Ruang Rahasia Ibu
8. 31-37

31--- EXT. Teras rumah Alex. Sore hari.

Alex memasuki pintu pagar bersama sepedanya. Menemukan ayahnya sedang duduk di kursi teras.


Alex
“Eh, Ayah! Sudah pulang! Maaf, Alex terlambat.”
Ayah
“Nggak apa-apa. Ayah juga baru sampai. Ada kegiatan di sekolah?”


Alex simpan sepedanya dan menghampiri ayahnya.


Alex
“Alex ke rumah Erin—rumah Pak Adrian dulu. Erin perlu bantuan. Assalamu’alaikum.”
Ayahnya Alex tersenyum. Alex duduk di kursi di samping ayahnya.
Ayah
“Wa’alaikumsalam. Kamu dekat sama Erin?”


Alex mengangkat bahu.


Ayah
“Ayah tahu istrinya Pak Adrian—ibunya Erin—meninggal dalam kecelakaan pesawat. Secara emosi, ayah bisa bilang, mereka belum stabil. Hati-hati, ya, X? Tread softly.”


Alex tatap ayahnya sejenak sebelum mengangguk.


Ayah
“Mungkin Ayah juga mesti berterima kasih sama kamu. Hari ini Ayah mendapatkan proyeknya Pak Adrian. Kantor memberi Ayah cuti beberapa hari—buat menyiapkan mental, katanya, tapi ayah berencana memanfaatkannya buat bantu Ibu mengurus Nenek di Jambi. Nggak apa-apa, kan?”


Alex mengangguk.


Alex
“Nggak apa-apa, Yah. Erin juga ngajak Alex ke Bandung akhir pekan ini, ke rumah Kakeknya. Boleh, kan?”

Sang Ayah tersenyum dan menepuk pundak Alex. Ia bangkit.


Ayah
“Ya, boleh, tapi… seperti Ayah bilang tadi. Tread softly. Mana kuncinya?”


Alex merogoh saku dan meraih kunci rumah.


DISSOLVE TO

 

32--- EXT. Jalan menuju Bandung. Pagi hari.

ESTABLISH. Tampak bawah pinggir jalan beraspal dan roda mobil Adrian lewat. Melaju menuju Bandung dari arah utara.

 

33--- EXT/INT. Dalam mobil Adrian. Pagi hari.

Adrian mengemudi. Erin di samping Adrian dan Alex duduk di belakang. Adrian menatap ke depan, Erin ke samping, ke jendela. Alex menatap ke depan. Sesekali melirik ke Erin dan Adrian. Alex merasa canggung.


Alex
“Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, bagaimana Pak Adrian bisa bertemu dengan mamanya Erin?”


Erin yang menjawab.


Erin
“Waktu Mama sama Papa masih di ITB, ya, kan, Pa?”


Adrian mengangguk.


Adrian
“Ya. Mama di Seni Rupa, waktu itu. Bertemu Papa waktu ada kegiatan di Mesjid Salman …. Kamu yakin tidak apa-apa, Al? Jadi ikut terseret-seret seperti ini sama masalah kami.”
Erin
(Agak merajuk.)
“Erin yang minta, Pa.”
Alex
“Tidak apa-apa, Pak. Justru saya yang minta maaf karena … saya merasa menjadi penyusup ke dalam kehidupan pribadi keluarga Pak Adrian.”
Adrian
(mengangkat bahu)
“Aku sih merasa kamu memberiku insight baru, sudut pandang baru. Penting juga melihat sesuatu dari sudut pandang lain. Perlu kamu tahu, Al, saat ini aku merasa … on the edge …. Aku sudah memberitahu kedua mertuaku apa yang menimpa putri mereka, tapi sekarang aku …. Rasanya sulit menghadapi mereka …. Kehadiran kamu mungkin bisa membantu.”


Alex termenung sesaat.


Alex
“Maaf, Pak. Ini mungkin agak kurang ajar. Saya belum pernah secara langsung bertemu mamanya Erin. Hanya lihat foto, dan… saya mendapat kesan kalau… ibunya Erin bukan asli Bandung…. Atau… kalau lebih jauh lagi… mungkin… bukan putri biologis mertua Pak Adrian. Benarkah?—Sekali lagi, saya minta maaf kalau ini tidak pantas.”


Frame membingkai rear-view mirror yang memperlihatkan mata Adrian yang menatap Alex.


Adrian
“Dan kamu bisa tahu hanya dari melihat foto?”


Alex terpana dan kemudian salah tingkah. Wajah Alex berpaling ke jendela.


Alex
“Maaf ….”
Erin
“Tapi kamu benar, Al …. Mama bukan anak biologis Nenek sama Kakek. Boleh, kan Erin yang cerita, Pa?”


Tanpa perlu mendapatkan tanggapan dari Adrian, Erin melanjutkan dengan badan memutar menghadap Alex. Frame menampakan POV dari tempat duduk belakang mobil, memperlihatkan Erin yang mulai bercerita. Posisi Erin berada di sisi kiri frame, memberi ruang di sisi kanan frame untuk ilustrasi cerita Erin berupa adegan berbentuk bayang-bayang watermark yang menggambarkan sosok bocah perempuan berusia dua tahun yang sedang berjalan dan menangis—ilustrasi yang memproyeksikan apa yang ada di benak Alex.


Erin
“Konon, kata Nenek, Nenek menemukan Mama di kebun, waktu Mama kira-kira berusia dua tahun …. Kata nenek, Mama berjalan sendirian sambil menangis … menembus kabut tipis, di antara pohon nanas.... Tangannya luka-luka akibat daun nanas—kamu tahu, kan, daun nanas tajam-tajam? Tidak ada yang tahu asal Mama dari mana. Tidak ada yang mencarinya…. Ada teori kalau keluarga Mama mengalami kecelakaan dan Mama yang baru dua tahun itu berhasil selamat keluar dari reruntuhan kecelakaan itu—tapi itu tentu saja harus ada jejak reruntuhan kecelakaan yang dekat, ya, kan? Tapi tidak ada…. Setiap mendengar cerita ini, aku merasa seperti mendengar dongeng.”

BEAT

 

Frame beralih memperlihatkan Alex yang termenung.


Alex
(bergumam)
“Seperti Timun Mas….”
Adrian
“Menurutku sih seperti Kaguya, soalnya nggak ada Buto Ijo, tapi Mama juga nggak kembali ke bulan seperti Kaguya…. Akhirnya Mama diangkat anak oleh Kakek dan Nenek, sampai akhirnya lahirlah kamu.”

Adrian menatap putrinya sambil tersenyum. Erin juga tersenyum meski terkesan sedih. 

Erin berpaling ke Alex.


Erin
“Dan kamu bisa tahu soal itu cuma lewat foto? Kamu juga belum lihat Kakek sama Nenek!”
Adrian
Very perceptive!”


Alex tersipu.


Alex
“Hanya membayangkannya saja….”


Alex berpaling menatap jendela mobil.

 

Roda mobil terus berjalan, menjauhi. Frame bergeser mengikuti laju mobil hingga mobil menghilang di belokan jalan pegunungan utara Bandung.

DISSOLVE TO

 

34--- EXT. Jalan kecil pedesaan. Depan rumah Kekek-Neneknya Erin. Siang hari.

ESTABLISH.

BIRD VIEW. Mobil Adrian berhenti di depan rumah Kakek dan Nenek. Kakek dan Nenek keluar dari rumah menyambut mereka. Erin, Adrian dan Alex keluar dari mobil. Erin diciumi oleh neneknya. Pundak Adrian ditepuk sang kakek dan Alex diperkenalkan oleh Adrian. Mereka bertiga digiring masuk rumah.

CUT TO

 

35--- INT. Ruang tamu rumah Kakek. Siang hari.

Mereka berlima memasuki ruangan. Nenek memeluk pundak Erin seolah tidak mau melepaskan. Ada sedih di mata Nenek dan Kakek.


Nenek
“Silahkan duduk, Nak Alex—Duh, Nenek kangen banget sama kamu, Erin!”


Nenek mempererat pelukannya dan mengusap-usap pundak Erin. Frame beralih, memperlihatkan ruang tamu keseluruhan.


Kekek
(Sambil duduk)
“Jadi, Nak Alex teman sekolahnya Erin?”
Alex
(Sudah duduk lebih dulu)
“Benar, Pak.”
Adrian
(Duduk di samping Alex)
“Ayahnya juga teman kerja saya, Pak.”
Kakek
“Oh, begitu, ya.”


Frame beralih ke Erin yang masih berdiri dan dipeluk pundaknya oleh Nenek.


Erin
“Nek, Erin mau tanya sesuatu soal Mama, nggak apa-apa, kan?


CLOSE UP wajah Nenek yang menekuk sedih hampir menangis.


Nenek
“Tentu, Rin! Tentu!”


Nenek mengusap-usap kencang bahu cucunya.


Erin
“Boleh sambil lihat kamar Mama?”
Nenek
“Boleh! Boleh!”


Nenek menggiring bahu Erin meninggalkan ruang tamu. Tapi sebelum itu….

CLOSE UP wajah Erin yang berpaling ke Alex.


Erin
“Al, kamu ikut.”


Agak salah tingkah Alex beranjak dari duduknya dan mengikuti langkah Erin dan Neneknya. Melewati Adrian dan Kakek.


Alex
(kepada Kakek dan Adrian)
“Maaf, permisi.”


Alex mendekati frame hingga frame gelap, diiringi….


Kakek (VO)
“Kumaha pagawean, Jang? Lancar?”
(“Bagaimana kerjaan, Nak? Lancar”)
Adrian (VO)
“Alhamdulillah, Pak. Lancar.”


CUT TO

 

36--- INT. Kamar ibunya Erin ketika masih kecil. Siang hari.

Gorden tersibak.

Kamar ibunya Erin tidak berpintu, hanya terpisah oleh kain gorden. Kamar yang tidak terlalu besar. Di seberang pintu terdapat jendela yang di bawahnya terdapat meja belajar. Di samping meja belajar terdapat tempat tidur double size. Berikut lemari pakaian berseberangan dengan tempat tidur. Di meja belajar terdapat mainan kubik.


Alex
“Ehm, apa dulu mama Erin berbagi kamar?”
Erin
“Sama Bi Alies, ya, Nek?”
Nenek
“Ya. Bi Alies masih di Mesir. Belum bisa pulang. Padahal….”


Mendadak Nenek terisak. Beliau mendekati tempat tidur dan duduk sambil menutup wajahnya sebentar. Menangis.


Nenek
“MasyaAllah…. Nenek benar-benar nggak nyangka, Rin…. Nenek benar-benar nggak percaya Anum sudah nggak ada….”


Erin ikut duduk di samping neneknya dan memeluk pundaknya.

Lalu dengan cepat Nenek membenahi diri.


Nenek
“Duh, maaf, Nak Alex, Erin…. Tadi, apa yang mau kamu tanyakan?”


Erin berpaling ke Alex. Alex masih di pintu belum berani masuk.


Erin
“Sebenarnya nggak terlalu penting, sih, tapi apa dulu Mama… suka berfirasat… atau semacamnya? Seperti menyangka sesuatu bakal terjadi, terus benar-benar terjadi. Pernah, nggak, Nek?”


Nenek termenung. Berpikir. Mengingat-ingat.


Nenek
“Seingat Nenek nggak pernah. Memangnya kenapa?”


Sempat Nenek berpaling ke Alex.


Alex
“Maaf, Nek. Saya sebagai teman Erin—sebagai orang luar, melihat sosok Mama Erin benar-benar… luar biasa, jadi… rasanya sulit jika sosok luar biasa ini… hanya jadi biasa….”


Nenek terisak.


Nenek
“Alex benar…. Anum memang luar biasa! Barokah Allah! Anak yang tidak perlu Nenek lahirkan—Eh, Alex tahu, kan, kalau mamanya Erin bukan anak Nenek asli?”


Alex mengangguk.


Nenek
“Waktu itu Nenek benar-benar nggak nyangka mendapatkan karunia mama kamu, Rin. Nenek tidak pernah pergi ke kebun sepagi itu, tapi, entah kenapa waktu itu Nenek merasa perlu pergi ke kebun. Padahal masih berkabut dan…. Lalu, Nenek dengar anak yang nangis….”


Nenek terisak makin kencang hingga menutup wajahnya. Agak lama sebelum membuka wajahnya kembali.

BEAT


Nenek
“Apa maksud kamu firasat seperti itu, Rin? Apa Mama sempat punya firasat waktu naik pesawat itu?”


Erin terdiam, namun dengan mata berkaca-kaca ia peluk lagi sang nenek.

Nenek termenung sejenak. Matanya menatap meja belajar.

BEAT


Nenek
“Kamu tahu, kan, kalau sejak kecil mama kamu suka menggambar? Tapi, apa kamu tahu kalau Anum suka menggambar di kolong meja itu?”


Nenek menunjuk ke kolong meja belajar.


Erin
“Ya, Mama pernah cerita. Menggambar sambil meringkuk di kolong meja. Pakai senter. Bi Alies juga pernah cerita. Jadi Bi Alies yang pakai mejanya. Mama di bawahnya.”


Tiba-tiba terdengar suara Kakek.


Kakek (VO)
“Nyi, mana kopina? Aya minantu teh tong dianggurkeun yeuh!”
(“Nyi, mana kopinya? Nih, ada menantu jangan dibiarkan!”)
Nenek
“Ke, sakedap.”
(Tunggu, sebentar.”)


Nenek membenahi diri.


Kakek
“Tong poho bubuy hui na.”
(“Jangan lupa, ubi bakarnya.”)
Nenek
“Nenek ke dapur dulu, ya.”


Nenek pergi meninggalkan Alex dan Erin.

Erin beranjak dari duduknya.


Erin
“Aku mau tunjukkan sesuatu.”


Erin mendekati lemari pakaian dan membuka salah satu pintu. Mengeluarkan sebingkai lukisan yang tidak terlalu besar. Erin tutup lagi pintu lemari itu dan menggantung bingkai lukisan di pintu lemari.

Lukisan itu menampakkan tampak belakang/punggung seorang anak perempuan yang sedang berdiri sambil merentangkan kedua tangannya ke samping, agak ke bawah seolah hendak menerima pelukan. Ia berdiri di atas padang rumput yang luas, menghadap cakrawala yang bertemu langit biru dan awan. Rambutnya tergerai menyamping, memberi tahu yang melihat ke mana arah angin bertiup, juga tiap helai rerumputan…. 

Alex terpana.

CLOSE UP pada wajah Alex yang sedang terpana melihat lukisan itu. Wajah Alex menempati pinggiran kanan frame, untuk memberi ruang untuk satu kata mengambang dan memudar….


TEXT FADE IN

Syukur…

TEXT FADE OUT


Alex
(bergumam sangat pelan)
“Terima kasih….”
Erin
(terpekur berpaling ke Alex)
“Apa? Apa maksudmu?”


Alex masih terpekur menatap lukisan itu.


Alex
“Kapan lukisan ini dibuat?”
Erin
“Kata Mama, sih, waktu Mama SMP. Buat Pekan Olah Raga dan Seni, di sekolahnya, katanya…. Percaya, nggak? Kalau rumput-rumput itu warna hijaunya dari daun suji. Campur tepung kanji dan tawas.”


Alex terdiam tidak menanggapi. Matanya fixed pada lukisan itu.


Erin
(Kening Erin mengerenyit)
“Kenapa, Al?”
Alex
“Nggak apa-apa. Cuma… sepertinya mama kamu sangat berterima kasih kepada Nenek dan Kakek kamu. Lukisan ini representasi itu. Bentuk saya mama kamu sama nenek dan kakek kamu. ”


Erin tercenung. Ikut berpaling menatap lukisan.

Frame kemudian menampakkan punggung Erin dan Alex, berdiri mengapit lukisan itu. Mereka terdiam cukup lama.

LONG BEAT

CLOSE UP wajah Erin.


Erin
(suara bergetar karena sedih, menangis)
“Kamu tahu? Dulu aku benci rambutku disisir Mama, tapi sekarang… aku akan lakukan apa saja supaya rambutku bisa disisiri Mama lagi…. Aku benci ini…. Aku benci perasaan ini!”
Alex
“Lalu, apa yang kamu suka? Kenangan apa yang kamu suka bersama mama kamu?”


Erin berpaling menatap Alex, membiarkan airmatanya keluar. Tapi kemudian merunduk.


Erin
“Banyak, aku rasa. Saking banyaknya aku tidak bisa menyebutkannya…. Seolah jika aku sebutkan satu, aku akan mengkhianati kenangan yang lainnya. Kamu bisa ngerti, kan?


Alex menatap Erin dan mengangguk.


Erin
“Kamu sendiri? Kenangan apa yang kamu suka dengan ibu kamu? Mungkin sebagai referensi buatku.”


Alex tersenyum. Lalu berpaling kembali menatap lukisan.


Alex
“Mungkin sama seperti kamu, tapi ….”


Alex berpaling. Frame beralih memperlihatkan mainan kubik di meja belajar. Alex menghampiri dan meraih mainan kubik itu. Kubik itu telah sempurna warna setiap sisinya,


Alex
“Aku ingat, waktu aku kelas lima SD, mau naik ke kelas enam. Ibu mengajakku beli sepatu. Ketika kami naik bis kota, aku melihat seorang anak laki-laki, kira-kira enam tahun-an, sedang main kubik (Alex mengacungkan kubik itu). Anak itu memutar-mutar kubik itu cukup lama. Aku ingat dia juga bersama ibunya yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ibu juga ternyata memperhatikan anak itu. Anak itu mulai kesal dengan permainannya, lalu Ibu bilang, ‘Ade mau tante bantu?’Anak itu memberikan kubiknya sama Ibu dan Ibu mulai memutar-mutarnya sambil bilang, ‘Kamu tahu, De? Kita melihatnya memang kotak, tapi sebenarnya memainkannya seperti lingkaran. Karena kita memutarnya. Jika kita memutar penuh satu lingkaran, berarti kembali ke tempat semula, ya, kan? Kalau kita memutarnya dengan cara yang tepat, maka kita akan kembali ke bentuk semula. Ash to Ash, dust to dust.’ “

 

Sambil mengatakan itu semua Alex memuat-mutar kubik itu dengan pola yang sama, terkesan seolah mengacaknya, namun pada putaran terakhir, kubik itu kembali sempurna warnanya. Setelah kembali sempurna warna tiap sisi mainan kubik itu, Alex mengembalikannya ke atas meja, ke tempatnya semula dan kemudian melanjutkan dialognya.

 

Alex
“Ibu kembalikan kubik anak itu setelah Ibu samakan warna tiap sisinya. Lalu Ibu berpaling kepadaku dan bilang, ‘Kita Datang dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, seperti itu, kan, Lex?’ Aku ingat, waktu itu Kakek—ayahnya Ibu, baru meninggal. Sejak saat itu, aku merasakan semacam … kesadaran. Apa yang Ibu katakan membuatku tidak lagi berpikir sama,seolahseolah aku melihat ada beberapa layer… lapisan-lapisan yang menyelubungi setiap peristiwa di sekitar kita dan aku mesti memperhatikan tiap layernya …, tiap lapisannya. Bisa jadi apa yang aku lihat kotak, tapi mungkin cara memainkannya mesti seperti lingkaran.”


Alex mengatakan itu sambil memutar langkah kakinya, mengitari meja belajar. Ia rogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. Lalu duduk jongkok di bawah meja belajar.


Erin
(Mengernyit heran)
“Al, apa yang kamu lakukan?”


Alex aktifkan lampu senter ponselnya dan memeriksa bagian kolong meja belajarnya. Erin mendekati Alex.


Alex
“Mama kamu tahu kalau dia bukan anak kandung Nenek, lebih-lebih tidak tahu asal usulnya darimana. Itu pasti mengganggu pikirannya, meski dia juga tahu Nenek sama Kakek sangat sayang. Lukisan itu buktinya. Tapi, tetap saja kenyataan itu bisa sangat mengganggu ….”


Lalu, CLOSE UP wajah Alex yang terpana karena melihat sesuatu di bawah meja belajar.

Frame beralih kepada apa yang dilihat Alex di kolong meja, di bagian sisi bawah meja. Gambar anak kecil sederhana, dengan mata berupa lingkaran hitam dan mulut garis lengkung yang tiap ujungnya bertaring. Ada kesan menyeramkan dari gambar itu. Terlebih lagi di sampingnya terdapat tulisan.


TEXT

“Anum Anak Jin.”


EVOLVE TO

 

37--- EXT. Jalan pulang. Di mobil Adrian. Malam hari.

Frame masih menampakan gambar graffiti “Anum Anak Jin” namun telah beralih menjadi imaji di ponsel. Ponsel yang dipegang Alex. Frame menjauh dari citra ponsel itu, terus menjauh hingga keluar dari mobil yang masih terus berjalan dan frame terus bergerak hingga memperlihatkan langit malam. Lalu di langit itu mengambang kata-kata.

TEXT FADE IN

Anak Jin…

TEXT FADE OUT

DISSOLVE TO BLACK

CUT TO


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar