kita nanti akan melupakan semua kenangan kita di sini?”
“Iya, aku tahu. Tapi mungkin itu adalah pertanda bahwa kita akan terus bersama. Tanda bahwa kau tidak akan sendirian di duniamu yang melelahkan. Tanda bahwa aku akan menemanimu seperti sekarang.” Atma Jangkung melihat Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat dengan penuh sayang. Ia mengulurkan tangannya, berharap tangan itu disambut. “Ku harap, kau mau pergi bersamaku setelah pelepasan selesai dan kita dilahirkan di saat yang hampir bersamaan. Begitu dilahirkan, aku juga berharap bisa langsung menemukanmu dan menjadi tempatmu bersandar.”
Jivana Rambut Pendek Berwarna Coklat meraih tangan Atma Jangkung dan menatap laut luas tanpa tepi di hadapan mereka. Kini ia menemukan alasan kenapa harus dilahirkan. Dan alasan itu adalah sebuah jiwa yang nanti akan menyelamatkan hidupnya yang melelahkan. Sebuah jiwa yang nantinya akan menjadi sandaran dan selalu ada untuknya. Selamanya.