Ruang Rahasia Ibu
4. 18

18--- Ruang kerja ibunya Erin. Sore hari.

Frame terfokus ke Erin yang menghampiri meja kerja yang berantakan. Di atas meja itu, selain perkakas dan serpihan sampah kayu, terdapat kotak kayu berhias ukiran indah. Kotak itu pasti buatan tangan ibunya Erin. Erin ambil kotak itu, memeriksanya dan mendadak dia membanting kotak itu—tidak keras tapi cukup mengejutkan.


Erin
(berteriak)
"Ada apa sih Mama sama kunci kombinasi!"


Alex dan Adrian terperanjat dan saling menatap heran sebelum menghampiri Erin.

Adrian
"Kenapa?"


Alex mengambil kotak kayu itu.

Kotak itu tidak besar, dimensinya persis kotak perhiasan atau semacamnya, di bagian tutupnya terdapat ukiran tulisan berbunyi, "Erin and Me….”, juga engsel di salah satu sisi kotak yang menjadi titik tumpu saat kotak itu terbuka. Terbuka kalau saja kita tahu tiga angka yang menjadi kunci kotak itu. Kunci itu terletak di sisi yang berseberangan dengan engsel. Kunci kombinasi itu berupa tiga silinder berangka yang bisa digeser.

Alex memutar kunci kombinasi itu dan—


SFX
“Klik!”


Erin tertegun. Tak percaya kalau Alex bisa dengan mudah membuka kotak kayu itu.


Erin
"Da-darimana kamu tahu?"

Alex serahkan kotak itu ke Erin.


Alex
"Empat burung di depan, empat jari ibu kamu, lalu lima burung di belakang. Empat-empat-lima."


Erin dan Adrian menatap Alex, seolah tidak bisa mempercayainya.

BEAT


Alex
“Cuma nebak.”


Erin menerima kotak itu dan membukanya. Kembali Erin tertegun.


Erin
"Kotaknya kosong."


Erin tunjukkan isi kotak itu yang kosong melompong kecuali kaca cermin di balik tutup kotak itu. Kotak itu mengelurkan denting suara musik lembut.

Alex dan Adrian melihat ke dalam kotak itu.


Adrian
"Maksudmu ada yang mencuri isinya?"
Alex
"Atau memang tidak ada isinya."

Adrian dan Erin kembali menatap Alex, menuntut penjelasan.

BEAT.

Alex
"Sherlock Holmes bilang, kalau kita singkirkan yang mustahil, maka kemungkinan yang tersisa pastilah yang benar. Kalau tidak ada yang bisa masuk ruangan ini selain kalau punya password yang hanya diketahui ibumu, berarti mustahil ada yang mencuri, ya, kan?"

Erin terdiam, juga Adrian. Terdiam cukup lama seolah mereka bertiga terhipnotis oleh musik dari kotak kayu itu.

BEAT


Adrian
"Bagaimanapun terima kasih ya, Al. Sudah bantu kami."
Alex
"Sama-sama, Pak. Sebenarnya, seiring dengan waktu, Anda sama Erin juga bisa memecahkan password itu."
Erin
(Agak kesal)
"Cih, jangan merendah!"
Alex
"Sungguh, Rin. Kamu cuma masih dirundung sedih saja. Kalau emosi kamu sudah stabil, kamu bisa dengan tenang menganalisa password itu."
Adrian
"Oh, iya, bagaimana kamu bisa memecahkan passwordnya? Jelaskan, dong?"

Erin mengambil alih dan menunjukan buku catatan Alex.

Sementara Erin menjelaskan ke ayahnya, frame bergeser, terfokus ke Alex yang melangkah agak menjauh dari Erin dan ayahnya, sambil memperhatikan seluruh ruangan.


MONTAGE

Alex yang memperhatikan lukisan yang menutupi hampir tiap sisi ruangan. Frame bergerak menunjukkan lukisan-lukisan karya ibunya Erin.

Alex juga memperhatikan beberapa piala yang tidak tertata di lemari kaca, seolah ibunya Erin tidak terlalu peduli dengan piala-piala itu—Frame memperlihatkan lemari kaca yang penuh piala atau piagam yang berantakan.

Komputer desktop lengkap dengan drawing tablet, scanner, printer di sudut ruangan. Juga tempat sampah yang penuh kertas-kertas.

Juga piano upright dan biola dalam case-nya. Keduanya lumayan berdebu. Sudah lama sekali tidak dimainkan.


Erin
(VO—Sebagai backdrop sound saat Alex memperhatikan ruangan)
“Lukisan Mama di pintu itu petunjuknya, Papa tahu itu, kan? Ternyata posisi tangan Mama yang empat jari itu juga ternyata petunjuknya. Juga posisi tangannya yang memisahkan sembilan burung itu juga petunjuknya. Tiap burung mewakili huruf-huruf itu, lalu…”


Lalu Alex mengerenyit heran karena merasakan hal yang aneh dari ruangan ini. Mungkin, Alex menyadari sesuatu yang janggal. Sesaat Alex merasakan kesunyian (Suara Erin meredup seiring Alex mengerenyitkan kening) Sebenarnya Alex menyadari kejanggalan kalau di ruangan itu tidak ada pajangan foto ibunya, atau semacamnya.

Suara Erin kembali dan kening Alex pun kembali normal, tidak mengerenyit lagi. Ia kembali menghampiri Adrian dan Erin, menyadari Erin hampir selesai menjelaskan terpecahkannya password itu.


Erin (VO)
“Sekarang tinggal ganti huruf-hurufnya sama angka.”
Adrian
“Wow!”
Erin
"Ternyata sederhana, ya, Pa?"
Alex
“Ya, hanya membutuhkan pikiran yang tenang.”
Erin
(mendesah kesal)
“Hentikan, Al. Aku sudah mengerti!”
Alex
"Ya, aku yakin, dan aku juga bisa mengerti, sebelum ini kamu berkeyakinan sudah jadi tugas kamu seorang untuk memecahkannya. Seolah ini pusaka ibumu yang wajib kamu tanggung. Ya, kan?"


Erin tertegun, terpana, memberi kesan membenarkan perkataan Alex.


Alex
"Tapi itu justru membangun ketakutan yang akan selalu bilang : bagaimana kalau aku tidak bisa? Bagaimana kalau aku tidak sanggup? Semacam mental blockage yang akan menghalangi logika kita dan itu bisa benar-benar mengganggu. Jadi, tindakan yang paling bijak untuk menghindari ini adalah menenangkan diri atau..."
Adrian
"Minta bantuan."

Adrian menepuk dada seolah bangga telah meminta bantuan Alex yang disambut dengus tawa Erin. Namun tidak lama karena Erin merunduk sejenak. Mengubah stance kesal menjadi tenang dan bersahabat. Erin tersenyum meski terkesan sedih.


Erin
“Ya, Al, kamu benar. Terima kasih.”
Alex
“Sama-sama. Tapi saya juga tidak terkecuali. Jika suatu saat nanti saya mengalami hal yang sama—jika emosi saya mengambil alih atau semacamnya, saya juga pasti butuh bantuan."
Adrian
"Dengan senang hati kami bantu, Al."

Adrian menepuk pundak Alex.

Tiba-tiba ponsel Alex  berbunyi. Alex mengangkatnya.


Ayah (VO)
“Yo, X. Kamu sudah di rumah?”
Alex
“Belum, Yah. Masih di rumah Pak Adrian.”

Alex berjalan agak menjauh dari Erin dan ayahnya.


Erin (VO)
“Jadi ayahnya Alex, temen Papa?”
Adrian (VO)
“Ya, small world huh?


Sambil mendengarkan ayahnya di telepon, Alex melirik Erin dan ayahnya.

Ayah (VO)
“Ayah kayaknya nggak bisa pulang hari ini. Kamu nanti bisa sendiri?”
Alex
“Tapi, Yah, sepeda aku—”


Adrian sempat memperhatikan Alex.

Adrian
(agak memekik supaya terdengar oleh ayahnya Alex.)
“Biar saya yang urus itu, Pak Iskandar! Saya yang akan antar Alex pulang!”
Alex
(Agak salah tingkah)
“Eh, Pak Adrian yang bakal antar aku pulang.”
Ayah (VO)
“Oh—Oh, oke kalau gitu. Sampaikan terima kasih Ayah sama Pak Adrian. Assalamualaikum.”

Telepon ditutup. Alex berpaling ke Erin dan ayahnya sambil menyimpan ponselnya di saku.


Erin
“Tadi ayah kamu panggil kamu X?”
Alex
“Ya.... Aku benci dipanggil begitu.”
Adrian
“Tapi, terdengar keren, loh. Apalagi kalau... Detektif X, misalnya. Ya, kan?”

Alex cemberut, Erin tertawa.

DISSOLVE TO

 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Haha, belum pernah, gan. comot ilmu dari sana-sini. Ini pertama kali bikin skrip 🙈
1 tahun 3 bulan lalu
Pernah belajar skenario di mana Boss? maaf tanya
1 tahun 3 bulan lalu