Ruang Rahasia Ibu
7. 28-30

28--- INT. Ruang kelas. Pagi hari.

FADE IN

Cicit burung mengiringi tampak depan kelas. Frame bergeser dari jendela ke jendela hingga tertuju pada pintu kelas.

Frame beralih ke bangku Alex yang baru saja ditempati tasnya Alex. Frame bergeser, tampak Alex yang baru saja menyimpan tasnya, juga Erin yang berjalan mendekati Alex. Erin tampak gelisah.


Erin
“Al, bisa bicara sebentar?”


Erin sudah berdiri di dekat Alex, memilin-milin tali tasnya, sekedar ekspresi kegelisahannya. Lalu Erin memberi isyarat supaya Alex mengikutinya.

 

29---EXT. Pinggir lapangan sekolah. Pagi.

Suasana sekolah sebelum kegiatan belajar mengajar. Terdengar cukup ramai oleh suara murid.

Frame menampakkan daun-daun di pohon, bergeser menuju tampak samping Alex dan Erin, diiringi dialog Erin.


Erin
“Kamu ingat kemarin di ruangannya Mama, kita menemukan kotak musik buatan Mama, ya, kan?”


Erin dan Alex berdiri berhadapan, di bawah pohon sekitar pinggir lapangan sekolah; terbuka, namun cukup terjaga privasi mereka. Erin merogoh saku seragamnya, mengeluarkan lipatan kertas.


Erin
(agak gugup,cenderung takut dan cemas)
“Aku menemukan ini.”


Alex menerima kertas itu dan membukanya.

FLASHBACK

Erin duduk di meja belajar di kamarnya, di sampingnya kotak musik buatan ibunya dalam keadaan terbuka (sepertinya Erin mendengarkan musik yang keluar dari kotak itu). Lalu ada saat Erin beranjak, tanpa sengaja menyikut kotak kayu itu hingga terjatuh. Erin ambil kotak itu dan mengerenyit heran saat melihat sesuatu yang berubah dari kotak kayu itu. Ada bagian yang terbuka dan ada sesuatu di dalamnya. Ia raih bagian dalam kotak kayu itu dan menarik semacam lempengan kayu yang menutupi dasar kotak. Lalu, SHOT diambil dari belakang Erin, melewati bahu Erin dan memperlihatkan lipatan kertas di dalam kotak musik buatan ibunya setelah lempengan kayu itu dilepas. FLASHBACK itu diiringi dialog Erin berikut ini.


Erin (VO)
“Aku menemukan ada bagian yang tersembunyi di dasar kotak itu. Terlepas ketika jatuh ke lantai..., lalu aku temukan itu.”


Alex melihat isi kertas itu. Mungkin SHOT di ambil dari balik bahu Alex atau CLOSE UP pada kertas yang dipegang Alex. Bagaimanapun frame menampakkan sebuah gambat yang digambar hanya menggunakan pensil, tapi tampak detil bahkan seolah nyata. Gambar sebuah pesawat terbang yang sedang melayang di antara awan … dan sedang terbakar. Tidak yakin apa bagian ini perlu, tapi bisa dibayangkan frame mendekati gambar itu, diiringi degup jantung Alex yang tidak loud, tapi intensify. Frame sempat beralih CLOSE UP wajah alex yang makin mendekat, lalu kembali ke kertas itu dan fokus kian mendekat, ZOOM pada sebuah jendela pesawat di gambar. Jendela itu menunjukkan raut wajah perempuan yang sedang berteriak sambil menempelkan tangannya di jendela. Adegan ini berakhir dengan cepat seolah teralihkan oleh suara Erin yang dengan cepat menarik perhatian Alex.


Erin
“Apa maksudnya itu, Al? Apa Mama memprediksi kecelakaan itu?”
Alex
(sambil menggeleng)
“Aku tidak tahu. Tapi boleh aku tanya sesuatu?”
Erin
“Tanya apa?”
Alex
“Tapi, maaf, ya, bukan maksudku membuatmu sedih, tapi…. Sebelumnya kamu tarik nafas dulu dalam-dalam.”


Meski heran, Erin menurut. Erin tarik nafas dalam-dalam.


Alex
“Sekarang, dari lubuk hati kamu yang terdalam, bagaimana kamu menjawab pertanyaan ini; apa kamu merasa ibumu masih hidup?”


BEAT


Erin termenung menatap Alex, tapi kemudian merunduk. Matanya bergerak-gerak memberi isyarat Erin sedang berpikir sebelum menjawab Alex. Mata yang perlahan mulai berkaca-kaca.


Erin
“Ya—entahlah! Hatiku ingin Mama masih hidup. Ingin membayangkan Mama terdampar di suatu tempat, menunggu diselamatkan atau berusaha untuk kembli…. Entahlah. Mungkin ini hanya suara harapan.... Be-benar kata Papa; semakin memikirkan ini rasanya semakin sakit....”
Alex
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti. Tidak usah diteruskan. Tapi apa kamu sudah tunjukkan gambar ini sama papa kamu?”
Erin
“Tentu saja tidak! Hati Papa pasti hancur kalau melihat ini. Kamu mungkin bisa merasakannya, kan? Kelihatannya Papa seperti baik-baik saja, tapi aku yakin Papa sangat sedih. Sebaiknya gambar itu kamu yang simpan. Jangan sampai Papa menemukannya.”


Alex mengangguk, melipat gambar itu dan menyimpannya di saku seragamnya.


Alex
“Kalau boleh, nanti pulang sekolah aku ke rumah kamu. Aku ingin melihat ruang kerja mama kamu lagi. Nggak apa-apa, kan?”
Erin
“Ya, tentu.”


CUT

DISSOLVE TO

 

30--- INT. Ruang kerja ibunya Erin. Siang. Sepulang sekolah.

MONTAGE

Frame yang bergerak perlahan dari lukisan ke lukisan. Lalu frame membingkai lemari yang penuh piala. Tumpukan kanvas yang bersandar di dinding. Meja workshop yang berantakan dengan serpihan kayu dan cat. Perangkat komputer desktop di sudut ruangan.

MONTAGE berakhir dengan frame bergeser dan berhenti pada Alex di pintu, memperhatikan ruang rahasia milik mamanya Erin. Sementara Erin berdiri di samping Alex, memperhatikan Alex.


Alex
“Kamu tahu yang terpikir olehku saat ini?”


Erin mengerenyit heran dan tidak menjawab.


Alex
“Aku tidak melihat pajangan foto ibumu. Sepertinya aku cukup yakin waktu mama kamu mendapatkan piala-piala itu pasti ada fotonya. Benar, nggak?”
Erin
“Mama pernah bilang, kalau dia berkarya bukan untuk mendapatkan semua itu. Tapi, tunggu—”

Erin beranjak masuk ke dalam ruangan, menghampiri lemari dan mengambil sebuah album foto. Meletakan di meja workshop ibunya lalu membukanya.

Frame beralih menjadi tampak depan Erin yang menghadap album foto, lalu Alex melangkah memasuki frame dan berdiri di samping Erin. Ikut melihat album foto itu.


Erin
“Mama sebenarnya tidak terlalu peduli, tapi Papa memaksa buat album ini; supaya ada kenang-kenangan, katanya. Ini Mama sama aku waktu aku satu tahun….”


Erin menunjuk ke album untuk memperlihatkannya ke Alex. Alex mendekat dan melihat ke album foto.

MOUNTING MUSIC (music lembut. Piano atau biola.)

Musik lembut menggantikan suara Erin yang meredup dan memudar. Musik itu mengiringi Alex yang mendengarkan Erin menjelaskan foto-foto ibunya, namun Alex lebih sering memperhatikan Erin; curi-curi pandang, pura-pura memperhatikan penjelasan Erin saat Erin berpaling ke arahnya.

Musik meredup dan menghilang saat Erin menutup album foto itu. Tampak ada air mata mengalir di pipi Erin.

Erin
"Itulah Mama."


BEAT


Alex
“Jadi kamu anak satu-satunya?”
Erin
“Kata Mama, Mama nggak bisa hamil lagi. Ada masalah Rh atau semacamnya, aku tidak terlalu mengerti. Kamu sendiri? Cerita dong! Apa kamu punya adik atau kakak?”
Alex
“Kakak. Meninggal waktu aku masih bayi. Ibu sudah masuk usia rawan buat memberiku adik.”
Erin
 “Oh, sori”


Alex hanya mengangkat bahu dan menarik nafas panjang.Ia memalingkan wajah, kembali memperhatikan ruangan itu.


Alex
“Bagaimanapun, Rin, ibumu orang yang luar biasa. Tapi…, seperti kamu bilang; ada yang aneh—maksudku, sebagai orang luar aku tidak berhak menghakimi tradisi atau kebiasaan keluargamu, tapi…. Seorang ibu yang memasang kunci kombinasi untuk ruang kerjanya ... Kenapa kunci kombinasi? Kenapa bukan kunci konvensional?”


Erin termangu. Tangan mengusap sampul album foto.


Alex
“Seolah….”

Alex mendadak terdiam, tidak melanjutkan perkataannya seolah apa yang ada di benaknya dengan cepat mencuri perhatiannya. Ia tampak mendadak berpikir.


Erin
“Seolah apa?”
Alex
“Password berikut petunjuk lukisan di depan pintu…. Seolah mama kamu ingin kamu cari tahu sendiri bagaimana cara masuk ruang kerjanya. Memancing kamu untuk cari tahu. Tapi untuk apa? Apa mungkin supaya kamu menemukan kotak musik itu? Apa supaya kamu menemukan gambar pesawat terbakar itu?”


Mata Erin terbelalak.


Erin
“A-apa maksud kamu, Mama merencanakan kecelakaan itu?”
Alex
“Itu absurd! Itu berasumsi terlalu jauh! Maksudku, perhatian kita sekarang mengerucut pada gambar pesawat itu, ya, kan? Coba kamu pikir, motif apa yang membuat mama kamu menggambar itu dan menyimpannya—bahkan tersembunyi?”

Erin merunduk dan tampak berpikir keras. Tapi Alex memotong alur berpikirnya.


Alex
“Maaf, Rin. Kalau boleh tahu, pesawat itu menuju Singapur, kan? Ada apa di Singapur?”
Erin
“Pameran seni. Mama diundang. Katanya event besar yang cukup bergengsi. Entahlah. Mama jarang cerita banyak soal pamerannya. Yang Mama kasih tahu cuma tempat dan kapannya. ”
Alex
“Jadi mama kamu terbang bersama karya-karyanya?””
Erin
(menggeleng)
“Nggak. Mama sudah kirim duluan.”
Alex
“Apa mama kamu senang mengikuti pameran itu? Atau ada… semacam resentment? Ada kejanggalan, nggak, waktu berpisah sama kamu?”


Erin menatap Alex agak lama dan menampakan air muka yang tidak menentu; terkejut, takut, heran, tapi lebih dari itu Erin berpikir.


Erin
“Waktu di airport, Mama memeluk aku lebih lama, rasanya. Entahlah.”


Alex termenung makin dalam. Tangan kanannya mengusap-usap dagu. Sementara Erin mendadak terkekeh pelan.


Erin
“Kamu bertanya seperti detektif, kamu tahu itu?”


Alex tersenyum tapi bukan karena senang dan menangkap perkataan Erin sebagai pujian, porsi perhatiannya untuk senang tersita oleh berpikir.



Alex
“Sebagai orang luar—dengan data yang ada—aku mungkin bakal berhipotesa kalau mama kamu punya intuisi yang tajam sehingga bisa memprediksi kecelakaan itu. Memang nggak logis, tapi hipotesa itu bisa mengental kalau saja sepanjang hidup mama kamu penuh dengan pengalaman-pengalaman seperti itu. Coba kamu ingat-ingat. Pernahkah mama kamu memprediksi sesuatu? Atau sekedar punya firasat? Dan ini sebaiknya tidak hanya dari kamu, tapi juga papa kamu, saudara-saudara ibu kamu, orang tuanya. Orang-orang di sekitar mama kamu.”


Erin merunduk dan berpikir, tangan kanan ikut-ikutan mengusap-usap dagu, meniru Alex. Lalu Erin teringat sesuatu.


Erin
“Akhir pekan ini Papa ngajak ke Bandung, ke rumah Kakek. Kamu mau ikut? Kita bisa tanya mereka sama-sama.”

Alex terpana dan mendadak salah tingkah. Alex benar-benar tidak menyangkanya.


Alex
“A-Eh-Aku-Entahlah.”
Erin
“Ayolah! Akan sangat menyenangkan kalau bukan cuma aku sama Papa aja!"


Erin meraih lengan Alex dan mencengkramnya, seolah memohon kepada Alex.

Erin
"Mau ya?"
Alex
“Oh-oke-ya-ya. Tentu. Aku minta ijin dulu.”
Erin
Great! Kamu mau makan sesuatu? Aku lapar. Mau bikinin mie instan?"


Erin berpaling dan keluar dari ruangan. Meninggalkan Alex yang terpana menatap Erin menjauh. Frame beralih memperlihatkan tampak depan wajah Alex, lalu frame bergeser agak ke samping, memberi ruang untuk muncul satu kata yang mengambang dari benak Alex.


TEXT FADE IN
Lapar….”
TEXT FADE OUT

CUT

DISSOLVE TO

 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar