Ruang Rahasia Ibu
10. 45-49
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

45---EXT. Halaman depan sekolah. Siang hari.

Frame menangkap tampak depan Alex yang menuntun sepedanya. Ia agak merunduk dengan raut wajah gundah. Lalu perhatiannya teralihkan oleh getar dan suara ringtone ponselnya.

Alex mengangkatnya. Telepon dari ibunya.


Ibu (VO)
“Assalamualaikum. Lex?”
Alex
(agak serak seolah menahan emosi)
“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Bu?”
Ibu (VO)
“Kamu tidak apa-apa? Kok suara kamu serak? Kamu sudah di rumah?”
Alex
“Ehm…. Nggak apa-apa, Bu. Alex masih di sekolah. Baru keluar kelas. Ada apa, Bu?”
Ibu (VO)
“Bisa tolong Ibu? Sampe rumah, di kamar Ibu, di laci lemari, ada buku tabungan Ibu. Bisa tolong print ke bank, terus foto, lalu kirim ke Ibu. Kalau nggak bisa hari ini mungkin besok. Tapi sebaiknya hari ini, sih, supaya besok Ayah sama Ibu bisa pulang. Nggak apa-apa, kan?”
Alex
“Baik, Bu. Insya Allah hari ini bisa.”
Ibu (VO)
“Ma kasih, ya Lex. Doakan semoga pulang dengan selamat…. Eh, sudah makan?”

Frame menjauh seiring suara percakapan Ibu dan anak meredup hingga tak terdengar, lalu FADE OUT.

CUT TO

 

46---EXT. Depan Sekolah. Pinggir jalan. Siang hari.

Alex menuntun sepedanya melewati gerbang sekolah. Terdiam sejenak di pinggir jalan. Matanya menerawang ke depan. Awalnya raut wajah Alex tampak dead-pan, tanpa ekspresi, namun kemudian memfokus, keningnya mengerenyit. Berpikir.

Agak terburu-buru Alex keluarkan ponselnya dan mulai mengetik.


Alex (Text)
“Assalamualaikum, Pak Adrian. Ini Alex. Maaf. Mungkin ini tidak penting. Tapi, apa mamanya Erin punya rekening bank? Apa Pak Adrian sudah memeriksanya, atau untuk mengurus hak warisnya, misalnya? Maaf. Ini memang bukan tempat saya untuk ikut campur urusan keluarga Pak Adrian, tapi semoga saja menjadi sudut pandang yang baru. Mohon maaf jika saya sudah keterlaluan.”


Alex simpan ponselnya dan mulai menaiki sepedanya.


47---INT. Rumah Alex. Malam hari.

Air terpancar dari kran di kitchen sink. Lalu, tampak samping Alex yang sedang cuci piring, seolah memberitahu penonton kalau dia baru saja selesai makan malam. Frame beralih menjadi tampak belakang Alex, agak jauh, namun kemudian memblur karena kamera mesti fokus pada sesuatu yang menyala dan bergetar di bawah frame. Ponselnya Alex menyala, bergetar dan berbunyi di atas meja makan. Alex berpaling, mendekat dan mengangkatnya.


Alex
“Halo?”
Adrian (VO)
“Al, ini Adrian. Aku ada di depan rumah kamu.”


Agak terkejut Alex berpaling dan bergegas.

SHIFT TO/CUT TO

 

48---EXT/INT. Ruang tamu rumah Alex. Malam hari.

Alex membuka pintu depan. Tampak di balik pintu pagar, mobil Adrian melintang dan Adrian keluar dari mobil. Air mukanya tampak bercampur emosi yang tidak menentu; sedih, cemas, takut, marah. Frustasi….

Alex mendekat dan membukakan pintu pagar.


Alex
“Ada apa, Pak Adrian?”
Adrian
“Sori. Aku butuh insight kamu. Ayah-ibumu ada di rumah juga, kan?”
Alex
“Ayah sama Ibu sedang ke Jambi. Nenek sakit. Insya Allah besok pulang.”
Adrian
“Oh…. Maaf.”
Alex
“Tidak apa-apa. Mari masuk, Pak.”
Adrian
(Agak canggung)
“Oh, ya, terima kasih.”


Mereka melangkah masuk.

CUT TO

 

49--- INT. Ruang tamu rumah Alex. Malam hari.

Alex dan Adrian memasuki ruang tamu.


Alex
“Silahkan duduk, Pak.”
Adrian
“Kamu sendirian?”

Adrian duduk.


Alex
“Iya, Pak…. Mau kopi? Atau teh?”
Adrian
“Tidak usah.”

Adrian mengibaskan tangan, lalu merogoh saku dalam jasnya.


Adrian
“Ini. Aku mau menunjukkan sesuatu. Aku butuh pendapat kamu.”


Pria dewasa itu menyerahkan secarik kertas ke Alex. Alex menerimanya dan duduk sambil membuka lipatan kertas itu dan membacanya.


Alex
“Ini transkrip transaksi bank?”
Adrian
“Rekening Anum. Ya, aku sudah memeriksanya. Sebelum pesan kamu tadi siang, aku tidak pernah memikirkannya. Coba kamu lihat dua transaksi terakhir.”


Alex mengerenyit heran karena melihat dua kali Penarikan Tunai di dua tanggal berbeda, namun keduanya setelah hari terjadinya kecelakaan pesawat.


Alex
“Ya. Saya melihatnya.”
Adrian
(mendesah sedih)
“Apa maksudnya ini, Al? Apa Anum masih hidup? Di luar sana dan enggan kembali? Kenapa? Lalu bagaimana dengan manifest penumpang pesawat yang jelas menunjukkan dia ada di pesawat itu?”


Alex terdiam.


Adrian
“Apa ini semacam persekongkolan? Apa dia punya laki-laki lain?”
Alex
“Atau mungkin dirampok atau dihipnotis. Banyak kemungkinan, Pak. Sebaiknya jangan dulu mudah berasumsi.”
Adrian
“Ya, ya, kamu benar. Aku hanya... aku hanya tidak mengerti, Al.”


Alex terdiam.


Adrian
(hampir menangis)
“Kamu tahu? Ini rasanya lebih parah dari mendengar berita kecelakaan itu?”
Alex
“Tidak, Pak. Anda salah…. Luka baru? Mungkin ya. Tapi kalau lebih parah dari kematian, saya tidak setuju. Boleh saya tanya sesuatu, Pak? Apa Bu Anum menikmati pekerjaannya? Apa beliau suka memamerkan karya-karyanya sementara piala-piala disimpan tertutup di ruangan yang terkunci?”
Adrian
“Apa maksudmu? Dia punya karir yang bagus.”
Alex
“Tepat! Tapi apa Bu Anum suka punya karir?”


Adrian tercenung.


Adrian
“A-apa hubungannya dengan semua ini? Kamu lihat sendiri karya-karyanya brilian! Tentunya—”


Alex memotong


Alex
“Yang hanya untuk orang yang disayanginya! Beliau berkarya hanya untuk yang beliau cintai!”


Adrian terpana. Ia menatap Alex seolah baru tersadar.


Alex
“Jika Bu Anum memang masih hidup—entah bagaimanapun skenarionya. Beliau pasti tersiksa karena tidak bisa kembali kepada orang yang dicintainya, tapi beliau juga merasa lega karena tidak perlu lagi mengerjakan ‘karir’nya.” (Alex memberi tanda petik dengan dua jarinya pada kata “karir”) “Beliau sedang ada dalam dilemma, dan bisa jadi sebenarnya beliau ingin ditemukan.”


Alex acungkan kertas di tangannya, menguatkan kesan kalau penarikan tunai di transkrip itu sebenarnya bisa jadi disengaja oleh ibunya Erin.

Wajah Adrian menekuk sedih dan menutupnya dengan kedua tangannya sebentar, lalu menarik napas panjang. Ia raih ponselnya, mengoperasikannya sebentar lalu menunjukkannya ke Alex.


Adrian
(agak bergetar, menahan sedih)
“Anum membuat ini waktu kami menikah.”


Frame agak melebar, dengan Alex di sisi frame, melihat ke ponsel Adrian. Sementara di sisi lain, muncul citra watermark yang menampilkan tampilan layar ponsel Adrian. Foto dari sketsa pensil versi manga/manhwa dari Adrian yang terkaget-kaget karena lengannya di rangkul Anum yang tertawa lepas. Jelas ibunya Erin tampak bahagia di gambar itu.

Adrian menarik kembali ponselnya (dan watermark pun hilang) dan menatap ponsel itu cukup lama.

BEAT


Adrian
“Kamu tahu, Al? Seandainya kamu menikahi Erin, aku akan sangat setuju. Menyenangkan juga punya anak laki-laki macam kamu.”
Alex
(gelagapan)
“A—i-itu—tapi—”


Tapi dengan cepat Alex resolve!


Alex
(Intonasi tegas yang dipaksakan)
“Itu terserah Erin, Pak! Tapi untuk selanjutnya apa yang akan Pak Adrian lakukan sekarang? Mengenai ini?”


Alex mengangkat tangannya yang memegang transkrip bank.

Adrian lagi-lagi menarik napass panjang.


Adrian
(menunjuk ke transkrip bank di tangan Alex itu)
“Aku akan memeriksa itu. ATM tentunya punya kamera, ya, kan?”


Alex menyerahkan kembali selembar kertas itu dan Adrian menerimanya.


Alex
“Tapi, Pak. Dari apa yang semua saya katakan, saya tetap bisa salah.”


Adrian mengangkat bahu.


Adrian
“Mungkin. Tapi ini insight baru. Kamu benar tentang satu hal, Al. Tidak sepatutnya aku berasumsi terlalu banyak…. Terima kasih, ya…. Lega juga rasanya.”


Adrian bangkit. Begitu pula Alex.


Alex
“Pak Adrian akan cerita ke Erin?”


Adrian mengangkat bahu.


Adrian
“Entahlah. Mungkin belum dulu. Anak itu agak sensitif soal ini. Aku tidak ingin melukainya. Aku tidak... ingin merusak kenangan dia akan ibunya.”
Alex
"Sebaiknya Pak Adrian cerita sama Erin. Diskusi soal ini dengan Erin. Rasanya tidak ada manfaatnya niat melindungi perasaannya kalau malah... berpotensi salah paham dan lebih melukainya lagi di kemudian hari."


Adrian termenung.

BEAT

Adrian
"Ya, kamu lagi-lagi benar. Hanya... sepertinya aku belum siap. Mungkin kalau sudah memastikan ini."

Adrian mengacungkan lembar transkrip transaksi bank itu.

Lalu, Adrian beranjak ke pintu, membukanya, namun urung keluar. Ia berpaling ke Alex.


Adrian
"Al, kamu suka sama Erin?"


Alex terpekur dan menatap Adrian. Tapi sorot matanya mendadak mengendur seolah merasa tidak ada gunanya menyangkal.

Alex
"Ya, Pak. Saya suka Erin, tapi perasaan saya tidak relevan. Sebenarnya terserah Erin. Saya sudah mengatakannya ke Erin, tapi responnya ... kurang baik."
Adrian
(Tersenyum sedih)
“Al, seandainya ada porsiku untuk membuat Erin menyukaimu, sungguh akan aku lakukan. Kamu terlalu berharga untuk diabaikan…. Sudah dulu, ya? Salam sama ayah dan ibu kamu. Assalamualaikum.”
Alex
(lirih)
“Waalaikumsalam.”

Alex terdiam sejenak, menatap nanar pintu yang ditinggalkan Adrian.

BEAT

FADE OUT

DISSOLVE TO

 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar